Hoax
dan Kenormalan Baru
Todung Mulya Lubis ;
Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia
|
TEMPO.CO, 27 Januari 2017
Seorang
mantan presiden mengeluhkan betapa banyak berita bohong, fitnah, palsu, atau
hoax dan bertanya bagaimana nasib rakyat kecil di hadapan semua itu. Keluhan
itu bukan tak beralasan karena memang di media sosial bertaburan hoax yang
berisi berita bohong, palsu, manipulatif, dan fitnah. Di sana ujaran
kebencian, kemarahan, dan niat jahat bercampur-baur dengan provokasi yang
sangat berbahaya. Bisa-bisa rakyat yang awam termakan dengan semua kebohongan
dan fitnah itu lalu bergerak melakukan sesuatu. Sebuah kekacauan bisa saja
terjadi, sebuah rasialisme bisa meledak. Malah pergantian kekuasaan bisa saja
menjadi ujung dari kekacauan dan kegaduhan yang membakar massa.
Seorang
pengamat mengatakan bahwa produsen hoax paling besar dan sempurna adalah
pemerintah karena pemerintah memiliki semua instrumen yang bisa diberdayakan
untuk membuat hoax, lalu menyebarkannya. Ini bukan sekadar hoax, tapi di
balik itu ada ikhtiar sistematis untuk menutupi kebenaran yang sengaja
disembunyikan.
Pada
dasarnya, hoax memang dibuat dengan sengaja untuk menyebarkan kebohongan dan
kebencian karena hanya dengan itu massa bisa digerakkan atau, sebaliknya,
disuruh berdiam diri. Bergantung pada isi hoax yang disebarluaskan, dampaknya
juga bisa diukur. Kalau dulu sering disebut ada politik disinformasi, maka
penyebaran hoax ini adalah kelanjutannya dan sekarang semakin luas menyebar.
Produsen
hoax itu bisa siapa saja dan saya tak berani mengatakan bahwa pemerintah
adalah produsen hoax paling besar dan sempurna. Dalam kecanggihan media
sosial sekarang, siapa pun bisa memproduksi hoax lebih besar dari negara dan
bisa lebih efektif. Tak berlebihan jika saya katakan bahwa telah tumbuh
industri hoax yang berinduk pada banyak kepala, entah itu pemerintah, pihak
swasta, atau individu. Hoax bisa diperdagangkan karena produksinya
membutuhkan bukan saja keterampilan, tapi juga orang-orang yang berkomitmen
untuk membuat strategi produksi dan penyebaran hoax. Karena itu, kampanye
bisa disertai dengan hoax, pemerintahan bisa dipermainkan dengan hoax, dan
para pesohor bisa dirusak karena hoax.
Dunia
memang sedang berubah. Hal-hal yang dulu tak pernah terbayangkan sebagai
kenormalan sekarang menjadi kenormalan dalam keseharian. Terorisme,
isolasianisme, dan fundamentalisme telah menjadi kenormalan baru. Saya kira
hoax juga sudah menjadi kenormalan baru. Suka-tidak suka kita mesti berurusan
dengannya dan sekarang bergantung pada kita bagaimana menyikapinya.
Tak
perlulah bahaya hoax ini dilebih-lebihkan. Kita mesti belajar menanggapinya
dengan kepala dingin, jernih, dan cerdas. Kebohongan sesempurna apa pun tak
akan bisa mengalahkan akal sehat. Kebohongan yang sifatnya individual tak
perlu kita risaukan, tapi kebohongan yang menyangkut masa depan kita semua
yang majemuk, harmonis, bersatu, dan toleran perlu kita tanggapi secara
tegas. Kita tak boleh menganggap remeh hoax yang akan mencabik-cabik negeri
ini.
Kita
memiliki perangkat peraturan perundangan untuk melawan dan menghukum mereka
yang memproduksi hoax yang memecah-belah bangsa. Pasal 156 dan 156a KUHP dan
Pasal 27 dan 28 UU ITE bisa dipakai, walaupun itu adalah pasal-pasal yang
sejak dulu kita tentang. Pasal-pasal tersebut masih bisa dipakai, tapi
sebaiknya kita segera merumuskan perangkat perundangan baru untuk mengganti
perangkat hukum yang cenderung bisa disalahgunakan itu.
Sering
sekali penegakan hukum mengalami kesulitan menghadapi hoax karena dia keluar
dari akun yang tak jelas pembuatnya dan tak bisa dilacak. Mereka bisa
diblokir, tapi akan lahir seribu akun pengganti. Jadi, tugas memblokir adalah
tugas yang harus dijalankan meski akan lahir lebih banyak akun anonim dan
palsu. Kita harus adu napas. Tapi kita juga tak boleh menafikan adanya akun
anonim yang membantu membongkar kasus korupsi atau narkoba.
Ini
tantangan bagi penegakan hukum dan intervensi melalui regulasi. Sikap
Mahkamah Agung kita tidak begitu jelas. Kita tak pernah bisa membaca alasan
rasional sikap Mahkamah Agung karena argumentasinya memang tak pernah
dijelaskan secara rinci.
Bandingkan
dengan Mahkamah Agung Amerika dalam kasus Cohen vs California (1971) dan
United States vs Alvares (2012). Mahkamah mengatakan masyarakat Amerika punya
komitmen nasional yang kuat untuk menyelenggarakan debat publik terbuka
tentang hal yang tak boleh dilarang atau dihalangi. Dengan perspektif seperti
ini, intervensi melalui regulasi tak boleh mematikan debat publik. Sebab,
debat publik inilah tiang dan sokoguru demokrasi.
Sekarang
ini RUU KUHP sedang diperdebatkan di DPR. Saya tak tahu sudah sampai di mana
perdebatannya, tapi sekaranglah saatnya DPR dan pemerintah merumuskan
ketentuan mengenai ujaran kebencian, hate crime, hoax, dan kejahatan cyber
lainnya. Mari kita tunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar