TNI,
Perang Proksi, dan Demokrasi
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional Jakarta; Anggota Lembaga Pengkajian MPR RI
|
KOMPAS, 31 Januari 2017
Tentara
Nasional Indonesia telah menggelar rapat pimpinan nasional yang pembukaannya
diawali oleh arahan Presiden Joko Widodo.
Pada kesempatan itu, Presiden, antara lain, menekankan agar jajaran
TNI dan Polri bergerak cepat mengantisipasi berbagai perubahan yang kini
terjadi secara masif akibat kecanggihan teknologi. Sementara itu, Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun menyinggung kesiapan TNI menghadapi
tantangan global ke depan.
Gatot
menggarisbawahi, kompetisi global berpotensi menjadi konspirasi global untuk
memperebutkan sumber-sumber daya penting dari pangan hingga
energi.Diingatkannya, jika kompetisi jadi konspirasi, hal tersebut merupakan
”ancaman luar biasa”. Menurut dia, kebijakan Presiden Joko Widodo yang
memanfaatkan kondisi geografis maritim Indonesia dengan membuat jalan tol
laut bisa menjadi solusi.
Terdapat
benang merah penting dari dua pernyataan tersebut. Kata-kata kuncinya adalah
kompetisi dan antisipasi perubahan. Kompetisi terkait perkembangan global dan
kebutuhan Indonesia untuk tidak saja eksis, tapi juga mampu mengelola segenap
sumber daya di era perubahan yang serba cepat ini. Sementara antisipasi
perubahan jelas memerlukan perhatian dan kinerja profesional semua entitas
yang menggeluti bidangnya.
Terkait
hal tersebut, dalam konteks TNI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan
nasional, apa yang sering disampaikan Gatot Nurmantyo terkait bahaya perang
proksi relevan adanya. Panglima membedakan perang asimetris, hibrida, dan
proksi. Perang asimetris terkait konteks perbedaan mencolok pihak-pihak
berperang dari segi ”kekuatan militernya”. Perang hibrida mengombinasikan
perang asimetris dengan perang informasi. Sementara perang proksi pada
hakikatnya konfrontasi dua kekuatan besar dengan memanfaatkan pemain-pemain
pengganti untuk menghindari konfrontasi langsung.
Panglima
TNI menggarisbawahi, melalui perang proksi, ”tidak dapat dikenali dengan
jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan non state actors
dari jauh”. Melalui pengertian demikian, sudah tepat manakala panglima
mengingatkan bahaya perang proksi. Indonesia, bagaimanapun, berpotensi
dijadikan ajang perang proksi pihak luar.
Salah
satu bentuk perang proksi yang sering diilustrasikan panglima, selain gerakan
separatis, demonstrasi massa, dan peredaran narkoba, adalah bentrok
antarkelompok. Sebagai pengamat politik, saya merasakan adanya gejala
meningkatnya potensi bentrok antarkelompok dewasa ini. Hal tersebut terkait
masalah politik dalam maknanya yang luas.
Perkembangan
politik kita, di level parlemen dan pemerintahan, sesungguhnya sudah mencapai
suatu titik keseimbangan (ekuilibrium). Tetapi, suhu politik masih bisa
memanas justru karena secara anomali datang dari ranah konfliktual antaraktor
non-negara. Banyaknya aktor non-negara sebagai kelompok kepentingan, bahkan
penekan, menaikkan potensi konflik eskalatif apabila tak terkelola elegan dan
efektif. Mereka pun potensial dimanfaatkan sebagai aktor-aktor perang proksi.
Demokrasi permusyawaratan
Dalam
konteks ini, wajar manakala diingatkan agar jangan sampai Indonesia jadi
seperti Timur Tengah, khususnya Suriah, sebagai ajang perang proksi.
Gambarannya jelas: instabilitas dan kekacauan terus terjadi. Semua nyaris
destruktif, dan rakyatlah yang paling menderita hidup dalam sebuah negara
gagal yang tercabik-cabik perang.
TNI
merupakan bagian integral dari manajemen kebangsaan demokratis yang berbasis
Pancasila. Di tengah suasana kebangsaan yang semakin ditandai oleh
membesarnya potensi benturan antarkelompok, diperlukan langkah elegan dan
konvergensif (menyatu) ke arah titik temu dan penguatan konsensus kebangsaan,
bukan penguatan dimensi divergensif (perpecahan) dan memperbanyak titik
tengkar yang kontraproduktif.
Semua
harus dikembalikan ke Pancasila sebagai titik temu, common denominator
berbagai unsur bangsa. Dalam perspektif sosiologi politik, Pancasila
mengandung dimensi konvergensi, bukan divergensi. Namun, merujuk pengalaman
sejarah, Pancasila sering kali dijadikan tameng kekuatan-kekuatan politik
untuk mengklaim pihaknya lebih Pancasilais, dan menjadikannya alat pukul
politik. Kalau itu yang terjadi, praktik kekuasaan otoriterlah yang leluasa.
Pancasila sebagai titik temu kebangsaan efektif manakala yang mengemuka
adalah implementasi demokratis sila keempat (permusyawaratan atau
deliberasi).
Pancasila
hendaknya diposisikan sebagai ”ideologi terbuka”, bukan ideologi statis,
tertutup, dan menolak gagasan-gagasan baru sesuai semangat zaman. Semua hal
dapat didialogkan dan dimusyawarahkan secara elegan untuk mencari titik temu,
konsensus kebangsaan dalam bingkai Pancasila. Demokrasi sila keempat
menekankan musyawarah dalam semangat mencari dan dilandasi ”hikmat
kebijaksanaan”. Semangatnya menuju titik temu, bukan titik tengkar.
Karena
itu, diperlukan sikap tenggang rasa, meninggalkan paradigma menang-kalah
secara subyektif menurut kelompok masing-masing. Egoisme kelompok atau
komunalisme harus ditepikan. Yang dikedepankan seharusnya obyektivikasi, yang
mengutamakan kejujuran obyektif, bukan klaim yang apriori. Ragam ucapan,
penyikapan, dan tindakan yang berkonsekuensi pada penajaman konflik dan
suasana konfrontatif perlu diakhiri. Hal semacam ini penting guna menjauhkan
Indonesia dari perang proksi, sebagaimana yang selalu diingatkan panglima.
Manajemen kebangsaan
Negara
harus mampu hadir sebagai pengelola utama kebangsaan kita karena negara
memiliki segenap peranti memadai dan cara yang absah untuk melakukannya.
Dengan kata lain, manajemen kebangsaan perlu peran negara, tetapi bukan dalam
konteks menghegemoni segala hal tanpa menyisakan ruang bagi publik
berpendapat secara bertanggung jawab. Negara harus menciptakan iklim kondusif
bagi demokrasi, kendatipun—dalam pengertian Max Weber—negara adalah entitas
absah pengguna kekerasan. Pendekatan represif tentu bukan pilihan dan sangat
tak populer dalam demokrasi, kendati sering kali negara menghadapi situasi
yang dilematis.
Di
zaman mengecambahnya hoax atau kabar bohong dewasa ini, manajemen kebangsaan
yang demokratis dan partisipatif tentu bukan tugas ringan. Namun, negara,
dalam hal ini termasuk TNI, perlu mendorong suatu prosestabayun (cek-ricek)
dan dialog mendalam di tengah cuitan-cuitan sepintas lalu, tergesa-gesa, dan
serba permukaan. Ini semua perlu kesabaran, sikap inklusif, imparsial,
obyektif, dan etis semua pihak.
Panglima
TNI telah memosisikan sebagai juru ingat melalui ceramah-ceramahnya tentang
bahaya perang proksi agar bangsa ini tak mudah dipecah. Potensi perang
proksi, terutama ditandai menajamnya konflik potensial antarkelompok di
Indonesia yang majemuk, ini perlu ditangkal melalui implementasi demokrasi
permusyawaratan Pancasila sebagai paradigma manajemen konflik kebangsaan.
Saya rasa, hal ini selaras dengan semangat dan inti gagasan yang disampaikan
panglima di banyak kesempatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar