Kamis, 12 April 2018

Berebut Posisi “Ban Serep”

Berebut Posisi “Ban Serep”
Syamsuddin Haris  ;   Guru Besar Riset LIPI
                                                         KOMPAS, 12 April 2018



                                                           
Wajah sumringah dan senyum lebar terpancar dari raut muka para ketua umum partai politik setiap kali usai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka berharap dipinang mendampingi Jokowi dalam pemilu presiden mendatang. Mengapa jabatan wakil presiden diburu jika tak lebih dari sekadar “ban serep”?

Dalam skema sistem presidensial, kedudukan wakil presiden (wapres) memang mirip ”ban serep”. Seperti posisi ban serep pada kendaraan bermotor, wapres baru berfungsi ketika presiden berhalangan, baik berhalangan sementara maupun berhalangan tetap. Konstitusi kita, UUD 1945, menganut prinsip yang sama. Posisi wapres bahkan relatif tak jauh berbeda dengan kedudukan menteri-menteri negara.

Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Kosakata “Presiden dibantu” yang digunakan oleh konstitusi tidak jauh berbeda dengan bunyi Pasal 17 Ayat (1) UUD yang sama, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”.

Walaupun demikian, kedudukan wapres dalam sejarah politik bangsa kita amat strategis. Ketika Mohammad Hatta menjadi wapres mendampingi Presiden Soekarno pada periode awal kemerdekaan, tidak sedikit peran politik wapres yang bahkan mengubah arah bangsa kita. Di antaranya adalah terbitnya Maklumat Pemerintah No X yang ditandatangani oleh wakil presiden pada 16 Oktober 1945 tentang kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai badan legislatif sebelum terbentuknya MPR dan DPR hasil pemilihan umum.

Begitu pula maklumat pemerintah yang juga ditandatangani Wapres Hatta yang berisi anjuran pembentukan partai-partai politik pada 3 November 1945 yang akhirnya mendorong lahirnya sistem multipartai. Padahal sebelum itu, Presiden Soekarno sempat menggagas urgensi pembentukan satu partai nasional atau partai negara bagi Indonesia merdeka yang baru seumur jagung tersebut.

Begitu strategisnya posisi Bung Hatta sebagai pendamping Bung Karno, sehingga dua orang proklamator Soekarno-Hatta yang kemudian menjabat presiden dan wapres pascaproklamasi dijuluki sebagai “Dwitunggal”.
Dua orang tokoh pendiri bangsa tersebut sering berbeda pandangan politik, cara, dan juga strategi, namun memiliki satu tujuan yang sama, yakni terwujudnya Indonesia merdeka yang tidak hanya berdaulat secara politik dan berdikari secara ekonomi, melainkan juga berkarakter serta berkepribadian secara budaya. Setelah menjadi wapres selama hampir 11 tahun, pada akhir 1956 Bung Hatta akhirnya mengundurkan diri.

Eksekutif tunggal

Kecuali Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978) dan Adam Malik (1978-1983) yang memiliki peran pendamping cukup signifikan pada zamannya, wakil-wakil presiden lain selama rezim Soeharto berkuasa, yakni Umar Wirahadikusumah,  Sudharmono, Try Sutrisno, dan BJ Habibie cenderung bersifat protokoler belaka. Artinya, wapres berfungsi saat mewakili presiden atau diminta untuk membuka, menutup, dan/atau meresmikan suatu acara, baik acara pemerintah atau negara maupun kegiatan masyarakat. Relatif tidak ada otoritas politik presiden yang terbagi atau dibagi kepada wapres.

Habibie yang memiliki hubungan personal sangat dekat dengan Soeharto bisa berkiprah lebih karena diberi otoritas memimpin sejumlah industri strategis melalui Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) bahkan sejak putra Parepare itu menjadi menteri riset dan teknologi. Namun riwayat BPIS berakhir pasca-lengser dan berakhirnya kekuasaan Soeharto.

Jadi, besar-kecilnya peran wapres sangat tergantung pada ketokohan yang bersangkutan di satu pihak, dan sejauh mana presiden mau berbagi otoritas di lain pihak. Sebab secara teori, institusi presiden adalah eksekutif yang bersifat tunggal.

Di sini pula perbedaannya dengan sistem parlementer, karena kekuasaan perdana menteri dalam skema parlementer bersifat kolegial sehingga terbagi dengan partai-partai koalisi pendukung perdana menteri. Setiap anggota kabinet dalam sistem parlementer secara formal mendapat mandat politik sekaligus mewakili partainya. Konsekuensi logis dari konsep presiden sebagai eksekutif yang bersifat tunggal, di antaranya: pertama, meskipun presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, namun wapres bukanlah wakil kepala negara dan juga bukan wakil kepala pemerintahan. Kedua, kekuasaan presiden tidak terbagi atau tidak dapat dibagi dengan wakil presiden, kecuali presiden menghendakinya.

Ketiga, sebagai konsekuensi dari dua argumen sebelumnya maka tuntutan agar wapres memiliki sebagian kewenangan pada dasarnya tidak relevan dan tidak sesuai skema sistem presidensial. Analogi yang sama bisa dilakukan untuk daerah. Wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota pada dasarnya bukanlah wakil-wakil kepala daerah.

“The Real President”

Pada era reformasi, bangsa kita memiliki empat orang wapres, yakni Megawati Soekarnoputri (1999-2001) sebelum akhirnya menjadi presiden yang didampingi oleh Wapres Hamzah Haz (2001-2004), kemudian Jusuf Kalla (JK) (2004-2009) dan  Boediono (2009-2014) yang mendampingi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode. JK menjadi wapres untuk kedua kalinya ketika dipinang oleh Jokowi (2014-2019).

Sebagai wapres, peran Megawati sangat signifikan terutama karena kondisi fisik Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak memungkinkannya mengontrol dan mengendalikan pemerintahan secara optimal. Dampaknya, pada periode Wapres Megawati inilah kantor sekretariat wapres membesar secara birokrasi melampaui Kantor Sekretariat Presiden di Kompleks Istana Negara.

Ketika JK menjadi wapres mendampingi SBY periode pertama, pengusaha Bugis kelahiran Watampone, Bone, tersebut tidak mau sekadar menjadi “ban serep”. Sebagai wapres, JK tidak hanya memainkan peran signifikan di balik kebijakan ekonomi SBY, tetapi juga memimpin perundingan dan akhirnya mewujudkan perdamaian di Aceh melalui Perjanjian Helsinki pada 2005. Di tengah kelambanan SBY mengambil keputusan, peran JK sebagai wapres menjadi begitu  menonjol sehingga sejumlah media menjulukinya sebagai “The Real President”.

Terlepas dari kedudukan normatif wapres sebagai “ban serep”, posisi cawapres pada Pemilu 2019 sangat penting karena beberapa alasan.  Pertama, cawapres pendamping capres, entah bagi Jokowi ataupun Prabowo Subianto — jika benar-benar maju sebagai capres — berpeluang besar menjadi capres dan bahkan presiden hasil Pemilu 2024. Investasi politik sebagai wapres selama lima tahun  akan menjadi modal besar sebagai capres dalam pemilu berikutnya.

Kedua, bagi para ketua umum parpol, posisi sebagai cawapres diharapkan dapat memberi insentif elektoral bagi parpol yang mereka pimpin, sehingga perolehan hasil pemilu legislatif ikut terdongkrak pula. Ketiga, Pasal 8 Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan, “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Seperti diketahui, Pasal 8 konstitusi inilah yang digunakan oleh Presiden Soeharto ketika mengundurkan diri pada 1998 dan digantikan oleh Wapres Habibie.

Bagi Jokowi, tidak begitu penting apakah wapres benar-benar sekadar “ban serep”, atau justru “The Real President”. Saya kira, cawapres yang diharapkan Jokowi bukan hanya tokoh yang jujur, tulus, dan berintegritas, tetapi  juga figur yang telah selesai dengan dirinya sendiri agar bisa fokus dan sepenuh hati bekerja untuk Indonesia yang lebih berdaulat, adil, dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar