Kamis, 08 Maret 2018

Politisasi Agama

Politisasi Agama
Ma’mun Murod Al-Barbasy  ;   Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
                                                     REPUBLIKA, 03 Maret 2018



                                                           
Setelah hampir dua dasawarsa pascaserangan 11 September 2001 radikalisme menjadi tema sentral kampanye untuk menyudutkan (umat) Islam, dalam beberapa tahun belakangan kita disuguhkan kampanye serupa, kampanye “politisasi agama”.

Karena terjadi di Indonesia, maka kata “agama” sudah pasti dinisbatkan kepada Islam. Politisasi agama mulai menjadi tema sentral “kampanye” stigmatisasi terhadap Islam. Kampanye ini begitu rapi dan sistematis.

Semua lini, mulai dari media sosial, media massa, sampai pada pelibatan oknum-oknum pejabat yang terjangkit Islamofobia, bekerja kompak mengampanyekan politisasi agama. Mereka memberikan label negatif pada umat Islam.

Yaitu, dengan menuduh umat telah melakukan politisasi agama dengan “melacurkan” dan memperalat agama untuk kepentingan politik tertentu, memecah belah umat, dan stigma minor lainnya.

Kalau mengkaji teks dan sejarah politik Islam, politisasi agama sebenarnya lazim dilakukan, bukan sesuatu yang aneh dan perlu dipersalahkan. Islam itu agama politik. Kelahirannya sarat peristiwa-peristiwa politik yang melingkupinya.

Tergambar dalam Alquran, di mana terdapat begitu banyak “ayat politik”, baik dalam konteks ayat Makiyah maupun Madaniyah. Begitu pun dalam hadis, banyak yang merupakan respons Rasul terhadap kondisi politik yang terjadi saat itu.

Karena Islam agama politik, tak berlebihan kalau Islam menjadi agama berwajah politis. Rasul Muhammad, khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta generasi sesudahnya menempatkan Islam sebagai agama politik.

Awal menerima risalah sekaligus “kuasa politik” dari Allah, Muhammad SAW mengirim beberapa utusan menemui beberapa raja, seperti Kaisar Heraclius (Romawi), Raja Negus (Ethiopia), dan Khusrau (penguasa Persia) untuk menyeru dan menyuruh raja-raja tersebut masuk Islam. Sesuatu yang tak terbayangkan terjadi pada saat ini.

Dengan “jabatan” sebagai Rasulullah, Muhammad menandatangani Perjanjian Hudaibiyah. Namun, mendapat tentangan dari Suhail bin Amru yang memintanya agar Muhammad tidak menuliskan jabatan Rasulullah di depan namanya pada naskah perjanjian.

Suhail meminta agar cukup ditulis “Muhammad bin Abdullah”. Saat peristiwa Pembebasan Makkah (Fathu Makkah), Rasul menegaskan, siapa pun yang masuk Makkah dan rumah Abu Sufyan aman.

Tiga fakta sejarah ini adalah contoh nyata politisasi agama yang dilakukan Rasul. Salahkah Rasul? Tentu tidak. Sebagaimana ditegaskan QS An-Najm: 3-4, Rasul melakukan apa pun bukan atas dasar hawa nafsunya, melainkan dalam bimbingan Alquran.

Dalam konteks Indonesia, politisasi agama juga lazim dilakukan. Berdirinya Sarekat Islam (1912) yang berubah jadi Partai Sarekat Islam Indonesia (1921), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926) adalah contoh nyata bentuk politisasi agama.

Kalau sekarang beberapa orang latah menggugat pekikan takbir "Allahu Akbar" dengan alasan bernuansa politis, dulu saat perjuangan merebut kemerdekaan, pekikan "Allahu Akbar" justru jauh lebih bernuansa politis.

Pembentukan pasukan Hizbullah dan Sabilillah--yang dalam perkembangannya menjadi cikal bakal pendirian Tentara Nasional Indonesia--dari namanya saja sudah menggambarkan terjadinya politisasi agama.

Kata resolusi dalam politik adalah hal biasa, tapi ketika sudah diikuti kata jihad: Resolusi Jihad, menjadi lekat dengan politisasi agama.

Ketakutan bangkitnya Islam politik

Paparan di atas menegaskan, politisasi agama adalah sesuatu yang biasa, tak asing (gharib) dilakukan umat Islam. Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat distorsi yang luar biasa atas politisasi agama. Maknanya begitu buruk.

Secara negatif, tuduhan politisasi agama selalu disematkan kepada kelompok Islam. Dalam banyak hal, kelompok Aksi Bela Islam 411 dan 212 selalu menjadi tertuduh.

Padahal, kelompok ini hanya mencoba mengekspresikan pilihan dan dukungan politiknya kepada kandidat tertentu yang dinilai lebih tepat mewakili umat Islam.

Politisasi agama selalu dituduhkan kepada kelompok Islam yang memilih kandidat politik dengan menggunakan pembenaran-pembenaran agama. Praktis tak pernah atau setidaknya jarang sekali politisasi agama disematkan kepada umat agama lain.

Padahal tak sedikit di lingkup agama lain pun melakukan hal sama. Agama dijadikan sebagai instrumen “transaksi” politik guna memperoleh kuasa politik.

Politisasi agama juga tak pernah disematkan kepada, misalnya, tokoh politik yang bertandang ke pesantren-pesantren dengan menggunakan simbol-simbol agama.

Jarang sekali politisasi agama dialamatkan kepada para kandidat politik yang sebelumnya begitu jauh dan bahkan cenderung anti dan memusuhi Islam, tapi tiba-tiba tampak begitu “bersahabat” dengan umat Islam dan gemar pula menggunakan simbol-simbol atau idiom-idiom Islam.

Terjadi bias pemaknaan dan salah sasaran dalam menyematkan stigma politisasi agama. Seharusnya, stigma politisasi agama itu disematkan kepada kelompok yang menjadikan Islam sebagai alat untuk menggapai kekuasaan dalam artian sempit.

Bukan kepada umat Islam yang tengah memperjuangkan, mendukung, dan memilih pemimpin politik dengan mempertimbangkan dan merujuk pada prinsip-prinsip politik fundamental dalam Islam.

Selagi politisasi agama lebih berdimensi politik keumatan tak semestinya dimaknai secara negatif. Sebaliknya, yang harus diwaspadai dan pantas diberi stigma adalah politisasi agama yang sarat kepentingan pribadi.

Apalagi, hal itu dilakukan oleh mereka yang selama ini tak ramah dan bahkan fobia terhadap Islam. Kampanye dan bias pemaknaan politisasi agama sebenarnya lebih merupakan gambaran ketakutan terhadap bangkitnya Islam politik.

Politisasi agama bukan hal baru dilakukan oleh umat Islam. Sejak masa Orde Lama, Orde Baru, dan hingga memasuki awal dekade kedua era Reformasi, politisasi agama niscaya dilakukan oleh kelompok Islam.

Namun, karena dilihat bahwa kekuatan politik Islam tidak signifikan dan tidak cukup membahayakan bagi kekuatan politik anti-Islam, politisasi agama pun tidak pernah disoal atau digugat.

Ketika kekuatan politik Islam dengan menggunakan basis massa //grassroot// dinilai mulai dan bahkan bakal membahayakan, maka langkah-langkah politik umat Islam mulai dipersoalkan. Stigma politisasi agama pun disematkan kepada umat Islam.

Percayalah, seperti halnya stigma radikal dan kampanye radikalisme yang mulai menuai kegagalan, kampanye politisasi agama pun diyakini akan menuai kegagalan.

Manusia boleh saja merencanakan dan melakukan tipu daya, tapi percayalah Tuhan pasti akan membalas tipu dayanya, wamakaru wamakarallah, wallahu khairul makirin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar