Memegang
Kendali Pendidikan Anak
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis; Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
KOMPAS.COM, 19 Januari 2017
Banyak
orang yang menjadikan sekolah sebagai tumpuan bagi pendidikan anak-anaknya.
Bahkan, tidak sedikit yang seolah telah membebaskan dirinya dari kewajiban
mendidik anak-anaknya, setelah ia memasukkan anaknya ke sekolah.
Segala
sesuatu diserahkan ke sekolah. Ibarat orang mengirim pakaian kotor ke binatu,
ia cukup mebayar, lalu menerima hasilnya saja, berupa pakaian bersih.
Tidak
sedikit pula yang kecewa dengan pihak sekolah, tapi tidak sanggup berbuat
apa-apa. Seorang ibu mengadu pada saya, di sekolah anaknya diajarkan
pandangan bahwa musik itu haram. Ia sendiri tidak menganggapnya begitu.
Perbedaan
pandangan itu bisa saja menjadi sumber konflik dengan anak. Bagaimana memberi
tahu anak mengenai pandangan lain soal musik?
Di
situlah pentingnya peran kita sebagai pengendali pendidikan anak. Ingat,
tanggung jawab pendidikan anak ada pada kita, bukan pada sekolah. Bagaimana
pun juga, sekolah hanya pembantu kita dalam pendidikan.
Peran
utama, kendali, harus ada pada kita. Kenapa? Karena ini anak kita. Sebagus
apapun sekolah, yang berada di situ adalah orang lain.
Bagaimana
bersikap terhadap sekolah? Sekolah adalah mitra kita dalam mendidik anak.
Ketika hendak memasukkan anak ke sekolah, kita memilih sekolah yang cocok.
Apa
dasarnya? Dasarnya adalah prinsip kita tentang pendidikan anak. Kita punya
prinsip dan konsep. Maka kita cari sekolah yang cocok dengan prinsip itu,
atau setidaknya mendekati. Jangan sampai kita memasukkan anak ke sekolah yang
tidak cocok dengan prinsip kita.
Sekali
lagi, sekolah adalah mitra. Artinya, kita juga harus memberi masukan kepada
sekolah soal muatan pendidikan yang mereka lakukan.
Saya
sering menyampaikan kritik kepada guru-guru di sekolah anak saya. Pernah saya
tegur kepala sekolah soal kurangnya tempat sampah pada acara di sekolah,
sehingga sampah bertebaran. Di lain waktu saya tegur soal AC yang menyala di
ruangan kelas yang tidak sedang dipakai.
Minggu
lalu saya hadir rapat di sekolah anak, untuk persiapan jambore pramuka yang
akan diikuti anak saya. Salah satu hal yang dibahas adalah soal pintu gerbang
tenda yang menurut saya berbiaya mahal.
Gurunya
dengan bangga bercerita bahwa gerbang ini nanti akan dikerjakan oleh tukang
yang terampil (profesional, istilah dia), dan kemungkinan besar akan
memenangkan kompetisi. Usai penjelasan, saya tanya, ”Unsur pendidikan apa
yang sedang kita lakukan melalui gerbang megah ini?”
Guru
tadi gelagapan, memberi jawaban berputar-putar. Kepala sekolah ikut menjawab,
tapi tetap tanpa substansi yang menjawab pertanyaan saya.
Saya
paham, karena mereka memang tidak punya jawaban. Mereka sedang khilaf, lupa
soal apa itu substansi pendidikan. Akhirnya ada guru yang menjelaskan bahwa
para siswa nantinya akan terlibat dalam pembangunan gerbang. Saya anggap
jawaban itu sejenis jawaban emergency.
Poin
saya adalah, teruslah mengingatkan guru-guru tentang hakikat pendidikan. Saya
rewel kepada guru-guru anak saya, bukan karena tidak percaya kepada sekolah.
Saya sedang menjalankan peran sebagai pengendali pendidikan anak saya.
Sekolah adalah mitra saya.
Saya
juga memantau, nilai-nilai apa yang diajarkan di sekolah anak saya. Dalam
suasana Natal tertangkap dari pembicaraan bahwa anak-anak di sekolah
diajarkan untuk tidak mengucapkan selamat Natal. Pelan-pelan pandangan itu
saya koreksi di rumah.
Bagaimana
caranya? Kembali ke prinsip tadi. Kita adalah pengendali muatan pendidikan
anak-anak kita. Sekolah hanyalah pembantu. Dalam makna lain, sekolah adalah
lingkungan yang memberi pengaruh pada anak-anak kita.
Selain
sekolah, teman-teman mereka, tetangga, media massa, media sosial, dan
lain-lain. Semua memberikan pengaruh. Sebagai penanggung jawab pendidikan,
kita mengendalikan pengaruh itu.
Anak-anak
kita tidak mungkin kita isolasi dari pengaruh. Tapi kita mengendalikan
dampaknya. Itulah peran kita sebagai pengendali.
Praktisnya
bagaimana? Terlibatlah, jangan lepas tangan seperti orang mengirim baju kotor
ke binatu. Dampingi anak-anak belajar. Perbanyak waktu untuk berinteraksi
dengan anak, sehingga kita tahu perkembangan pemahaman dan pikiran, serta
tindak tanduk mereka.
Jangan
sampai terjadi, anak lepas dari pantauan kita. Kita baru sadar saat anak
sudah jauh, dan kita tak sanggup lagi meraihnya.
Saya
sediakan waktu minimal 2 jam pada malam hari, untuk mendampingi anak-anak
saya belajar, atau sekedar berbincang atau main bersama. Saya habiskan hampir
seluruh waktu di akhir pekan untuk bersama mereka. Menurut saya, itu yang
dibutuhkan untuk menjadi pengendali pendidikan anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar