Kamis, 08 Maret 2018

Demokrasi Degeneratif

Demokrasi Degeneratif
Yudi Latif  ;   Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila
                                                        KOMPAS, 08 Maret 2018



                                                           
Penangkapan para penebar konten-konten hoaks bermuatan ujaran kebencian dan isu-isu provokatif bermotif politik menyingkap bahaya tersembunyi dalam demokrasi. Ancaman terhadap demokrasi bukan saja datang dari aneka bentuk ideologi komprehensif semisal komunisme atau khilafahisme yang secara sistematis menolak ideal-ideal demokrasi. Ancaman paling nyata justru datang dari dalam pendukung demokrasi itu sendiri. Yakni, kehadiran suatu bentuk demokrasi degeneratif (dekaden), yang diperjuangkan oleh aktor-aktor yang menyuarakan demokrasi dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Fenomena paling menonjol dari bentuk demokrasi dekaden yang melanda dunia saat ini adalah ”populisme”. Seperti digambarkan Jan-Werner Mueller (2017), populisme adalah konsep-gerakan politik yang menggugah dukungan rakyat dengan retorika antielitis (antikemapanan) melalui fabrikasi politik identitas yang eksklusif dan diskriminatif.

Dalam tendensinya ke arah eksklusivisme, aktor populis mendaku dirinya sebagai representasi asli (sejati) dari rakyat. Sebagai representasi keaslian, mereka mendefinisikan diri sebagai penjaga moral seraya menuding lawan politiknya sebagai immoral. Dengan memosisikan rakyat sebagai sumber kemurnian dan kebajikan moralitas, lawan politik yang dituding immoral itu dianggap bukan rakyat (pihak asing yang harus disingkirkan).

Berhubung demokrasi memerlukan pluralitas kewargaan serta kebebasan dan kesetaraan dalam perbedaan, kecenderungan populisme pada ketunggalan, homogenisasi, dan keaslian mendatangkan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi. Dengan penunggalan itu, para populis bukan saja mendorong polarisasi dan permusuhan atas dasar perbedaan identitas, mereka juga menuding lawan politiknya sebagai ”musuh rakyat”.

Aktor populis tidak hanya memecah belah rakyat dengan isu- isu provokatif dan ujaran kebencian selama kampanye, tetapi juga bisa melanggengkan konflik dan pembelahan setelah meraih kekuasaan. Pemerintahan populis cenderung melanggengkan politik identitas untuk menutupi kelemahan kinerja pemerintahannya, mengembangkan kebijakan asal berbeda dari rezim sebelumnya, dan ”klientelisme massa” (menggunakan birokrasi dan anggaran untuk mendahulukan kepentingan klien-pendukungnya).

Bangkitnya populisme tidaklah datang dari ruang vakum. Meluasnya sentimen politik identitas yang eksklusif merupakan arus balik dari cacat globalisasi dan demokrasi liberal. Globalisasi dengan penetrasi pasar bebas yang memboncengnya membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” dan ”yang kalah”, baik secara internasional maupun intranasional. Bermula dari pusat-pusat kapitalisme internasional, arus globalisasi pada gilirannya bisa berbalik arah menuju pusat (reverse globalization). Dengan liberalisasi perdagangan dan investasi berskala global, pasar berkembang begitu bebas yang melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4). Situasi inilah yang melambungkan kesenjangan sosial di berbagai belahan bumi.

Biaya politik

Saat globalisasi menimbulkan kesenjangan sosial, demokrasi liberal yang menekankan keterpilihan dengan suara terbanyak melambungkan biaya politik. Dengan biaya politik yang mahal, seleksi kepemimpinan lebih menekankan modal finansial ketimbang modal moral-sosial. Ketergantungan demokrasi pada pemodal ini kian melebarkan kesenjangan sosial.

Lebih dari itu, ketika modal finansial lebih menentukan ketimbang modal moral-sosial, politik sebagai teknik manipulatif mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Dalam kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dalam demokrasi padat modal dengan kemunduran nalar etis, hampir semua hal dikonversikan ke dalam nilai uang.

Tatkala uang menjadi tuan, sedang sebaran uang tidak merata, kelompok yang merasa tersudut secara ekonomi dan politik cenderung mengembangkan mekanisme defensif dengan mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan tribus: fundamentalisme, etnosentrisme, premanisme. Meluasnya sentimen tribus inilah yang dimanfaatkan oleh elite politik oportunis untuk meledakkannya dalam kobaran populisme.

Rayuan kampanye populisme itu lebih mudah menjalar dalam situasi masyarakat dengan landasan etis yang rapuh. Di dalam demokrasi lemah etik, hukum berenang di lautan para perompak; sehingga surplus undang- undang tak mencegah warga mengembangkan aksi-aksi manipulatif, menyebarkan kebohongan dan kebencian.

Populisme berikut industri hoaks yang menyertainya juga berkembang pesat dalam konteks masyarakat dengan nalar literasi dan nalar ilmiah yang cetek. Budaya demokrasi mengandaikan adanya empati dan argumentasi; yakni kesanggupan untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, serta kesanggupan mengekspresikan pikiran secara tepat, rasional, dan terukur. Kemampuan empati dan argumentasi ini bisa ditumbuhkan oleh kekuatan literasi (Lerner, 1958).

Tanpa nalar ilmiah yang cukup, konten-konten hoaks dikonsumsi dan disebarkan tanpa prosedur dan kapasitas verifikatif. Dengan lebih meningkatkan prasyarat formal ketimbang pendalaman nalar ilmiah, sejumlah dosen dan guru secara menyedihkan menjadi mata rantai penebar hoaks. Banyak orang berpenampilan pandita untuk ”menjual” ayat dengan harga yang murah; mengagungkan nama Tuhan dengan disinformasi dan caci maki; membohongi publik dengan rekayasa gambar dan data.

Populisme tidaklah menghadirkan solusi atas masalah yang dikritiknya, tetapi sekadar cara reaktif-manipulatif merespons masalah dengan menimbulkan masalah yang lebih parah. Krisis demokrasi kita hanya bisa diatasi dengan mengembalikan politik berkeadilan, politik beretik, dan politik bernalar dalam membangsa dan menegara berlandaskan Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar