Senin, 09 April 2018

Ihwal “Kuras Otak”

Ihwal “Kuras Otak”
Handrawan Nadesul  ;   Dokter;  Penulis Buku;  Motivator Kesehatan
                                                         KOMPAS, 07 April 2018



                                                           
Disinyalir telah lebih dari sepuluh tahun sejawat dr Terawan Agus Putranto melakukan tindakan medis semacam pengurasan pembuluh darah otak. Belum ada istilah medis baku, karena cara membersihkan pembuluh darah otak tersebut dialah yang menciptakan.

Mungkin tepat disebut “brain flushing” atau “kuras otak”. Ibarat pipa leding berkarat, pembuluh darah otak perlu digelontor.

Bagaimana stroke terjadi

Stroke terjadi bila fungsi otak terganggu. Fungsi otak terganggu bila pasokan darah yang memberinya makan mendadak terhenti. Itu bisa terjadi bila pembuluh darah tersumbat. Sumbatan bisa total bisa sebagian, terbentuk dari atherosclerosis, dan kita menyebutnya plak.

Plak terbentuk oleh lebih dari sepuluh faktor risiko, di antaranya, lemak darah (lipid) meninggi, diabetik, hipertensi, kegemukan, kurang bergerak, peradangan pembuluh, kebanjiran radikal bebas, tingginya sel pembeku darah platelet, keturunan, stres, dan lain-lain.

Selain tersumbat plak, pasokan darah otak terhenti juga bila pembuluh darah otak tiba-tiba pecah. Penyebabnya bisa adanya anomali pembuluh darah, namun lebih sering karena lonjakan hipertensi. Ini yang memunculkan jenis stroke perdarahan, bukan stroke sumbatan.

Penyumbat pembuluh darah otak kebanyakan datang dari luar otak, berupa  luruhnya pecahan materi plak di tempat lain yang hanyut dalam aliran darah. Sering berasal dari jantung kalau bukan dari pembuluh darah leher carotid. Materi yang hanyut ini kita sebut emboli. Emboli mengalir terbawa darah dari jantung, naik ke otak, menyumbat pembuluh otak, dan terjadilah stroke.

Bisa juga sumbatan terjadi di dinding pembuluh darah otak. Seiring pertambahan umur, pembuluh darah otak menjadi kaku dan keras (arteriosclerosis). Itu sebabnya mengapa stroke pada usia tua bisa terjadi tanpa perlu hadirnya faktor risiko.

Untuk memahami stroke, mari kita petakan fungsi otak. Masing-masing fungsi otak ada area provinsi, selain area kabupaten, kecamatan, dan desa. Tiap area otak bisa terganggu pasokan darahnya. Berbeda area otak yang terganggu pasokan darahnya, berbeda jenis strokenya. Berbeda luas area gangguan pasokan darahnya, berbeda derajat strokenya. Maka jenis stroke bisa lebih dari satu macam.

Ada stroke ringan TIA (transient ischaemic attack), dalam satu-dua hari akan pulih sendiri. Yang lazim kita kenal adalah jenis stroke klasik kelumpuhan separuh tubuh. Jenis stroke lain adalah saat memegang sendok makan, sendok tiba-tiba terjatuh.

Pada otak terpetakan ada fungsi motorik, sensorik, selain pancaindra dan memori. Tergantung area otak mana yang terkena, maka tak sama jenis strokenya. Berbeda jenis strokenya, berbeda pula manifestasi gejalanya.

Stroke pada area sensorik, yang muncul gangguan perasa. Bila mengenai saraf mata muncul kebutaan. Stroke pada otak kecil bermanifestasi gangguan keseimbangan dan cara melangkah.

Terapi stroke

Dunia menyepakati terapi standar stroke diberikan infus r-TPA (recombinant-Tissue Plasminogen Activator), zat yang bisa melarutkan sumbatan (thrombolysis), perlu dilakukan sebelum melewati golden hour, yakni sebelum 3 jam sejak serangan stroke terjadi. Untuk stroke perdarahan, obat ini tidak diberikan, melainkan langsung membuka otak mengangkat bekuan darah bila bekuan darah cukup besar.

Sejawat Terawan memanfaatkan teknik pencitraan pembuluh darah otak DSA (digital substraction angiography). DSA dulu dipakai sebagai alat diagnostik untuk melihat kelainan pembuluh darah otak. Ia memodifikasi DSA untuk terapi stroke memakai zat heparin selain eptifibatide.

Dengan dua zat itu pembuluh darah otak digelontor. Tujuan terapi sama, melarutkan sumbatan pembuluh darah. Namun, karena zat yang dipakai dan cara pemberiannya berbeda dengan terapi standard r-TPA, muncul kontroversi. Di mata medis cara ini dinilai tidak punya dasar ilmiah, selain belum terbukti apakah tindakan ini aman bagi tubuh.

Namun, tidak semua kejadian sumbatan pembuluh darah otak memunculkan stroke. Sudah disebut di atas ada area otak provinsi selain kecamatan, dan desa. Apabila sumbatan pembuluh darah otak mengenai area kecil desa, stroke belum tentu muncul. Namun kita bisa melihatnya dari scan otak. Tampak area otak yang layu dan mati (atrofi), sehingga disebut “silent stroke”: sudah ada proses stroke namun stroke tidak muncul. Gejala tidak spesifik, hanya keluhan fungsi otak ringan.

Konon sejawat Terawan melakukan teknik barunya juga untuk mereka yang belum terserang stroke. Bisa jadi pada mereka yang sudah ditemukan ada “silent stroke”, sering pelupa, kehilangan memori, atau defisit neuroligis yang enteng. Dengan menggelontor pembuluh darah otak yang oleh beberapa sebab—aliran darah sudah kurang deras atau sudah ada butir-butir endapan bekuan lemak dan darah—aliran darah bisa lebih deras. Kondisi ini yang bikin pasien mungkin merasa plong di kepalanya. Secara medis teknik ini masuk akal. Namun pertanyaan medis tetap, apakah tindakan ini aman?

Perlu bukti ilmiah

Kita tentu bangga bila temuan teknik ini betul sebuah inovasi. Namun inovasi perlu melalui serangkaian protokol ilmiah agar tidak memunculkan kontroversi. Ihwal bukti ilmiah zat heparin atau entah zat apa lainnya yang dipakai, apakah laik untuk terapi stroke, tentu juga diperlukan bukti ilmiahnya.

Hemat akademisi, sebuah temuan baru tak cukup hanya terbukti berkhasiat. Suatu obat atau suatu cara medis baru, bisa diterima medis bila selain secara ilmiah terbukti berkhasiat, juga terbukti aman.

Protokolernya tentu perlu menempuh uji khasiat, uji binatang, sebelum uji klinik pada manusia yang bukti ilmiahnya dipublikasikan dalam sutau jurnal kedokteran yang terhormat. Sebelum sebuah inovasi diterapkan sebagai terapi standar (baru) inovasi itu perlu mendapatkan pengakuan pihak pengawasan obat dan makanan. Di Amerika, FDA, pengawas obat dan makanan tidak gegabah mengakui sebuah zat berkhasiat, demikian juga untuk cara healing dan terapi.

Pihak Perdossi, ikatan dokter ahli saraf kita yang diketuai Prof Dr Moch Hasan Machfoed, sudah menulis dalam jurnal internasional (BAOJ Neurology) bahwa pemakaian heparin dalam terapi stroke tidak memiliki dasar ilmiah dan mempertanyakan hasil disertasi sejawat Terawan terkait “kuras otak” yang ditulis dalam Bali Medical Journal.

Terikat etika medik

Sikap profesional semua praktisi medis terikat etika medik. Setiap kiprahnya perlu tetap patuh pada nilai, tunduk pada regulasi, taat pada prinsip moral, praktik etika, serta menaruh hormat pada kehidupan, karena tubuh pasien bukan mesin.

Teknik DSA tergolong tindakan invasif atau memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. Setiap tindakan invasif ada risiko dan komplikasinya. Orang awam mungkin kurang paham, kalau ada yang perlu dipertimbangkan, tak cukup hanya berpikir bisa menyembuhkan belaka.

Saya agak mencemaskan begitu luas beredar endorsement yang terbuka di publik untuk inovasi tindakan medis yang di forum ilmiah belum selesai ini. Beredarnya testimoni kesembuhan sehabis “kuras otak” agaknya sudah menimbulkan kekacauan persepsi selain hadirnya opini di masyarakat awam, “Kalau nyatanya menyembuhkan, kenapa harus dilarang?”

Masyarakat awam beranggapan tidak ada yang salah dengan tindakan “kuras otak” karena faktanya terasa ada manfaatnya. Oleh karena itu, menurut saya pihak medis secara ilmiah perlu segera menyelesaikannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar