Sabtu, 30 Desember 2017

Tahun Politik, Anomali Selamanya

Tahun Politik, Anomali Selamanya
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 23 Desember 2017



                                                           
Banyak orang bersiap-siap menyambut tahun politik 2018-2019. Mengapa tahun politik? Karena, ada perhelatan politik. Tahun 2018 ada pilkada serentak di 171 daerah: 39 kota, 115 kabupaten, dan 17 provinsi. Jadwalnya tanggal 27 Juni 2018. Andaikata satu daerah ada dua pasangan calon (berarti empat orang), maka di 171 daerah akan ada 684 kontestan di Pilkada 2018. Puncaknya tahun 2019 saat pemilu dan pilpres digelar serentak pula. Kontestannya akan lebih banyak lagi, terutama untuk pemilu. Dua tahun ke depan akan menjadi hari-hari gaduh yang panjang.

Namanya kontestasi, tentu ada timnya. Pasti ada tim sukses. Pasti ada orang partai politik, karena parpol masih menjadi kendaraan politik. Pasti ada konstituennya. Pasti ada massanya. Pasti ada pasukannya di dunia maya. Juga ada buzzer-nya. Kalau melihat konfigurasi seperti itu memang akan gaduh sekali. Kalau barometernya ”frekuensi kegaduhan”, tahun politik tak harus menunggu 2018-2019. Sekarang ini kegaduhan politik tak kurang berisiknya.

Misalnya, Jawa Timur sudah hangat. Khofifah Indar Parawansa rela melepaskan kursi Menteri Sosial. Kursi Gubernur Jatim tampak- nya lebih bergengsi. Kali ini adalah kali ketiga Khofifah bertarung di Pilkada Jatim. Sekarang ia berpasangan dengan calon wakil gubernur Emil Dardak yang sekarang Bupati Trenggalek. Sejak era pilkada langsung, menjadi ”raja/ratu” di kampung sendiri lebih terasa menggiurkan. Tak heran banyak putra daerah yang memilih pulang kampung meski sudah menjadi tokoh nasional di pusat kekuasaan.

Saifullah Yusuf (kini wakil gubernur) yang berpasangan dengan Abdullah Azwar Anas (kini Bupati Banyuwangi) mesti pasang ancang-ancang lebih kuat. Dua pilkada sebelumnya, mereka bertarung juga meski Saifullah di posisi calon wakil gubernur. Khofifah dan Saifullah sama-sama berasal dari rahim NU yang memang basisnya di Jatim. Di Jawa Barat, Ridwan Kamil harap-harap cemas setelah Partai Golkar menarik dukungan. Parpol lain yang mengusung Ridwan pasang harga, meminta agar Ridwan memilih kader partai mereka. Ini bukan negosiasi yang mudah. Tidak ada makan siang gratis, begitu yang sering kita dengar di belantara politik.

Letjen Edy Rahmayadi, Panglima Kostrad saat ini, ngotot ingin pensiun dini demi merebut kursi Gubernur Sumut. Edy kelihatannya tidak happy ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menganulir permintaan pensiun dininya. Edy malah ingin didoakan jadi gubernur ketimbang KSAD. Pilkada juga menghipnotis jenderal-jenderal lain. Di polisi ada Komandan Brimob Polri Irjen Murad Ismail di Pilkada Maluku, Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Irjen Anton Charliyan di Pilkada Jabar, Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin di Pilkada Kaltim.

Jadi tahun 2017 juga tahun politik. Pemicunya Pilkada DKI Jakarta yang sampai dua putaran. Bukan cuma di institusi resmi atau dunia maya, gerakan massa juga muncul besar-besaran. Jalanan Jakarta benar-benar bergelora. Sebetulnya Pilkada DKI Jakarta adalah episode lanjutan dari Pilpres 2014. Sejak itu panggung politik tidak pernah senyap. Usai pilpres, politik tetap panas dan berisik. Gara-gara rivalitas dua calon, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, para pendukungnya juga terbelah. Sampai sekarang terus saja berperang, terlebih di jagat maya.

Sekarang tiap hari penuh isu politik. Semua orang merasa berkepentingan, bukan cuma politikus. Tiba-tiba banyak orang merasa paling paham mengurus negara. Jadi teringat buku lama waktu kuliah dulu tentang konsep empat tipe partisipasi politik Paige (dalam Surbakti, 1992). Pertama, apabila kesadaran politik dan kepercayaan pada pemerintah tinggi, maka partisipasi cenderung aktif. Kedua, apabila kesadaran politik dan kepercayaan pada pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung pasif. Ketiga, apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan pada pemerintah sangat tinggi, maka partisipasi bisa pasif. Terakhir, ini yang lain, apabila kesadaran politik tinggi tapi kepercayaan pada pemerintah sangat rendah, namanya militan radikal.

Nah, belakangan gerakan politik yang mengandalkan kekuatan massa kerap bertemu kepentingan dengan para politikus. Banyak politi- kus yang tak lagi fokus bekerja untuk rakyat. Misalnya, karena terlalu sibuk mengurusi persoalan lain, politikus di DPR lupa merampungkan tugas mereka, sebutlah menuntaskan legislasi. Banyak yang larut dalam gemuruh gerakan politik yang menambah kegaduhan.

Politik pun tidak lagi musiman. Sudah seperti anomali cuaca. Sekarang hujan turun tidak di ”musim” saja. Karena musim hujan berlangsung sepanjang tahun. Dengan anomali politik, setiap hari kita menyaksikan kegaduhan soal rivalitas dan persaingan perebutan kursi kekuasaan. Sayangnya, banyak nada tak merdu. Karena, bukan beradu watak baik dan kerja keras, melainkan berebut posisi tinggi dengan merendahkan pihak lain. Ah, itulah anomali tahun politik. Semoga, mereka yang bertarung di 2018 dan 2019 tidak seperti itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar