Maaf
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 27
Januari 2017
Tak
terbayang, andaikan kata “maaf “ dihilangkan dari kosakata harian, pasti ada
jurang psikologis yang menganga dalam pergaulan sehari-hari, yang menyimpan
kepedihan dan kebencian.
Mengapa?
Karena tiap orang tak bisa dan tak pernah terbebaskan dari berbuat salah.
Kapan saja, di mana saja, disengaja atau tidak disengaja seseorang melakukan
kesalahan yang bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tanpa adanya kata
dan mekanisme saling memaafkan, betapa pengapnya hidup ini. Kesalahan yang
terjadi pada seseorang itu bisa bermula dari salah niat atau salah dalam
mengambil keputusan.
Coba
hitung sendiri, setiap hari berapa banyak kita mesti membuat keputusan
mengingat setiap saat selalu dihadapkan pada beragam pilihan. Sejak dari
urusan yang terlihat kecil, misalnya begitu bangun tidur, kita dihadapkan
pada pilihan adakah mau mandi dulu baru kemudian sarapan, seseorang mesti
membuat keputusan. Ketika memulai berkomunikasi, kata, nada, dan kalimat apa
yang hendak kita gunakan itu pun pilihan. Ketika membuka lemari mau mengambil
pakaian, itu pun sebuah pilihan. Ketika ada telepon berdering, apakah akan
diangkat ataukah didiamkan, itu pun sebuah putusan. Pendeknya setiap hari
kita membuat ratusan putusan dan pilihan yang semuanya potensial terjadi
kesalahan.
Yang
menjadi masalah adalah ketika membuat salah dalam mengambil putusan yang kemudian
berakibat fatal baik bagi kehidupan pribadi maupun sosial. Lagi-lagi contoh
kecil. Ketika kita mengendarai mobil dan dihadapkan untuk memilih jalan tol,
jika salah, adakalanya perjalanan menjadi panjang atau bahkan sesat jalan.
Demikian
pula halnya dengan rute kehidupan. Ada mahasiswa yang salah memilih program
studi, semata karena tidak punya pertimbangan matang atau sekadar memenuhi
desakan orang tua, akhirnya tidak antusias menjalani perkuliahan dan tidak
meraih prestasi optimal karena tidak cocok dengan bakat dan minatnya. Ada
lagi orang yang salah memilih pasangan hidupnya. Bayangan dan kesempatan
membangun rumah tangga surgawi malah berubah jadi penyesalan karena penuh
percekcokan dan saling tidak percaya yang berujung pada perceraian dengan segala
risikonya.
Bagi seorang
pemimpin dan public figure, salah bicara
bisa berlaku formula: mulutmu harimaumu.
Perhatikan saja apa yang menimpa Ahok dan Rizieq Shihab. Karena berbicara
sembarangan keduanya berurusan dengan polisi dan menimbulkan keresahan
masyarakat. Jadi gara-gara kesalahan yang dilakukan seorang pemimpin atau
tokoh masyarakat, yang dirugikan bukan sebatas wilayah pribadi, melainkan
juga institusi dan masyarakat.
Orang
yang paling merasakan akibat dari kesalahan kita adalah orang-orang yang
terdekat dengan kita. Jika seseorang melakukan korupsi lalu berurusan dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, yang langsung merasakan
akibatnya adalah keluarga terdekatnya. Minimal sekali mereka malu. Harga
dirinya turun. Dalam kehidupan keluarga, tak ada yang terbebaskan dari
berbuat salah. Bisa saja bergantian antara suami, isteri, anak, pembantu,
menantu, mertua, tetangga, dan melebar lagi di lingkungan tempat kerja.
Bayangkan jika
manusia tidak mengenal kata “maaf“, tidak ada mekanisme untuk saling
memaafkan. Jika semuanya pendendam, betapa menjemukan dan melelahkan
hari-hari yang kita lalui. Energi kita akan terkuras habis untuk merancang
pembalasan. Hati dan pikiran akan dipenuhi sampah dan sumpah kebencian serta
kekesalan yang kian lama kian membusuk dan mengeras.
Mengingat
manusia adalah makhluk yang lemah, sering lupa dan berbuat salah, salah satu asma
Allah adalah Al-Ghafur. Dia yang Maha Pengampun, yang menghapus dan memaafkan
dosa-dosa manusia. Sampai-sampai ada ungkapan populer di kalangan sufi, kalau
saja bukan karena kasih dan ampunan Allah, manusia tak pantas masuk surga.
Dosanya lebih banyak dari amal kebaikannya. Kalau saja Allah membuka tabir
aib kita, orang-orang di sekeliling kita akan terbelalak kaget dan meninggalkan
kita. Bahwa kita tidak sebaik yang mereka duga.
Demikian
pula halnya dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat horisontal, jika masih
ingin menikmati panggung dunia dengan nyaman dan ramah, kita mesti membuka
pintu maaf setiap saat. Jangan pelit mengulurkan jabat tangan persahabatan
dan senyum kasih sayang. Memaafkan tidak berarti meninggalkan prinsip moral
dan menggeser kebenaran, tetapi sikap mental untuk menyembuhkan dan menjahit
luka yang menganga yang selalu muncul hampir setiap hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar