Rabu, 03 Mei 2017

Pendidikan dan Subkultur Nirkekerasan

Pendidikan dan Subkultur Nirkekerasan
Bagong Suyanto  ;  Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
                                               MEDIA INDONESIA, 02 Mei 2017



                                                           
PENDIDIKAN sesungguhnya bukan hanya menjadi eskalator untuk bekal melakukan mobilitas vertikal. Selama menempuh pendidikan, siswa selain diajak belajar memahami ilmu pengetahuan untuk bekal meningkatkan taraf kesejahteraannya di masa depan, mereka seyogianya juga disosialisasi tentang budi pekerti, tata krama, dan keadaban untuk bekal menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sosial. Di sekolah, para siswa idealnya dididik tentang bagaimana membangun kerja sama, bersikap toleran, dan mengembangkan kohesi sosial yang kuat dengan sesamanya. Namun, alih-alih mau mengembangkan sikap solider dan membangun jejaring yang solid, dalam kenyataan tidak sedikit siswa justru yang bersikap soliter, dibiasakan untuk saling berkompetisi dalam berbagai hal, hingga tak jarang pula siswa yang tumbuh dengan sikap dan perilaku yang akrab dengan kekerasan.

Di berbagai sekolah, selama ini sudah bukan rahasia lagi kasus-kasus perundungan masih mewarnai lingkungan sosial di kalangan siswa. Tindak kekerasan selama masa perploncoan, meski sudah berkali-kali dinyatakan dilarang hingga kini masih tetap terjadi di berbagai sekolah. Kasus pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara yang belum lama ini terjadi, cerita tentang tawuran antarpelajar yang masih kerap terjadi di Ibu Kota, dan lain-lain ialah sejumlah contoh kejadian yang memperlihatkan bahwa ada yang keliru dengan proses pendidikan yang kita kembangkan. Kenapa kasus-kasus tindak kekerasan masih mewarnai kehidupan siswa di Tanah Air?

Faktor penyebab

Melalui pendidikan budi pekerti, PPKN dan lain sebagainya, di sekolah selama ini sebetulnya sudah sering diajarkan bagaimana siswa harus mau saling menyapa dan bersikap toleran terhadap teman-temannya. Namun, ketika siswa sejak awal tidak dikonstruksi untuk hidup saling solider, dan bahkan di sana berkembang subkultur kekerasan yang dilestarikan dari angkatan ke angkatan berikutnya, jangan kaget jika dari waktu ke waktu kita selalu membaca berita terjadinya tindak kekerasan dilakukan para siswa kepada siswa yang lain.

Apa sebetulnya yang mendorong dan menyebabkan siswa-siswa tertentu sulit mengendalikan emosinya dan cenderung bertindak agresif hingga tega menganiaya, dan bahkan membunuh sesama siswa yang lain? Kenapa siswa yang sehari-hari di lingkungan sekolah dididik untuk selalu menghormati dan mengasihi sesama, bersikap disiplin, taat beribadah, dan mematuhi nasihat orang tua dan guru, tiba-tiba lepas kendali serta tega menganiaya temannya sendiri? Secara garis besar, ada tiga faktor yang terbukti menjadi penyebab mengapa siswa bertindak agresif dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Pertama, karena mereka hidup dalam lingkungan lembaga pendidikan yang menjadi habitat bagi tumbuhnya subkultur kekerasan yang kemudian diwariskan dari angkatan satu ke angkatan berikutnya. Seperti dikatakan Kevin Howells (1996), bahwa kemarahan dan perilaku agresi sering kali terjadi karena dipicu pengaruh lingkungan sosial, tempat pelaku tinggal. Seorang siswa yang di tahun sebelumnya memperoleh perlakuan semena-mena dari para seniornya, bukan tidak mungkin dalam pikirannya tumbuh dendam kesumat yang kemudian disalurkan ke teman-temannya. Hanya karena dipicu persoalan sepele, jangan kaget jika seorang siswa yang memang memiliki sifat agresif kemudian tega menganiaya dan membunuh temannya.

Kedua, berkaitan dengan personality sebagian siswa yang cenderung pendendam, murah marah, dan cenderung bertindak agresif. Dalam pandangan psikologi klasik, kekerasan, perilaku sadis, kejahatan --termasuk tindakan membunuh teman sendiri-- atau yang disebut perilaku agresif manusia pada dasarnya diyakini terjadi karena insting bawaan yang telah terpogram secara filogenetik. Sigmund Frued (1915), misalnya, mengemukakan bahwa agresi manusia pada dasarnya berasal dari instinct thanatos atau keinginan untuk mati (death wish) yang dimiliki setiap manusia secara alamiah.

Ketiga, karena adanya keinginan untuk melakukan aksi balas dendam, terutama ketika siswa yang menjadi pelaku tindak kekerasan sebelumnya pernah menjadi korban ulah jahil teman atau para seniornya ketika dulu masuk sekolah pertama kali. Di sejumlah sekolah, sudah bukan rahasia lagi bahwa mata rantai terjadinya kekerasan dan pewarisan kultur kekerasan masih sulit diputus. Kekerasan yang dibungkus dengan ritual inisiasi atau perploncoan kepada siswa baru masih kerap terjadi, baik terang-terangan maupun secara terselubung sehingga di sekolah kedinasan biasanya ada sejumlah siswa yang memendam dendam tersembunyi yang kemudian diekspresikan ke sesama siswa lain.

Nirkekerasan

Di lingkungan sekolah mana pun, seorang siswa yang sering mengalami kegagalan, dihinakan dalam kelompoknya, acap diperlakukan tidak adil, dan hak miliknya sering kali dirampas atau dipalak sesama temannya, di satu sisi mungkin akan membuat ia tersisih dan inferior. Namun, pada titik tertentu bukan tidak mungkin memunculkan resistensi atau sikap perlawanan yang membuat siswa seperti ini cenderung rawan terpancing amarahnya. Di balik ketidakberdayaan seorang siswa, tetapi kalau terus-menerus merasa teraniaya, suatu saat bukan tidak mungkin akan eksplosif melawan.

Erich Fromm dalam bukunya yang terkenal The Anatomy of Human Destructiveness (1973), membedakan apa yang disebut agresi lunak dan agresi jahat. Agresi lunak adalah desakan untuk melawan atau melarikan diri ketika kelangsungan kehidupan hayatinya terancam. Agresi lunak defensif ini bagi manusia biasanya dimaksudkan untuk mempertahankan hidup spesies atau individu, bersifat adaptif biologis, dan hanya muncul jika memang ada ancaman. Sementara itu, yang disebut agresi jahat, umumnya tidak memiliki tujuan dan muncul hanya karena dorongan nafsu belaka. Agresi jahat yang berkembang di kepala manusia, termasuk di kalangan siswa dapat dikurangi bila di sana tercipta lingkungan yang menguntungkan dan memfasilitasi perkembangan daya kreasi siswa.

Eksploitasi dan manipulasi yang dibiarkan tumbuh cenderung akan menimbulkan kejenuhan dan ketidakberdayaan, keduanya mengerdilkan manusia, dan semua faktor yang mengerdilkan manusia niscaya akan menjadikannya sebagai orang yang sadis dan destruktif. Pada titik ini seyogianya disadari bahwa tugas sekolah bukanlah hanya pada upaya mempersiapkan materi pembelajaran yang berkualitas dan fokus hanya menciptakan lulusan yang andal, melainkan di sana juga dibutuhkan pendidikan moral yang memuliakan nirkekerasan. Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar