Kamis, 01 Maret 2018

Rohingya dan Ganjalan Diplomasi

Rohingya dan Ganjalan Diplomasi
Dinna Wisnu  ;   Pengamat Hubungan Internasional
                                                KORAN SINDO, 28 Februari 2018



                                                           
MASALAH Rohingya masih menjadi persoalan yang mengganjal diplomasi di ASEAN. Media massa masih banyak melaporkan perkembangan di lapangan yang menunjukkan situasi yang memburuk dari hari ke hari.

Seandainya pun dianggap tidak memburuk, fakta-fakta baru yang mendukung asumsi terjadinya pembantaian massal karena upaya penyingkiran suatu ras atau bangsa mulai terungkap. Informasi yang paling mengejutkan misalnya, berasal dari Associated Press tentang eksekusi massal dan temuan kuburan massal warga Rohingya.

Informasi-informasi tersebut meletakkan ASEAN dalam posisi tertekan. ASEAN sesungguhnya secara internal membangun mekanisme penanganan kasus Rohingya dengan mendasarkan rekomendasinya pada laporan Advisory Commission on Rakhine State yang dipimpin oleh Kofi Annan tetapi secara eksternal juga diuji posisinya melalui kerja tim pencari fakta yang akan dipimpin oleh diplomat Indonesia Marzuki Daruzman.

Dalam setiap pertemuan di antara Menteri-menteri luar negeri di ASEAN, masalah Rohingya menjadi sering dibicarakan. Menteri-menteri luar negeri ASEAN, misalnya, memiliki sebuah agenda rutin untuk membahas masalah-masalah terkini dan memberikan tanggapan atas beberapa masalah yang memiliki dampak kepada kawasan.

Agenda rutin itu disebut dengan ASEAN Retreat dan terakhir dilaksanakan adalah tanggal 6-9 Februari lalu. Ada banyak agenda yang dibahas dan salah satu yang terpenting adalah masalah Rohingya di Myanmar. Agenda ini bukan pertama kali dimunculkan tetapi juga pernah dibicarakan bahkan ketika pertemuan diadakan di Myanmar pada bulan Desember 2017.

Dalam Retreat di bulan Desember 2017,  menteri-menteri luar negeri ASEAN menuntut Myanmar untuk memberikan akses kemanusiaan kepada wilayah-wilayah yang dianggap mengalami krisis kemanusiaan. Akses kemanusiaan terutama diberikan kepada lembaga bantuan international seperti PBB dan World Food Program yang terputus aksesnya sebelum pertemuan para menteri ASEAN itu terjadi.

Menteri-menteri ASEAN mengadakan lagi retreat pada minggu lalu di Singapura. Singapura saat ini mendapat giliran keketuaan di ASEAN menggantikan Filipina. Pertemuan itu kembali mengangkat masalah Rohingya dan memberikan satu rekomendasi lagi untuk pemerintah Myanmar.

Meskipun sikap ASEAN masih normatif ada satu rekomendasi yang menuntut Pemerintah Myanmar melaksanakan rekomendasi the Advisory Commission on Rakhine State dan menunggu terbentuknya the Advisory Board for the implementation of the recommendations on Rakhine State di bawah pimpinan Prof Dr Surakiart Sathirathai, mantan wakil perdana menteri and menteri luar negeri Thailand.

Tim yang dipimpin Kofi Annan memiliki mandat yang berbeda dibandingkan tim yang dipimpin oleh Marzuki Darusman. Tim Marzuki ini adalah Tim Pencari Fakta (TPF), dibentuk oleh Dewan HAM PBB berdasarkan laporan UN Office of the High Commissioner for Human

Rights yang menemukan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap komunitas etnis Rohingya di negara bagian Rakhine utara dan hal tersebut terjadi secara luas dan sistematis sehingga dapat diindikasi kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mandat yang berbeda ini juga mendapatkan reaksi yang berbeda dari Pemerintah Myamar. Pemerintah Myanmar lebih menyambut tim yang dipimpin oleh Kofi Annan dibandingkan tim Marzuki Darusman. TPF ini harus segera memberikan laporan mereka bulan Maret 2018 dan laporan final untuk diproses di bulan September 2018.

Hingga saat ini, TPF belum berhasil masuk ke wilayah Myanmar karena Pemerintah Myanmar memerintahkan kedutaan besar di seluruh negara untuk melarang memberikan visa kepada seluruh anggota TPF. Oleh sebab itu, TPF ini hanya menginvestigasi dan mendapatkan laporan dari warga Rohingya yang selamat keluar dari Myanmar dan tinggal menjadi pengungsi di beberapa negara.

TPF ini berupaya menemukan apakah pemerintah Myanmar telah melakukan perintah atau pembiaran terjadi kejahatan genosida. Istilah genosida sendiri lahir dari sejarah pembunuhan sistematis orang-orang Yahudi oleh Nazi selama Holocaust.

Genosida pertama kali dikenali sebagai kejahatan menurut hukum internasional pada tahun 1946 oleh Majelis Umum PBB dan dikodifikasi sebagai kejahatan independen dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida). Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh 149 negara (pada Januari 2018).

Konvensi tersebut mewujudkan prinsip-prinsip yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan umum internasional dimana konvensi ini akan diterapkan kepada seluruh negara baik yang ikut meratifikasi ataupun tidak. ICJ juga telah menyatakan bahwa larangan genosida adalah norma hukum internasional (atau ius cogens) yang ketat dan akibatnya, tidak diizinkan ada perendahan (derogation).

Secara prosedural laporan TPF akan menjadi pembahasan di UN Human Rights Council (Dewan HAM PBB). Dalam pernyataan pers mereka saat mengunjungi Bangladesh di 27 Oktober 2017, penderitaan dan kesengsaraan yang ditemukan sebagai hasil wawancara dengan para korban digambarkan sangat mendalam.

Sementara kekerasan seksual yang dialami korban sangatlah kejam sehingga para anggota TPF mengaku sangat terusik dan terguncang. Dalam kondisi seperti itu, sulit dibayangkan bahwa laporan akhir dari TPF akan berbeda jauh dari simpulan sementara bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Myanmar.

Saat ini di ASEAN belum ada mekanisme lain yang berjalan menangani masalah ini secara formal selain melalui Retreat Menteri Luar Negeri dan ASEAN Coordinating Center for Humanitarian Assistance (AHA Center). Di Komisi HAM ASEAN yakni AICHR, mandat meminta informasi dari Myanmar demi mencari solusi bersama yang dilakukan oleh Indonesia justru terjegal oleh adanya beberapa wakil negara yang berkata tidak sudi mendengarkan pemaparan dari Myanmar. Alasannya mereka tidak ingin mencampuri urusan dalam negeri Myanmar.

Sungguh ironis. Di saat mata dunia tertuju pada problem yang jelas-jelas tidak bisa disangkal di kawasan, mengapa ada saja negara anggota ASEAN yang memilih untuk menutup mata? Apakah kemudian hasil temuan TPF juga akan menemukan reaksi serupa dari ASEAN?

Kejadian di Myanmar memang batu ujian bagi ASEAN khususnya bagi diplomasi berbasis pelibatan secara konstruktif (constructive engagement) yang selama ini dipegang erat-erat sebagai bagian dari prinsip mencari konsensus.

Kasus seperti Myanmar seharusnya tidak diperlakukan sama seperti kasus mendorong implementasi norma internasional di level nasional atau menunggu kementerian/lembaga di dalam negeri Myanmar untuk memberi respons atas undangan ASEAN.

Di saat bukti kekerasan dan pelanggaran HAM bertambah terus, perlu ada upaya bersama untuk menggerakkan Myanmar agar secepatnya mengubah cara-caranya mengelola isu apapun yang dikeluhkan saat ini terjadi di Rakhine.

Kegiatan seperti ini tidak bisa dianggap mencampuri urusan dalam negeri karena tujuannya bukan untuk “membajak” kedaulatan. Melainkan untuk memulihkan martabat manusia di negara tersebut dan menghindari ASEAN menjadi bulan-bulanan perhatian dunia dan tersandera secara politik akibat tidak kunjung usainya urusan Myanmar.

Memperhatikan perkembangan isu ini, dan bila tidak ada terobosan berarti, hanya soal waktu saja bahwa ASEAN akan makin terhambat dalam mencapai visi ASEAN 2025 sebagai suatu komunitas yang peduli.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar