Urgensi
RUU Redenominasi
Arief Wibisono ; Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia; Alumnus School of Laws (LLM in Banking
& Financial Law), Boston University, Amerika Serikat
|
KOMPAS, 18 Januari
2017
Pada
saat peluncuran perwajahan baru mata uang rupiah pada 20 Desember 2016,
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Agus
Martowardojo kembali mengemukakan perlunya melakukan redenominasi mata uang
rupiah.
Ide
redenominasi sebenarnya sudah mengemuka saat pemerintah membahas RUU tentang
Mata Uang bersama DPR periode 2009-2014. Namun, di saat-saat terakhir
pembahasan draf RUU ini, pasal yang mengamanatkan pembentukan UU tentang
Redenominasi Rupiah urung dicantumkan dalam UU Nomor 15/2011 tentang Mata
Uang yang diundangkan 11 Oktober 2011.
Demikian
pula pada akhir 2016, DPR telah memutuskan RUU tentang Redenominasi tak
dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai RUU
prioritas yang akan dibahas pada 2017.
Pertanyaan
paling mendasar, mengapa diperlukan dasar hukum setingkat UU dan apa manfaat
redenominasi bagi perekonomian nasional? Secara sederhana, redenominasi
didefinisikan sebagai penyederhanaan sebutan satuan harga dan nilai secara
bersamaan, yakni dengan menghilangkan sejumlah angka nol dalam harga barang
dan denominasi mata uang tanpa mengurangi daya beli uang tersebut.
UU redenominasi
Di
Indonesia, sesuai Pasal 23B UUD 1945, diatur bahwa macam dan harga mata uang
ditetapkan dengan UU. Untuk itu, guna melengkapi UU Mata Uang yang sudah ada,
landasan hukum yang kuat dalam melaksanakan redenominasi dalam bentuk UU
sangat diperlukan. Dari pengalaman negara-negara yang telah melaksanakan
redenominasi, dasar hukum yang kuat tersebut merupakan salah satu penentu
keberhasilan program redenominasi. Misalnya dasar hukum redenominasi di Turki
adalah UU No 5083 tentang The Currency Unit of the Republic of Turkey, yang
diundangkan pada 1 Januari 2004, dan di Romania ditetapkan dengan UU Nomor
348 tentang The Redenomination of Domestic Currency yang diundangkan 14 Juli
2004.
Dalam
UU redenominasi itunantinya selain diatur besaran redenominasi (jumlah digit
atau desimal yang disederhanakan),juga perlu diatur kewajiban para pemangku
kepentingan. Khususnya kewajiban pelaku usaha untuk melakukan konversi penyederhanaan
tersebut, kewajiban mencantumkan notasi serta menyatakan harga dalam mata
uang lama dan mata uang baru secara bersamaan, dan kewajiban menyesuaikan
pencatatan transaksi, bukti transaksi serta pelaporannya. Selain itu, harus
diatur juga koordinasi antarlembaga atau instansi yang terlibat dan ketentuan
peralihan yang menyatakan bahwa semua penggunaan atau penyebutan uang rupiah.
Ketentuan
yang mengatur kewajiban dan koordinasi antarpemangku kepentingan diperlukan
karena dukungan seluruh lapisan masyarakat, semua elemen pemerintahan,
parlemen dan pelaku bisnis juga merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan redenominasi. Pengalaman di Turki yang meredenominasi mata uang
lira Turki pada 2005, tidak hanya melibatkan Kementerian Keuangan dan Bank Sentral
Turki,tetapi juga Kementerian Perdagangan dan Industri, Badan Pengawas Pasar
Modal, Kementerian Pendidikan, dan juga Badan Pusat Statistik.
Redenominasi
dalam praktik internasional bukanlah hal baru, sudah dilakukan oleh beberapa
negara yang bermula pada abad ke-19. Salah satu yang paling spektakuler
adalah yang dilakukan Jerman pada dekade 1920-an. Beberapa negara bahkan
sudah melakukan redenominasi mata uangnya lebih dari satu kali, misalnya
Israel yang mengurangi sembilan digit pada mata uangnya, shekell, dalam 4
kali redenominasi antara tahun 1980 dan 1985. Demikian pula Rusia telah
mengurangi tiga angka nol dari mata uangnya dalam tiga kali redenominasi
(1947, 1961, dan 1998). Brasil tercatat paling sering melakukan redenominasi,
yaitu enam kali, tahun 1967, 1970, 1986, 1989, 1993, dan 1994. Demikian pula
negara Eropa barat, yaitu Eslandia, pernah melakukan redenominasi atas mata
uangnya, krona, pada 1981. Bahkan, beberapa negara meredenominasi dengan
melakukan hal sebaliknya, yaitu menambah digit atau angka desimal mata
uangnya, seperti Australia (1966), Selandia Baru (1967), atau Afrika Selatan
tahun 1961.
Apa manfaatnya?
Secara
umum manfaat yang didapat apabila redenominasi rupiah dilaksanakan mulai saat
ini adalah secara fisik perekonomian akan jadi lebih ringkas dan efisien
karena transaksi sehari-hari tidak lagi melibatkan penulisan nominal besar.
Sebab, ada keterbatasan sistem alat transaksi sehari-hari dengan digit
terbatas. Misalnya argo taksi, meteran pompa bensin, mesin kasir, dan pengiriman
uang dengan sistem RTGS yang hanya 17 digit, termasuk dua digit di belakang
koma. Selain itu, kewajiban pelaku usaha mencantumkan harga dalam masa
transisi redenominasi merupakan momentum penting dalam upaya meningkatkan
perlindungan konsumen karena label harga wajib dicantumkan pada tempat
penjualan barang.
Dari
berbagai kajian literatur, hal paling mendasar adalah terkait fenomena efek
sosial dari redenominasi, yaitu teciptanya sense of identity atau identitas
bersama suatu bangsa dan feel good effect
(Lead Capital Limited, 2007).
Beberapa negara mulai memperhitungkan strategi redenominasi dengan tujuan
meningkatkan kedaulatan moneter dan mengontrol kecenderungan pemakaian mata
uang asing. Hal ini didasari kajian: apabila masyarakat suatu negara tak
menghargai mata uang negaranya, maka akan cenderung menggunakan mata uang
negara lain karena alasan gengsi dan prestise.
Hal
inilah yang antara lain mendasari Romania melakukan redenominasi, yaitu untuk
mencegah gejala penolakan pemakaian mata uang lamanya pada tahun 2006. Saat
ini, dengan mata uang dengan digit yang lebih ringkas dengan sebutan RON
(Romanian New Leu) tersebut, Romaniamenikmati nilai tukar dengan dollar AS
yang terjaga baik dan relatif stabil saat Tiongkok melakukan devaluasi Yuan.
Berkah lainnya, perekonomian Romania jadi kedua terbaik di Eropa setelah Ceko
dengan pertumbuhan yang positif.
Pertanyaannya
kemudian, kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan redenominasi? Mengenai
hal ini kita dapat belajar dari negara-negara yang terbilang sukses
melakukannya, seperti Turki dan Romania, yaitu saat perekonomian dalam
kondisi stabil. Sebaliknya, redenominasi real Brasil, rubel Rusia, dan dollar
Zimbabwe tak berhasil karena waktunya kurang pas, yaitu dilaksanakan justru
saat tren fundamental ekonomi negara-negara tersebut memburuk.
Karena
keputusan tentang redenominasi perlu dukungan semua pihak, maka tahun ini
merupakan waktu yang paling menguntungkan untuk mulai membahas dan
mengundangkan RUU tentang Redenominasi Rupiah. Sementara tahun depan menjadi
masa sulit mengingat Indonesia sudah akan mulai memasuki ”tahun politik”,
yaitu mulai bergulirnya tahapan Pemilu DPR dan Presiden 2019. Kebijakan
redenominasi di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia memang sebaiknya
mulai diputuskan pada saat suatu pemerintahan relatif baru memulai periodenya
dan jauh dari ”tahun politik” pemilu. Hal ini agar kebijakan redenominasi
tidak menjadi ajang politisasi.
Setelah
kebijakan diambil, tahapan pelaksanaan redenominasi secara keseluruhan,
sesuai perkiraan gubernur BI, akan membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun,
yang meliputi masa persiapan, masa peralihan atau masa uang dengan denominasi
lama dan baru digunakan dalam perekonomian, serta masa pemakaian penuh mata
uang denominasi baru. Hal ini untuk menghindari kebijakan redenominasi yang
kurang disiapkan secara matang sehingga tidak sesuai harapan sebagaimana
pernah dilakukan tahun 1965 dengan dasar hukum hanya berupa Penetapan
Presiden Nomor 27 Tahun 1965.
Selain
faktor politik, komposisi demografis Indonesia saat ini juga menguntungkan
untuk memperkenalkan redenominasi mata uang rupiah karena didominasi generasi
baru yang tidak pernah merasakan mimpi buruk peristiwa ”Gunting Syafrudin”
(sesuai kebijakan Menteri Keuangan Kabinet Moh Hatta saat itu, Syafruddin
Prawiranegara) tahun 1950, dan kebijakan sanering tahun 1959. Dua kebijakan
ini sering diasosiasikan dengan redenominasi, padahal sangat berbeda jauh
pelaksanaannya.
Kebijakan
”Gunting Syafruddin” dilakukan dengan menggunting uang kertas jadi dua bagian.
Bagian kiri tetap jadi alat pembayaran sah dengan nilai tinggal separuhnya,
sementara guntingan bagian kanan ditukarkan dengan obligasi pemerintah yang
dapat dicairkan beberapa tahun kemudian.Adapun kebijakan sanering dilakukan
dengan menurunkan secara drastis uang kertas pecahan besar menjadi hanya
bernilai 10 persennya saja, yaitu Rp 1.000 diturunkan nilainya jadi Rp 100
dan Rp 500 jadi Rp 50.
Untuk
itu, strategi komunikasi, termasuk edukasi publik dan penanganan isu di media
sosial, pengadaan dan distribusi uang, pengawasan harga dan penegakan hukum
serta dukungan teknologi informasi, akuntansi dan statistik mutlak perlu
dalam tiap tahapan redenominasi rupiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar