Minggu, 17 Desember 2017

Mendikbud dan Cara Melihat Pendidikan di NTT

Mendikbud dan Cara Melihat Pendidikan di NTT
Benny K Harman ;  Politisi Senior Partai Demokrat
                                               KOMPAS.COM, 13 Desember 2017



                                                           
LAPORAN Program for International Students Assesement (PISA) menempatkan kualitas pendidikan di Indonesia pada ranking yang rendah.

Menanggapi hal ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berkomentar, jangan-jangan sampel dari survei ini adalah siswa-siswi asal Nusa Tenggara Timur ( NTT).

Pernyataan Mendikbud itu menyinggung perasan sejumlah orang yang berasal dari NTT. Seolah-olah kualitas pendidikan di provinsi ini rendah hingga dianggap sebagai “biang kerok” rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Pernyataan ini juga mengesankan Mendikbud melepaskan tanggungjawabnya sebagai pejabat tinggi pemerintah yang berwenang, bertugas, dan berfungsi mengurusi bidang pendidikan dan kebudayaan secara nasional.

Di balik itu, kita juga harus menyadari kondisi pendidikan formal di NTT yang buruk. Banyak anak usia sekolah yang terpaksa putus melanjutkan pendidikannya karena kesulitan biaya. Tercatat, ada 11 persen sekolah tidak layak atau rusak, serta kekurangan tenaga guru.

Kondisi inilah yang harus dipulihkan oleh segenap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk bahu-membahu agar setiap anak mendapatkan hak atas pendidikan dan keluarga-keluarga di NTT bisa keluar dari impitan kesulitan mereka.

Peringkat rendah

Tidak sepantasnya Mendikbud mengesankan pendidikan di NTT sebagai “kambing hitam” dari rendahnya peringkat mutu pendidikan di Indonesia yang ironisnya justru menjadi tugas dan tanggung jawabnya.

Mendikbud seharusnya mengevaluasi, mengapa mutu pendididikan di Indonesia rendah? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya? Bagaimana menemukan solusi dalam meningkatkan mutu pendidikan?

Berdasarkan laporan PISA tahun 2015, ada 540.000 siswa sekolah berusia 15 tahun yang mengikuti survei di 72 negeri.

Tidak ada negeri-negeri seperti Kuba, Malaysia, Thailand, Filipina, Myanmar, Kamboja, Laos, Brunei Darussalam, dan Timor Leste dalam survei tersebut. Negeri-negeri yang tergabung dalam ASEAN, hanya Indonesia, Singapura, dan Vietnam.

Banyak kategori yang menjadi obyek survei, tetapi ada tiga kategori yang dijadikan patokan penting, yaitu matematika (maths), ilmu pengetahuan (science), dan bacaan (reading). Dari ketiga kategori ini Singapura menyapu bersih semua peringkat dari 72 negeri yang disurvei.

Untuk matematika, Vietnam ada di peringkat ke-22, dan Indonesia peringkat ke-65. Dalam ilmu pengetahuan, Vietnam berada di ranking ke-8, Indonesia di posisi ke-64.

Sementara untuk kategori membaca, Vietnam menduduki peringkat ke-32 dan Indonesia ke-66. Indonesia masih lebih baik dibandingkan Brazil untuk matematika (ke-67) dan ilmu pengetahuan (ke-65), tetapi disalip dalam kategori bacaan (ke-61).

Cara melihat

Mungkin cara pandang Mendikbud dalam melihat pendidikan dan kebudayaan tidak mendasarkan atas sejumlah faktor yang melilit masyarakat Indonesia dan secara khusus NTT.

Pertama, salah satu faktor yang menyulitkan Indonesia adalah demografis, yaitu jumlah penduduk yang besar dan negeri kepulauan yang paling luas.

NTT juga provinsi kepulauan dengan infrastruktur dan konektivitas yang jauh dari memadai. Malah, sebanyak 11 persen sekolah atau ruang kelas rusak dan tidak layak.

Kedua, meski alokasi APBN minimal 20 persen untuk pendidikan, tetapi alokasinya berbeda-beda setiap provinsi, selain kemampuan pemerintah daerah masing-masing.

Dari Rp 416,1 triliun dalam APBN 2017, sebagian besar dialokasi ke daerah melalui transfer daerah. Sudah jadi pengetahuan umum, alokasi anggaran masih didominasi dan terkonsentrasi di Jawa.

Tahun lalu, Kemendikbud mengalokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp1,3 triliun ke NTT. Tahun ini ada bantuan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan lebih dari Rp 156 miliar, serta Dana Alokasi Umum (DAU) untuk pengalihan sekolah Rp 122 miliar kepada NTT. Sementara, dari APBD NTT hanya 2,7 persen untuk pendidikan.

Ketiga, selain banyak sekolah dan ruang kelas yang rusak, masalah yang juga tidak kalah memprihatinkan kita adalah gaji guru, terlebih lagi yang masih berstatus honorer yang hanya diimbali Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan. Ini memang sangat tidak layak dan menyedihkan.

Keempat, masalah-masalah yang juga tidak kalah pentingnya yang ikut mempengaruhi warga NTT atas pendidikan adalah kemiskinan dan ketertinggalan.

Sebagian warga yang tidak beruntung ini malah harus menderita rawan pangan atau kurang gizi, didera kasus perdagangan orang (human trafficking), dan kesulitan lainnya.

Meski banyak faktor yang mempengaruhi kondisi pendidikan di NTT, tetapi tidak berarti tidak ada lembaga pendidikan yang berkualitas.

Dalam kasus khusus, bisa dilihat dari pencapaian Grandprix Thomryes Marth Kadja yang lulus SMA di usia 16 tahun. Ia menyelesaikan kuliah di jurusan Kimia Universitas Indonesia (UI) dalam tempo tiga tahun. Dan puncaknya, ia menggondol gelar doktor termuda di Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam usia 24 tahun.

Pendidikan dan ekonomi

Arah program dan kebijakan pendidikan di NTT sebaiknya dikaitkan dengan potensi sumber daya dan perkembangan ekonomi. Dengan potensi dan perkembangan ekonomi ini pula program dan kebijakan pendidikan akan lebih spesifik dan efektif.

Banyak lembaga pendidikan di NTT sudah memiliki fondasi yang kuat, seperti filosofi dan pemikiran, pengembangan kurikulum, serta metode belajar-mengajar yang terus berkembang. Dari pendidikan ini pula lahir sejumlah orang yang berprestasi dalam bidang masing-masing.

Namun, dengan impitan ekonomi dan politik yang kurang mendukung, adanya angka putus sekolah dan keengganan melanjutkan pendidikan, bahkan banyak pula sarjana yang menganggur, menambah masalah NTT.

Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana ekonomi dan politik mendukung pendidikan?

Potensi besar NTT di bidang pangan, mulai dari kelautan dan perikanan, pertanian dan peternakan, haruslah dibangun pondasi ekonomi yang kuat dan saling terkait.

Seandainya NTT bangkit dan bergerak menuju revolusi pangan – transformasi ke industrialisasi pengolahan pangan – niscaya program pendidikan yang mendukung proses ekonomi ini bakal mengurangi angka putus sekolah, keengganan melanjutkan sekolah, dan para sarjana pun ikut dalam transformasi tersebut.

Dengan solusi ini NTT tidak perlu khawatir lagi mengenai masalah mutu pendidikan dan masalah lainnya yang melilit kita, seiring perubahan penting yang digerakkan menuju industrialisasi pengolahan pangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar