Ancaman
Delegitimasi Trump
Ahmad Safril ; Pengajar Sistem Politik Amerika Serikat
di Departemen Hubungan
Internasional Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 21
Januari 2017
SETELAH
resmi dilantik sebagai presiden Amerika Serikat pada Jumat (20/1/2017),
Donald Trump bakal dibayangi ancaman delegitimasi sepanjang masa
pemerintahannya. Ancaman delegitimasi itu berasal dari tiga sumber. Pertama,
terkuaknya dugaan peretasan Rusia atas hasil pemilu yang ditengarai komunitas
intelijen telah membantu Trump meraih kemenangan. Kedua, maraknya protes
publik yang menentang terpilihnya Trump. Ketiga, melemahnya dukungan politik
terhadap Trump.
Peretasan Rusia
Setelah
melakukan investigasi selama sekitar dua bulan, pada 16 Desember 2016,
komunitas intelijen yang terdiri atas Badan Intelijen Pusat (CIA), Biro
Investigasi Federal (FBI), dan Intelijen Nasional menyepakati temuan bahwa
Rusia mendiskreditkan Hillary Clinton demi membantu Trump memenangi pemilihan
presiden. Sebenarnya, sebulan menjelang pilpres 8 November 2016, pemerintah
AS curiga Rusia meretas Komite Nasional Partai Demokrat (DNC).
Semula,
komunitas intelijen tidak memiliki kesimpulan bahwa peretasan itu bertujuan
untuk membantu Trump memenangi pilpres. Namun, dalam perkembangannya, mereka
memaparkan bukti dukungan Rusia terhadap Trump.
Meski
Rusia membantah, Barack Obama yang waktu itu masih menjabat presiden meyakini
Vladimir Putin mengetahui peretasan tersebut. Dalam KTT APEC di Peru, 20
November 2016, Obama memperingatkan Putin agar tidak turut campur dalam
politik domestik AS. Dia juga mengancam membalas Rusia. Ancaman tersebut
akhirnya benar-benar direalisasikan ketika pada 30 Desember 2016 AS mengusir
35 diplomat Rusia.
Berbeda
dengan Obama, Trump tidak memercayai temuan intelijen. Dia berkali-kali
menyebut hasil investigasi intelijen itu sebagai ’’ridiculous’’. Dalam
pernyataannya pada 10 Desember 2016, dia mengejek komunitas intelijen sebagai
’’These are the same people that said Saddam Hussein had weapons of mass
destruction.’’
Hal
itu ditujukan untuk menggambarkan bahwa hasil temuan intelijen tidak dapat
dipercaya seperti halnya kepalsuan atas dugaan kepemilikan senjata pemusnah
masal yang dijadikan dasar menginvasi Iraq pada 2003. Ketidakpercayaan Trump
itu bakal berdampak buruk terhadap hubungan sang presiden dengan intelijen.
Padahal, Trump jelas membutuhkan data-data intelijen untuk mengetahui potensi
ancaman yang dihadapi AS.
Protes Publik
Sejak
dinyatakan terpilih sebagai presiden, Trump disambut gelombang protes di mana-mana.
Sehari pascapilpres, ribuan rakyat AS berdemonstrasi menentang Trump dengan
membentangkan tulisan ’’not my president’’ dan ’’we don’t accept the
president-elect’’. Protes yang terpusat di Trump Tower, New York, itu
bergelombang dari Philadelphia dan Miami di pantai timur hingga Seattle dan
San Francisco di pantai barat AS. Di media-media sosial, merebak gerakan
penolakan dengan mengusung tanda pagar #AntiTrump dan #NotMyPresident. Bukan
hanya masyarakat akar rumput, kalangan selebriti juga mengungkapkan hal
serupa.
Dalam
pentas panggungnya di American Music Awards pada 21 November 2016, grup musik
Green Day menyanyikan lagu yang liriknya menyuarakan ’’no Trump, no KKK (Ku
Klux Klan), no fascist USA’’. Ketika memberikan sambutan dalam Golden Globes
Awards pada 8 Januari 2017, aktris kawakan Meryl Streep mengkritik Trump yang
menggunakan kekuasaannya untuk melecehkan orang lain. Ironisnya, Trump
menyerang balik semua pengkritiknya tersebut. Melalui kicauannya di Twitter
pada 9 Januari 2017, dia mengejek Streep sebagai ’’... Hillary flunky who
lost big’’.
Dua
hari kemudian, Trump memancing permusuhan dengan kalangan media. Dalam
konferensi pers, dia menuding CNN sebagai stasiun televisi yang menyiarkan
’’fake news’’. Sikap semacam itu tentu membuat dia tidak bisa menjadi sahabat
baik media. Rentetan kata-katanya yang kerap menghina bakal menimbulkan
kegaduhan yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga berpotensi
menurunkan derajat legitimasi Trump.
Dukungan Politik
Sejak
awal, Trump tidak memperoleh dukungan penuh dari Partai Republik. Sejumlah
tokoh berpengaruh partai itu seperti mantan Presiden George W. Bush, Senator
John McCain, dan pemimpin mayoritas senat Mitch McConnel berseberangan dengan
Trump. Kalangan Republik tidak menyukai sikap Trump yang rasis dengan beragam
komentarnya yang melecehkan. Apalagi, Trump dipandang sebagai orang luar yang
menominasikan diri sebagai capres Republik, bukan politikus partai itu yang
telah berpengalaman menduduki jabatan publik.
Karena
itu, penguasaan Republik atas 52 kursi senat dan 241 kursi DPR bisa jadi
tidak banyak berarti bagi pemerintahan Trump. Apalagi, McCain dan McConnel,
dua sosok senator berpengaruh yang meyakini dugaan keterlibatan Rusia dalam
pemilu AS, menuntut investigasi lebih lanjut atas kasus itu. Jika dugaan
tersebut terbukti, ada kemungkinan Trump menghadapi ancaman pemakzulan.
Kali
terakhir presiden yang terancam dimakzulkan adalah Bill Clinton atas dugaan
perselingkuhan dengan Monica Lewinsky, pegawai magang Gedung Putih. Publik memaafkan
Clinton karena skandal itu merupakan urusan pribadi yang tidak merugikan
kepentingan publik. Namun, belum tentu publik memaafkan Trump karena skandal
peretasan pemilu jelas berbahaya bagi demokrasi AS yang telah dibangun secara
kukuh selama ratusan tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar