Peluang
dan Risiko Perekonomian di 2018
Sunarsip ; Chief Economist Bank
Bukopin
|
REPUBLIKA,
15 Januari
2018
Pada 2018 ini, peluang
bagi Indonesia untuk melanjutkan pertumbuhannya terbuka lebar. Setidaknya,
ini terlihat dari beberapa indikator yang telah bergerak positif sejak tahun
2017. Kinerja ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Amerika
Serikat (AS), Eropa, Cina, dan Jepang bergerak positif sepanjang 2017. Berdasarkan
perkiraan IMF yang diterbitkan pada Oktober 2017 lalu, negara-negara tersebut
akan melanjutkan perbaikan pertumbuhan ekonominya di 2018 ini.
Pada Oktober 2017 lalu,
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS di 2018 mencapai 2,3 persen, lebih
tinggi dibanding proyeksi IMF pada Juli 2017 sebesar 2,1 persen. Sementara
itu, Eropa diperkirakan tumbuh 1,9 persen (proyeksi Oktober 2017), lebih
tinggi dibanding proyeksi Juli 2017 sebesar 1,7 persen.
Demikian pula dengan
Jepang, di 2018 ini diperkirakan tumbuh 0,7 persen (proyeksi Oktober 2017)
sedikit lebih tinggi dibanding proyeksi Juli 2017 sebesar 0,6 persen. Hanya
India yang proyeksi perekonomiannya di 2018
sedikit lebih rendah yaitu diperkirakan tumbuh sebesar 7,4 persen
(proyeksi Oktober 2017), sedangkan proyeksi Juli 2017 tumbuh 7,7 persen.
Meskipun proyeksi
pertumbuhannya lebih rendah, angka perkiraan pertumbuhan ekonomi India di
2018 tersebut masih lebih tinggi dibanding perkiraan realisasi 2017 sebesar
6,7 persen.
Seiring dengan membaiknya
pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia tersebut,
diperkirakan volume perdagangan luar negeri (terutama ekspor) Indonesia juga
akan membaik. Membaiknya pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang utama
Indonesia tersebut akan mendorong permintaan barang-barang dari Indonesia.
Setidaknya, indikasi
membaiknya ekspor tersebut telah terlihat sejak 2017 lalu. Setelah mengalami
kontraksi 2015-2016, kinerja ekspor selama 2017 telah menunjukkan pertumbuhan
yang positif.
Momentum pertumbuhan ekspor
Indonesia juga didorong oleh kenaikan harga-harga komoditas ekspor Indonesia
yang telah berlangsung sejak kuartal IV-2016. Harga minyak mentah dan gas,
batubara, minyak sawit (CPO), serta harga komoditas pertambangan mineral
lainnya tumbuh positif selama 2017.
Harga minyak mentah,
bahkan minggu lalu telah menyentuh level 70 dolar AS per barel untuk pertama
kalinya sejak tiga tahun terakhir. Diperkirakan, laju pertumbuhan harga-harga
komoditas tersebut masih akan berlanjut di 2018.
Sebagai negara yang
memiliki kawasan ekonomi yang masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
terhadap komoditas (terutama di luar
Jawa), perkembangan harga komoditas ini tentunya memberikan harapan positif
bagi laju pertumbuhan ekonomi tahun 2018.
Sebagai informasi, di
beberapa wilayah seperti Sumatera, Kalimantan dan kawasan timur Indonesia,
sektor-sektor penghasil komoditas (pertanian, kehutanan, dan perikanan serta
pertambangan) memberikan sumbangan yang cukup tinggi (di atas 20 persen)
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mereka.
Akibat tingginya
ketergantungan pada komoditas, naik turunnya harga komoditas turut
mempengaruhi kinerja perekonomian mereka.
Indonesia juga masih
memiliki peluang untuk tetap menjadi salah satu primadona tujuan penempatan dana
global. Saat ini, pemilik dana portofolio global sebenarnya masih berada
dalam zona “kebingungan” dalam menyikapi situasi ekonomi global saat ini.
Pemilik modal global, misalnya, masih menghadapi dilema terkait dengan
situasi ekonomi dan politik di AS.
Pemulihan ekonomi AS
memang sedang terjadi. Bank sentral AS juga sudah mulai mengetatkan kebijakan
moneternya dengan menaikan tingkat suku bunga acuannya. Akibatnya, dana-dana
asing yang sebelumnya ditempatkan di pasar keuangan negara berkembang berpotensi
kembali ke AS.
Namun, kebijakan kenaikan
suku bunga AS tersebut juga tidak serta merta menjamin bahwa dana-dana asing
akan ditempatkan di AS. Pemilik modal juga mencermati situasi politik di AS,
terutama terkait dengan sejumlah kebijakan kontroversial yang diambil oleh
Presiden Donald Trump. Di sisi lain, meskipun pemulihan ekonomi Eropa telah
berlangsung namun masih berjalan lambat. Situasi inilah yang menimbulkan
kebingungan para pemilik modal global.
Di tengah kebingungan
tersebut, kinerja perekonomian Indonesia relatif berjalan baik. Pada 20
Desember 2017 lalu, Ficth Rating baru saja menaikan peringkat utang
(sovereign credit rating) Indonesia dari BBB-/Outlook Positif menjadi
BBB/Outlook Stabil. Terdapat dua faktor kunci yang mendukung kenaikan peringkat
tersebut.
Pertama, menguatnya sektor
eksternal yang didukung oleh kebijakan makroekonomi yang secara konsisten
untuk menjaga stabilitas. Hal ini ditunjukkan oleh nilai tukar yang stabil,
cadangan devisa yang meningkat, terjaganya aliran modal, utang luar negeri
korporasi yang terkendali, pendalaman pasar keuangan yang lebih baik, serta
penetapan asumsi APBN yang kredibel.
Kedua, konsistensi
pemerintah dalam reformasi struktural yang mampu meningkatkan iklim
investasi, seperti tercermin dari meningkatnya peringkat Ease of Doing
Business.
Melihat perkembangan
eksternal dan internal di atas, sebenarnya tahun 2018 berpeluang menjadi
kesempatan bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi bisnis setelah selama
tiga tahun terakhir terhambat akibat pelemahan ekonomi global. Tahun ini
dapat dibilang menjadi “kesempatan terakhir” bagi dunia usaha untuk melakukan
ekspansi bisnis karena pada 2019 nanti kita akan menghadapi tahun politik.
Menghadapi tahun politik
ini pada umumnya dunia usaha juga lebih cenderung “wait and see” dan lebih
fokus pada konsolidasi bisnis dibanding ekspansi. Dengan kemungkinan seperti
ini, diperkirakan ekonomi di 2018 berpotensi tumbuh lebih tinggi dibanding
tiga tahun sebelumnya dan 2019.
Selain peluang di atas, di
2018 ini kita juga dihadapkan pada sejumlah risiko jangka pendek yang perlu
diantisipasi. Salah satu potensi risiko tersebut datangnya dari kenaikan
harga energi primer seperti minyak mentah, gas dan batubara.
Kenaikan harga minyak
mentah, gas dan batubara memang akan menguntungkan bagi pelaku sektor
pertambangan dan bagi penerimaan negara, baik penerimaan pajak dan bukan
pajak. Namun, kenaikan harga primer juga menimbulkan risiko terkait dengan
dampaknya terhadap harga energi yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui,
sejak 2015 lalu, pemerintah telah mengurangi subsidi energi baik BBM dan
listrik. Bila kebijakan pengurangan subsidi BBM dan listrik ini konsisten
dijalankan maka seiring dengan kenaikan harga energi primer tersebut harga
BBM dan tarif listrik juga akan mengalami kenaikan.
Tahun 2018 boleh dibilang
merupakan “tahun pemanasan politik” menuju tahun politik 2019. Dengan latar
belakang ini, kebijakan kenaikan harga BBM dan listrik bukanlah kebijakan
yang akan mudah diambil oleh pemerintah, sekalipun tetap mungkin dilakukan.
Solusi untuk menjaga harga
BBM dan listrik tidak naik, tentu tidak bisa seluruhnya dilakukan dengan
menambah subsidi. Kebijakan prioritas yang justru perlu dilakukan pemerintah adalah dengan
mengendalikan harga energi primernya. Sebagai contoh, pemerintah dapat
menerapkan kebijakan harga khusus bagi energi primer (gas dan batubara,
misalnya) yang merupakan kewajiban pengusaha tambang untuk memenuhi kebutuhan
listrik di dalam negeri.
Dengan kebijakan harga
khusus, maka harga energi primer dapat ditekan sehingga kenaikan tarif
listrik dapat dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar