Sejarah
dan Pembangunan Karakter Bangsa
Eko Sulistyo ; Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi
Informasi
Kantor Staf Presiden
|
KORAN
SINDO, 24
Januari 2017
Presiden
RI Pertama Soekarno sebagai bapak bangsa adalah pemimpin yang selalu melihat
sejarah bukan masa lalu belaka. Bagi Soekarno, sejarah juga akan menentukan
arah bangsa ke depan.
Dalam
pidatonya, ”Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)”, Soekarno
mengingatkan bahwa Indonesia sedang melewati periode genting dalam sejarah
yang menentukan arah masa depan bangsa. Soekarno pun menyerukan persatuan
bangsanya menghadapi segala macam ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.
Pidato Soekarno tersebut mengingatkan bahwa persoalan sejarah bukanlah
sekadar masa lalu. Sejarah bisa menjadi medan pembentukan mental dan karakter
bangsa.
Mental
bangsa yang hendak dibangun Soekarno tercermin dalam konsep Trisakti yaitu
berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter dalam
budaya. Tiga landasan pembangunan bangsa ini hilang selama kekuasaan Orde
Baru dan kembali bergema ketika Presiden Jokowi menyatakan bahwa
pemerintahannya berlandaskan pada Pancasila dan Trisakti Soekarno. Dengan
Trisakti, Presiden Jokowi mengambil unsur positif dari sejarah masa lalu
untuk menjawab tantangan zaman. Inilah visi sebuah pemerintahan yang
”menyejarah”, bukan ”memperalat sejarah”.
Namun,
harus dipahami bahwa penulisan sejarah tidaklah bebas dari ruang dan waktu.
Penulisan dan metode sejarah selalu terikat dengan semangat zaman
(zeitgeist). Karena itu, dalam historiografi Indonesia menurut sejarawan
Kuntowijoyo terdapat tiga tahap perkembangan (Asvi Warman, 2004).
Pertama,gelombang dekolonisasi sejarah, sebuah tuntutan bangsa yang baru
merdeka agar juga berdaulat dalam sejarahnya. Tema ini menjadi sentral dalam
Seminar Sejarah Nasional I pada 1957 di Yogyakarta.
Para
sejarawan yang diliputi semangat nasionalis menghendaki perubahan pendekatan
sejarah dari ”Belanda-sentris” menjadi ”Indonesia-sentris”. Kedua, penggunaan
ilmuilmu sosial dalam penulisan sejarah pada Seminar Sejarah Nasional II di
Yogyakarta pada 1970. Ketiga, periode reformasi sejarah pasca-Orde Baru, di
mana penulisan sejarah Orde Baru ditinjau kembali dalam rangka pelurusan
sejarah. Seperti para korban Orde Baru mulai menulis sejarahnya sendiri
sebagai alternatif dari versi sejarah resmi negara.
Revolusi Mental
Saat
ini pendekatan historiografi telah menggabungkan unsur nasionalis, pendekatan
sosial, dan pendekatan kritis terhadap sejarah. Dari tiga pengalaman sejarah
yang membentuk historigrafi nasional tersebut, pemerintahan Jokowi-JK
mempunyai komitmen menjadikan sejarah sebagai bagian dari revolusi mental.
Dengan demikian, revolusi mental bukanlah sesuatu yang turun dari langit,
melainkan berbasis pada pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri.
Dalam
tulisannya tentang ”Revolusi Mental”, saat menjadi calon presiden, Jokowi
menjelaskan semua persoalan ekonomi, politik, dan budaya yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia saat ini adalah warisan sejarah masa lalu. Dengan memahami
sejarah, bangsa Indonesia dapat mendiagnosis dengan tepat untuk mengobatinya,
menuju Indonesia yang lebih baik dengan jalan revolusi mental. Revolusi
mental tidak hanya melakukan pergantian manusia dan restrukturisasi
kelembagaan, tapi harus menyentuh mindset yang mengarah pada pembangunan
bangsa atau ”nation building”.
Dalam
rangka ini pemerintah saat ini memilih pendekatan ”Indonesia-sentris”, bukan
”Jawa-sentris” lagi dalam kebijakan pembangunan. Tujuannya untuk mempercepat
kesejahteraan di wilayahwilayah timur dan daerah-daerah terluar Indonesia
yang kini mulai terasa manfaatnya. Mengarusutamakan pendekatan sejarah
sebagai bagian dari revolusi mental kepada masyarakat harus disesuaikan
dengan situasi zaman dan generasi baru yang hidup pada era globalisasi yang
telah disatukan oleh internet.
Pada
zaman internet ini berbagai sumber informasi, akses pengetahuan, dan rujukan
generasi saat ini jauh lebih luas dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Mesin bernama Google menjadi alat pencari paling cepat ke sumber informasi
dari seluruh dunia. Demikian berbagai platform media sosial lain seperti
Facebook, Twitter, dan Instagram telah membuat komunikasi antarmasyarakat
menjadi tak berjarak. Sesuatu yang tentu tidak pernah terbayangkan pada abad
ke-20. Karena itu, metode sejarah harus mampu menyesuaikan dengan kondisi era
digital dan new media.
Kebijakan Negara
Bila
dalam sejarah resmi pada era sebelumnya pendidikan sejarah di sekolah
dijadikan alat legitimasi kekuasaan, visi pendidikan sejarah sekarang harus
mampu mewariskan nilai-nilai kebinekaan, pluralisme, kemanusiaan,
solidaritas, perdamaian, kemandirian, dan persatuan bangsa. Pelajaran sejarah
memainkan peran didaktif kepada anak bangsa agar nilai-nilai sejarah bangsa
dapat diwariskan kepada generasi muda sekarang sesuai dengan zamannya.
Dengan
model seperti itu, sejarah tidak lagi diajarkan secara hitam-putih dan penuh
hafalan yang membosankan, tapi menggali lebih substantif nilai-nilai yang ada
dalam setiap jejak peristiwa masa lalu. Pelajaran sejarah juga harus
mengadopsi dan mengangkat sejarah di tingkat lokal, sejarah daerah pinggiran,
dan teritori terluar dari Indonesia. Harus diakui ada kesan selama ini
sejarah ditulis dengan ”pendekatan nasional yang sentralistis,” dan terkesan
”Jawa-sentris”.
Dengan
demikian, sejarah lokal perlu diberi peran penting dalam pewarisan
nilai-nilai sejarah sebab sejarah lokal dianggap lebih dekat secara sosial
dan kultural dengan sebuah masyarakat. Saudara-saudara kita di Indonesia
timur yang merasa dimarginalkan selama ini dapat dirangkul kembali dengan
mengangkat sejarah dan pahlawan lokal mereka dalam penulisan sejarah
nasional. Pencantuman gambar pahlawan dari berbagai daerah dalam uang kertas
baru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia beberapa waktu lalu bisa menjadi
contoh dalam upaya ini.
Museum
dan monumen sejarah juga dapat dijadikan alat pendidikan sejarah populer
kepada masyarakat. Di negeri yang sudah maju, museum dan monumen menjadi alat
pendidikan sejarah yang efektif kepada generasi muda. Tidak pernah ada
ceritanya di negara maju museum sepi dari pengunjung, terutama dari kalangan
pelajar. Sebaliknya, di Indonesia museum masih seperti kuburan, sepi dan
tidak dianggap sebagai bagian dari pendidikan publik mengenal sejarah.
Namun,
kini Dirjen Kebudayaan Kemendikbud sedang menyusun strategi baru untuk
mengintegrasikan museum dengan kegiatan ekstrakurikuler dan pelajaran sejarah
di sekolah agar murid dapat melihat langsung warisan sejarah yang tersimpan
di berbagai museum. Langkah ini perlu didukung semua pihak sehingga bangsa
ini tidak melupakan pesan pendiri bangsa–Jasmerah.
Selanjutnya
fasilitas pendukung untuk penulisan dan penelitian sejarah perlu dikelola
dengan baik. Diharapkan, di tingkat nasional proses digitalisasi perpustakaan
dan arsip nasional dapat dilanjutkan sehingga mudah untuk diakses. Dalam
rangka itu, sebuah katalog online perlu terus dilengkapi dan diperbaharui
karena dengan cara itu penulisan dan pembelajaran sejarah menjadi lebih
mudah.
Dengan
langkah dan kebijakan strategis ini, pemerintah menempatkan sejarah sebagai
bagian dari pembentukan karakter bangsa sehingga sejarah tidak sekadar
pengetahuan tentang masa lalu yang diwariskan, tapi lebih penting lagi dapat
menjadi alat pembelajaran bangsa untuk melangkah ke depan, menuju Indonesia
yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar