Freeport
dan Posisi Hukum RI
Giri Ahmad Taufik ; Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia; Pengajar STIH Jentera; Mahasiswa
PhD Griffith University, Australia
|
KOMPAS, 20 Maret 2017
Negosiasi dengan PT Freeport Indonesia terkait dengan
penyesuaian kontrak karya Freeport tahun 1991 dengan Undang-Undang Mineral
dan Batubara (Minerba) tahun 2009 memasuki babak baru.
Setelah lebih kurang tujuh tahun pemerintah berusaha
melakukan renegosiasi dengan Freeport, akhirnya negosiasi mengalami kebuntuan
yang ditunjukkan dengan konferensi pers Freeport baru-baru ini. Pada 2010,
pemerintah mulai melakukan renegosiasi dengan beberapa perusahaan tambang
sebagai bagian dari menjalankan amanat Pasal 169 UU Minerba. Terhadap
Freeport, hal ini baru terlaksana dengan disepakatinya nota kesepahaman (MOU)
renegosiasi amandemen KK pada 2014. MOU itu menyepakati ruang lingkup
negosiasi, seperti penurunan luas wilayah kerja, ketentuan divestasi, aturan
perpajakan, dan perubahan bentuk hubungan hukum dari rezim kontrak menjadi
rezim izin (Sukhyar, 2015).
Kebuntuan negosiasi yang timbul antara pemerintah dan
Freeport mencakup banyak lapisan dimensi hukum KK tahun 1991 (KK 1991) vis a
vis UU Minerba 2009. Saat ini, baik Freeport maupun pemerintah belum memberikan
penjelasan yang jelas terkait pelanggaran KK 1991 yang akan dijadikan dasar
bagi Freeport untuk membawa persoalan ini ke arbitrase.
Saya berspekulasi—berdasarkan bacaan terhadap kontrak dan
dinamika yang ada—Freeport setidaknya akan mengajukan dua klaim terkait
dengan pelanggaran kontrak. Pertama, terkait permintaan perpanjangan kontrak
Freeport berdasarkan ketentuan Pasal 31 Ayat 2 KK 1991 yang salah satu
poinnya Freeport dapat meminta perpanjangan kontrak kapan pun diminta. Hal
ini tentu bertentangan dengan Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23
Tahun 2010 yang menggariskan perpanjangan izin usaha baru dapat dilakukan dua
tahun sebelum masa kontrak habis dan Pasal 169 Huruf b yang memerintahkan
perubahan kontrak karya menjadi rezim izin.
Kedua, terkait kebijakan pengenaan biaya ekspor sebagai
bagian dari pelaksanaan Pasal 103 UU Minerba. Hal ini bertentangan dengan
Pasal 11 Ayat (1) KK 1991 yang memberikan hak bagi Freeport untuk memasarkan
produknya (ekspor) tanpa ada satu hambatan apa pun yang bersifat keuangan
(monetary).
Pada prinsipnya, persoalan ini menyangkut kedaulatan
negara (right to regulate) vis a vis klausul stabilisasi (stabilization
clause). Klausul stabilisasi adalah klausul pada kontrak investasi jangka
panjang yang ditujukan untuk melindungi investasi dan proyeksi keuntungan
yang didapat, dari dampak negatif adanya perubahan aturan/kebijakan
pemerintah di masa datang. Perkembangan hukum internasional terkait hal ini
menunjukkan, kedaulatan negara untuk melakukan perubahan terhadap
kebijakan/aturannya tetap dapat dilakukan selama penerapan perubahan itu
terhadap kontrak yang ada dilaksanakan dengan tindakan adil dan layak (fair
and equitable treatment/FET).
Kedaulatan negara atas SDA
Pada 31 Oktober 1956, ribuan tentara gabungan Inggris dan
Perancis bergerak melakukan invasi ke Mesir. Invasi ini merupakan akumulasi
perseteruan antara Mesir dan Inggris-Perancis atas kepemilikan Terusan Suez.
Setahun sebelumnya, Presiden Gamal Abdul Nasser melakukan nasionalisasi
Terusan Suez yang telah berada di bawah kontrol Inggris-Perancis selama 87
tahun. Krisis Suez bukan merupakan insiden tunggal. Nasionalisasi pada era
tersebut merupakan kecenderungan negara-negara baru merdeka yang ingin
mengukuhkan kedaulatannya atas sumber daya alam (SDA), seperti Indonesia
dengan Tembakau Bremen (1959) dan Nasionalisasi Industri Migas Iran (1951).
Tak jarang respons negara-negara Barat ditunjukkan dengan
melakukan aksi agresi militer, seperti dalam kasus Terusan Suez atau intrusi
politik, seperti dalam kasus kudeta Mohammad Mossadegh di
Iran.Peristiwa-peristiwa ini menyadarkan negara-negara baru tersebut bahwa
perlu adanya jaminan hukum internasional akan kedaulatan mereka terhadap SDA
yang dimiliki. Kesadaran ini kemudian dituangkan dalam dua dokumen hukum
internasional, yakni Resolusi Majelis Umum 1803/1969 tentang Permanent
Sovereignty Over Natural ResourcesdanResolusi 3201/1974 tentang Declaration
on The Establishment of a New International Economic Order. Kedua dokumen
menegaskan kedaulatan terhadap hak negara berdaulat untuk mengontrol SDA-nya
bagi kemakmuran rakyatnya.
Prinsip kedaulatan negara tersebut bukan merupakan klaim
sepihak, melainkan telah diterima dan ditegaskan dalam beberapa putusan
arbitrase. Sebagai contoh, putusan Parkerings v Lithuania (2007) menegaskan,
kewenangan negara untuk mengatur merupakan hak dan privilese yang tidak dapat
disangkal (undeniable rights and privilege). Meski demikian, penerapan
prinsip kedaulatan negara tersebut tidak serta-merta memberikan kewenangan
mutlak bagi negara untuk bertindak sewenang-wenang. Pembatasan terhadap
prinsip tersebut perlu dilakukan untuk memberikan kepastian dan jaminan bagi
investor guna mendapatkan proyeksi keuntungan yang diharapkan dari investasi
tersebut di masa depan.
Posisi hukum Internasional terkait ini adalah
menyeimbangkan antara jaminan atas keuntungan yang diharapkan (legitimate and
reasonable expectations) dan hak negara dalam mengatur untuk kepentingan
publik, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa putusan arbitrase {Saluka v the
Czech Republic (2006) dan Suez v Argentina (2010)} (Hirsch, 2013).
Standar FET
Salah satu prinsip yang berkembang untuk menyeimbangkan
antara kedaulatan negara vis a vis kepastian berusaha adalah dengan
mengembangkan standar FET. Pada prinsipnya, standar FET menegaskan beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan bagi negara untuk menerapkan kedaulatannya
dalam mengatur, yang dapat berdampak pada ketentuan stabilisasi sebuah
kontrak. Prinsip tersebut meliputi non-diskriminatif, jaminan atas kepastian
proyeksi keuntungan, dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Prinsip tersebut membatasi tindakan Indonesia dalam
memaksa Freeport untuk menyesuaikan dengan UU Minerba. Pertama, prinsip
non-diskriminatif mensyaratkan bahwa tindakan Pemerintah Indonesia tidak
hanya berlaku pada Freeport semata. Kedua, prinsip jaminan kepastian proyeksi
keuntungan investasi mensyaratkan bahwa Indonesia harus menghormati proyeksi
keuntungan yang ingin didapat oleh Freeport saat investasi dilakukan. Ketiga,
prinsip melaksanakan secara tak sewenang-wenang mensyaratkan bahwa tindakan
pemerintah harus dengan proses yang berkeadilan dan layak.
Jika ditilik proses yang terjadi dalam lebih kurang tujuh
tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa Indonesia sebenarnya telah melaksanakan
standar FET dalam melaksanakan UU Minerba. Pada prinsip non-diskriminatif,
pemberlakuan UU Minerba tak hanya diterapkan pada subyek hukum asing semata,
tetapi juga pada subyek hukum Indonesia. Pada prinsip kedua, kita bisa
melihat bahwa sebenarnya semua kewajiban di dalam UU Minerba sudah tertera di
dalam KK 1991 Freeport. Sebagai contoh, kewajiban pemurnian (Pasal 10 Ayat 5
KK 1991) atau kewajiban divestasi (Pasal 24 KK 1991).
Tidak operasionalnya ketentuan-ketentuan ini salah satunya
disebabkan klausul stabilisasi, yang justru memberikan posisi yang tidak adil
bagi Indonesia, seperti menyatakan bahwa hanya perubahan kebijakan/peraturan
pemerintah yang menguntungkan bagi Freeport yang akan diberlakukan jika
terjadi perubahan peraturan (Pasal 24 Huruf d KK 1991) di mana pada 1994
terjadi perubahan peraturan terkait dengan kepemilikan asing sehingga
kewajiban divestasi menjadi ”gugur”.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pada saat
penandatanganan kontrak 1991 sebenarnya Freeport sudah memiliki proyeksi keuntungan,
jika kewajiban-kewajiban tersebut harus dilaksanakan sehingga seharusnya
kehendak pemerintah memaksakan hal-hal tersebut seharusnya tidak mengganggu
proyeksi dari Freeport atas keuntungan yang ingin didapatnya.
Fakta lain yang dapat mendukung Indonesia adalah bahwa
Freeport sudah beroperasi selama hampir 25 tahun (di bawah kontrak 1991)
tanpa adanya perubahan kebijakan subtantif. Hal ini juga variabel penting
untuk menguatkan posisi Indonesia. Hal ini dikarenakan perubahan UU Minerba
Indonesia tak terjadi dalam waktu singkat sehingga berpotensi memberikan efek
roller coaster dan mengganggu proyeksi keuntungan perusahaan Freeport (PSEG v
Turkey, 2007).
Terakhir, pada prinsip melaksanakan tindakan
sewenang-wenang, proses negosiasi yang telah berjalan lebih kurang tujuh
tahun menunjukkan pemerintah sebenarnya telah melakukan proses tersebut
secara layak. Bahkan, selama proses itu pemerintah telah memberikan
keistimewaan tertentu kepada Freeport dibandingkan dengan perusahaan
multinasional lain, bahkan terhadap perusahaan dalam negeri Indonesia
sekalipun.
Keputusan untuk menerima tantangan arbitrase Freeport
merupakan langkah yang tepat, jika proses perundingan selama 120 hari tidak
berjalan. Sikap tunduk terhadap ancaman Freeport, misalnya dengan melakukan
revisi UU Minerba, bukan merupakan pilihan. Meski demikian, maju ke proses
arbitrase memerlukan persiapan yang matang dengan mengeksplorasi berbagai
skenario dan argumentasi hukum. Perlu diingat, jika pun Indonesia memiliki
posisi yang kuat, tetapi secara umum kecenderungan putusan arbitrase
menunjukkan adanya tafsir yang lebih sempit terhadap FET, yang melindungi
stabilitas investor asing (Johnson & Volkov, 2013). Oleh karena itu, opsi
penyelesaian secara damai melalui negosiasi tetap harus dilaksanakan, tetapi
tanpa mengorbankan kedudukan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar