Selasa, 21 Februari 2017

Bermain dengan "Korek Api" Ekonomi

Bermain dengan "Korek Api" Ekonomi
Ashoka Mody  ;    Mantan Kepala Urusan Jerman dan Irlandia di IMF;
Profesor Tamu untuk International Economic Policy di Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Princeton University
                                                     KOMPAS, 20 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sekitar bulan-bulan ini pada tahun lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan tentang pertumbuhan produk domestik bruto global yang mengecewakan, yakni 3,1 persen untuk tahun 2015.

IMF juga meyakinkan, pertumbuhan 2016 dan 2017 akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Namun, ekspektasi pertumbuhan 2016 dan 2017 itu, seperti saya ungkapkan saat itu, tidak realistis. Pada 2016, PDB global diperkirakan hanya tumbuh 3,1 persen, sedangkan pertumbuhan perdagangan dunia melambat substansial, dari 2,7 persen menjadi hanya 1,9 persen. Angka-angka itu menggambarkan ekonomi dunia yang sedang bermasalah.

Namun, lagi-lagi, IMF meramalkan pertumbuhan PDB global akan membaik secara signifikan pada dua tahun ke depan dan perdagangan dunia akan meningkat dua kali lipat. IMF banyak mengaitkan perbaikan ekonomi global yang diharapkan terjadi, khususnya selama 2017 ini, dengan membaiknya pertumbuhan PDB di AS. Optimisme terhadap ekonomi AS ini didasarkan indikator kepercayaan bisnis dan kepercayaan konsumen yang positif serta kenaikan harga saham mengantisipasi stimulus fiskal dan deregulasi yang akan diluncurkan pemerintah.

Namun, antusiasme ini melupakan satu masalah lebih mendasar yang kini tengah mengancam. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump sendiri, lewat kebijakannya untuk menarik diri dari perjanjian-perjanjian dagang yang sudah disepakati AS, akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Pukulan lebih besar juga akan dirasakan oleh perekonomian saat Pemerintah AS mulai menghancurkan berbagai norma dan kelembagaan yang selama ini mengendalikan pasar.

Lebih buruk lagi, Trump bahkan akan mengubah aturan main justru saat ekonomi dunia telanjur rapuh: China tengah berjuang mengatasi gelembung masif di sektor finansialnya dan Eropa seakan tak peduli terhadap kekacauan yang terjadi di sektor perbankan di Italia.

Pada kenyataannya, perjanjian-perjanjian dagang internasional, yang memang dipicu oleh kepentingan-kepentingan yang sangat kuat, memang dirasa semakin intrusif. Sebagaimana dituduhkan oleh Bernie Sanders- senator dari Vermont dan kandidat presiden dari Partai Demokrat pada pemilu pendahuluan di AS-ketika menentang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang beranggotakan 12 negara: kesepakatan seperti itu cenderung melindungi kepentingan perusahaan multinasional besar.

Ekonom Harvard, Dani Rodrik, melontarkan pendapat senada dan dengan sangat tajam mengkritik sejumlah kolega ekonomnya karena mendukung propaganda yang menggambarkan kesepakatan-kesepakatan dagang itu sebagai "perjanjian-perjanjian perdagangan bebas". Kesepakatan-kesepakatan dagang ini hanya akan menguntungkan segelintir pihak, sementara pada saat yang sama menghancurkan penghidupan kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi.

Lawan Trump dalam pilpres, Hillary Clinton, juga tak lagi mendukung TPP sehingga keputusan Trump menarik diri dari TPP secara politik tak terelakkan. Perubahan apa pun (termasuk yang diinginkan sekalipun), akan selalu menuntut biaya transisi yang harus ditanggung dan biaya seperti itu berisiko kian membengkak karena pemerintahan baru secara serampangan mengobrak-abrik prinsip-prinsip mendasar dari ekonomi pasar.

Bermain api

Trump sedang "bermain api" ketika dia mengancam memberlakukan tarif impor untuk "kembali membuat Amerika besar". Pengenaan tarif akan memukul langsung para konsumen AS dan tindakan balasan dari negara-negara lain sebagai reaksi defensif bisa berakibat fatal kian memukul perdagangan global yang sudah terseok-seok, dan ini sama saja mencekik sumber penting kemakmuran global.

Taktik intimidasi Trump terhadap perusahaan-perusahaan secara individual bahkan lebih berbahaya lagi. Menurut The Wall Street Journal, Trump menjadi tokoh yang paling membuat sibuk para produsen AS. "Para anggota dewan mencoba mencari tahu siapa yang memiliki kenalan di dalam pemerintahan yang baru itu," demikian disebutkan dalam artikel tersebut "dan gugus tugas khusus dibentuk untuk mengawasi akun Twitter-nya".

Perusahaan-perusahaan yang "tiba-tiba dihadapkan pada suatu kekuatan baru yang sulit diprediksikan dalam kegiatan operasional mereka" itu memaksa siapa pun yang berharap akan datangnya fajar baru deregulasi harus berpikir dua kali. Campur tangan aktif semacam itu oleh pemerintah dalam kegiatan operasional perusahaan jauh lebih mengganggu dibandingkan segala macam regulasi yang ada.

Dalam esainya yang brilian, profesor hukum Harvard, Cass Sunstein, mengingatkan, campur tangan Trump yang tak bisa diprediksikan dalam urusan korporasi akan merusak ekonomi pasar itu sendiri. Lewat sikapnya yang sewenang-wenang memilih perusahaan tertentu untuk melaksanakan "perintah"-nya, Trump akan menghancurkan prinsip-prinsip mendasar dari ekonomi pasar tentang keterbukaan dan fairness.

"Dalam sebuah dunia yang dikendalikan oleh kehendak presiden," tulis Sunstein, "perusahaan-perusahaan dipaksa menawarkan insentif yang tak masuk akal-untuk menjilat presiden dengan berbagai cara, untuk bertindak strategis, dan membuat berbagai janji dan ancaman bagi kepentingan mereka sendiri."

Fatamorgana kepercayaan ekonomi ini bisa saja berlanjut, karena, seperti kata peraih Nobel Ekonomi Robert Shiller baru-baru ini, satu ilusi akan menciptakan ilusi-ilusi lain. Sekuat-kuatnya "mantra" pada akhirnya akan kehilangan daya.

Ancaman dari Italia

Saat ini pun, pasar keuangan mulai meyakini bahwa bank sentral AS (Federal Reserve)-yang nyaris tak mengubah gambarannya mengenai prospek ekonomi AS-akan butuh waktu lebih lama untuk menaikkan suku bunga dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya. Pertimbangannya karena pertumbuhan ekonomi lebih lesu daripada yang diperkirakan semula.

Langkah-langkah kebijakan Trump yang proteksionis juga akan menekan perdagangan dunia, mendorong inflasi domestik, dan memperkuat nilai tukar dollar, menyebabkan industri ekspor AS menderita. Pada akhirnya, dan dalam skala yang lebih besar, kebijakan-kebijakan Trump yang sewenang-wenang akan menggerogoti lembaga-lembaga internasional dan aturan yang menyangga ekonomi AS dan dunia selama ini, menyebabkan kerusakan masif jangka panjang.

Dan, semua risiko ini muncul justru pada saat model pertumbuhan China dan Eropa sendiri tengah bermasalah. China harus membiarkan gelembung properti yang dipicu kredit di negaranya terus berlangsung, dan ini membuat posisinya juga kian rentan terhadap pelarian modal. Di Eropa, tragedi ekonomi dan sosial Yunani, meski tak lagi menyedot perhatian dunia, kian memburuk.

Namun, ancaman paling nyata terhadap kondisi global adalah perekonomian Italia yang nyaris tak tumbuh hampir selama satu generasi. Pemerintah Italia yang dihadapkan pada tekanan fiskal serius tengah berjuang untuk menyelamatkan perbankannya yang mengalami kebangkrutan, sementara pada saat yang sama mereka juga harus menghadapi kekuatan tekanan politik populis. Dalam situasi seperti ini, satu pantikan kecil korek api saja, apakah itu di Roma, atau di tempat lain di Eropa, atau di Washington DC, bisa menyebabkan kebakaran di seluruh dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar