Tuan
Justice Collaborator
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 13 Januari 2018
AGAK mengagetkan bagi
banyak orang. Setya Novanto (Setnov) mengajukan diri untuk menjadi justice
collaborator (JC) dalam megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik atau
e-KTP. Mengapa mengagetkan?
Karena orang yang bersedia
menjadi JC adalah orang yang harus mengaku dulu bahwa dirinya memang
melakukan tindak pidana yang didakwakan. Berarti dengan kemauannya menjadi JC
Setnov mengakui dirinya korupsi dan korupsi e-KTP itu benar-benar ada.
Mengagetkannya, dulu
sampai berbulan-bulan Setnov habis-habisan menolak dituduh melakukan korupsi,
bahkan mengatakan tidak ada korupsi e-KTP itu.
Semula segala cara untuk
mengelak dari kejaran kasus itu pernah dilakukan oleh Setnov yang diduga kuat
melakukan tindak pidana korupsi itu. Misalnya melalui penggalangan opini,
tidak menghadiri panggilan KPK, menjadi sakit dan segera sembuh setelah
menang di praperadilan, sakit lagi dengan sebab tabrakan tetapi oleh tim
dokter dari RSCM dan IDI yang bekerja independen dan profesional dinyatakan
dia bisa diperiksa, ditahan, dan diajukan ke persidangan oleh KPK.
Meskipun status JC itu
belum final, karena KPK sendiri masih akan mempelajari dan
mempertimbangkannya, semakin pastilah secara hukum maupun keyakinan
masyarakat bahwa korupsi itu bukan khayalan atau rekayasa politik seperti
yang ditudingkan oleh sementara kalangan. Ini penting ditekankan karena
Setnov dan pembela utamanya di jalur politik mengatakan bahwa, “Korupsi e-KTP
itu hanya khayalan, korupsi e-KTP itu rekayasa atau politisasi oleh KPK,
korupsi e-KTP itu tidak ada karena dirinya sudah berkeliling di gedung DPR
mencari-cari uang korupsi itu ternyata tidak ada.” Amboi.
Bukan hanya teman politik
Setnov yang ramai-ramai mengatakan bahwa korupsi e-KTP itu tidak ada, tetapi
juga, entah dengan rayuan apa, tidak sedikit ahli dan aktivis hukum yang
mengatakan dengan sangat ekspresif bahwa Setnov tidak melakukan korupsi
e-KTP, Setnov diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Nah, sekarang Setnov
menyatakan ingin menjadi JC. Siapa yang sebenarnya berkhayal? Siapa yang
sebenarnya ingin membelokkan kasus hukum agar tersembunyi di timbunan
hiruk-pikuk politik?
Mari kita runut lagi
berbagai fakta korupsi e-KTP itu. Pertama, ada perusahaan yang menagih lagi
uang proyek e-KTP ke Kemendagri sebesar USD70 juta, padahal Kemendagri sudah
mengeluarkan semua dana sesuai kontrak dan sesuai mekanisme APBN.
Kedua, banyak penerima
uang korupsi e-KTP itu yang mengembalikan uangnya ke KPK begitu kasus itu
disidik, meskipun ada yang beralasan bahwa dirinya tidak tahu kalau uang itu
uang korupsi e-KTP, termasuk Sekjen Kemendagri Diah. Ketiga, ada beberapa
pelaku yang sudah divonis secara sah dan meyakinkan oleh pengadilan bahwa
mereka melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus e-KTP.
Keempat, Andi Narogong
sebagai salah satu pelaku penting tidak melakukan eksepsi (bantahan atau
penolakan) saat didakwa di depan pengadilan oleh jaksa dan langsung
menyatakan menerima (tidak naik banding) ketika pengadilan menghukumnya 8
tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Berati benar dia korupsi dan benar pula
bahwa korupsi itu ada. Kelima, sekarang ini Setnov yang sedang dalam proses
peradilan menyatakan ingin menjadi justice collaborator yang berarti benar
bahwa korupsi itu ada.
Kita menaruh hormat kepada
KPK yang telah gigih mengungkap kasus ini dan menggiring para pelakunya ke
pengadilan. Kita tahu, secara telanjang KPK dikeroyok habis-habisan oleh para
politisi, baik menggunakan nama personalnya maupun menggunakan status
lembaganya. KPK juga diserang oleh “sedikit ahli hukum” dengan macam-macam
tudingan. Tetapi KPK dengan penuh keyakinan dan tanpa takut terus menerjang.
Kita juga harus memberi
apresiasi kepada pemerintah yang tidak melakukan intervensi atas penanganan
kasus e-KTP ini. Akan sulit bagi KPK dan kita semua mengungkap kasus ini jika
pemerintah ikut campur atas nama ketenangan politik. Pemerintah telah membuka
pintu bagi KPK untuk menyelesaikan kasus e-KTP ini secara hukum, meskipun ada
yang menawarkan alternatif agar kasus ini dibuka setelah Pemilu 2019.
Memang, upaya penegakan
hukum tidak boleh dipengaruhi oleh situasi politik. Hukum dan keadilan harus
ditegakkan meskipun langit runtuh. Sikap KPK yang seperti ini dua hari lalu
dengan bangga kita dengar lagi ketika KPK mengatakan, “KPK tidak akan
berhenti atau menunda penanganan kasus korupsi, meskipun sedang ada pilkada
atau pemilu.”
Maju terus KPK. Jangan lupa
lanjutkan penyelidikan dan penyidikan atas kasus kongkalikong yang diduga
dilakukan oleh dua rumah sakit dan dokter-dokternya saat menangani Setnov
sebelum (akhirnya) ditangani oleh RSCM dan IDI. Telisik lagi, siapa tahu
masih banyak yang mau menjadi Mr Justice Collaborator. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar