Kamis, 01 Maret 2018

Mengakhiri Diskriminasi Aturan Tanah di DIY

Mengakhiri Diskriminasi Aturan Tanah di DIY
Enrico Simanjuntak  ;   Program Doktor Hukum UI
                                           MEDIA INDONESIA, 28 Februari 2018



                                                           
KENDATI sejak 1 April 1984 melalui Keppres No 33/1984 Provinsi DIY sepenuhnya memberlakukan UU No 5/1960 tentang Pokok Agraria, tampaknya unifikasi hukum tanah nasional belum sepenuhnya berhasil. Bagaimana tidak? Editorial Media Indonesia Sabtu, 25 Februari 2018, 'Cabut Diskriminasi soal Tanah di DIY' selain mengisyaratkan aturan pendaftaran tanah yang intoleran-diskriminatif, sekaligus merefleksikan sisi lain lemahnya koordinasi antarinstansi pusat dan daerah dalam mengurus dan mengelola bidang pendaftaran tanah.

Pertanyaan mendasar, meskipun instruksi wakil kepala daerah yang dipersoalkan ini bukan termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan, bagaimana bisa instansi lain terikat instruksi itu sehingga praktik diskriminasi berlangsung sekian lama seakan hukum tanah di DIY berbeda dengan hukum tanah nasional? Beban tanggung jawab bukan hanya berada di Pemprov DIY, tetapi termasuk di kementerian yang mengurusi pertanahan/agraria.

Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi pada pokoknya berisi kebijakan agar WNI nonpribumi yang apabila membeli tanah milik rakyat, terlebih dahulu harus melalui pelepasan hak. Setelah tanah itu kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung Pemerintah DIY, barulah yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Kepala DIY untuk mendapatkan sesuatu hak, yang biasanya akan diberi HGU atau HGB.

Intinya berdasarkan instruksi itu WNI nonpribumi tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah. Instruksi itu mengandung dua masalah mendasar, bertentangan dengan konstitusi negara, juga bertentangan dengan peraturan pokok di bidang agraria (UU No 5/1960).

UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tidak membedakan WNI pribumi dan nonpribumi untuk mempunyai hak milik. UUPA hanya mengenal istilah WNI. Selain itu, istilah WNI nonpribumi dan rakyat ialah konsep yang ambigu dan mengandung kontroversi. Dalam tataran praktis, defensi WNI pribumi dan nonpribumi rentan menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi ras. Syarat presiden harus orang Indonesia asli saja sudah dicabut, diganti natural born-citizen, dalam amendemen UUD 1945.

Kewenangan Pemerintah DIY

Kendati kewenangan Pemprov DIY di bidang pertanahan telah ditentukan secara limitatif dalam (Peraturan Daerah Istimewa) Perdais No 1/2013 tentang Kewenangan dalam Urusan Keistimewaan DIY, dengan berdasarkan Pasal 45 Perdais itu ditegaskan, kewenangan pertanahan (hanya) meliputi antara lain (a) izin lokasi, (b) pengadaan tanah untuk kepentingan umum, (c) penyelesaian sengketa tanah garapan, dan (d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

Namun, tampaknya ketentuan ini perlu lebih diharmonisasikan dengan instansi pusat yang berwenang dalam urusan agraria. Uraian kewenangan di atas sebenarnya tidaklah mengandung keistimewaan khusus karena pada dasarnya kewenangan itu sama dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang ditentukan Keppres No 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Memaknai instruksi wakil kepala daerah yang dipersoalkan berbagai pihak itu sebagai manifestasi keistimewaan pengelolaan pertanahan di DIY ialah kekeliruan. Pandangan seperti ini mungkin bagian dari sinkronisasi kewenangan pertanahan yang belum selesai antara kewenangan pusat dan daerah dalam perspektif otda dan otonomi khusus.

Oleh karena itu, untuk menghindari tumpang-tindih, longgarnya koordinasi yang menimbulkan ketidakpastian hukum, kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah di bidang pertanahan perlu terus diperjelas batasnya.

Terlebih dalam konteks keistimewaan DIY, dengan asal usul sejarah, dualisme kedudukan kepala daerah sekaligus kepala pemerintahan monarki tradisional (kesultanan dan kadipaten) yang masih memiliki kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan tanah kesultanan yang dikenal sebagai sultan ground dan tanah kadipaten dan pakualamanan ground.

Alternatif upaya hukum

Dalam perspektif hukum administrasi atau hukum tata negara, kebijakan hukum yang dituangkan para pejabat administrasi dalam bentuk instruksi merupakan implementasi kewenangan diskresioner. Produk hukum semacam ini dikenal sebagai beleidsregel (aturan kebijakan).

Upaya hukum yang ditujukan untuk membatalkan atau mencabut instruksi wakil kepala daerah telah dilakukan melalui berbagai forum. Sayangnya, karena terbentur syarat formal menyangkut kriteria objek sengketa, upaya judicial review ke MA (Putusan No 13 P/HUM/2015), gugatan sengketa TUN yang berujung putusan kasasi MA (Putusan No 179/K/TUN/2017), dan terakhir ke putusan PN Yogyakarta belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan Handoko dkk.

Sejak terbitnya UU Administrasi Pemerintahan Tahun 2014, secara teoretis instruksi menjadi salah satu keputusan administrasi pemerintahan yang dapat diuji di PTUN, tetapi dalam konteks instruksi wakil kepala daerah yang dibuat 1975, UUAP tidak dapat diterapkan secara mundur untuk pengujian Instruksi itu.

Lantas, apakah sistem hukum yang ada tidak menyediakan ruang sama sekali untuk pengujian produk hukum seperti ini? Alternatifnya dapat menggunakan beberapa jalur penyelesaian. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria & Tata Ruang/Kepala BPN No 11/2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, dapat terlebih dahulu mengacu mekanisme peraturan itu. Baik melalui pengaduan atau inisiatif dari kantor pertanahan sendiri.

Jika masih belum berhasil, langkah selanjutnya membawa ke meja hijau sikap penolakan pendaftaran tanah oleh kantor pertanahan dikaitkan instruksi wakil kepala daerah yang dijadikan alasan penolakan. Artinya yang digugat jangan instruksi wakil kepala daerah, tetapi sikap BPN yang mengacu kepada instruksi wakil kepala daerah itu yang akan diuji. Badan peradilan yang berwenang menentukan apakah sikap Kantor Pertanahan itu malaadministrasi atau tidak.

Oleh karena itu, meskipun sebenarnya tidak memiliki kekuatan mengikat, demi kepastian hukum, sebaiknya aturan yang tidak jelas rujukannya dalam hukum tanah nasional ini dicabut melalui mekanisme executive review oleh Pemprov DIY agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan diskriminasi kepada etnik tertentu.

Dengan demikian, setiap produk hukum di Provinsi DIY dapat terwujud seperti digariskan Perdais No 1/2013 yang menghendaki agar secara substansial, keistimewaan DIY harus dapat ditunjukkan dengan kekuatan-kekuatan nilai masa lalu, masa kini dan masa datang DIY.

Dengan demikian, secara yuridis Perdais memiliki kapasitas 'mengembalikan', 'menguatkan', dan 'mengarahkan' keistimewaan DIY. Keistimewaan bukan suatu nilai yang absolut, terminal atau selesai. Keistimewaan harus diletakkan dan digerakkan dalam dialog ruang dan waktu kehidupan. Keistimewaan harus mampu menyapa dan disapa nilai-nilai baru sekaligus teguh dan konsisten berpegang pada nilai-nilai kemarin yang memberikan kekuatan bertahan bagi DIY dalam 'keistimewaannya' menyusuri lorong sejarah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar