Akankah
Indonesia Jadi Negara Terbuka
Asep Saefuddin ; Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar
Statistika FMIPA IPB
|
MEDIA INDONESIA,
21 Januari 2017
PADA
1983, saya mendapat tugas belajar ke Prancis. Sebelum mendapat visa memang
ada pemeriksaan, terutama mengenai kesehatan dan rencana studi. Setelah itu,
di Prancis, kami para karya siswa mendapat kartu domisili, sejenis KTP yang
harus diperpanjang setahun sekali sampai masa studi habis. Untuk perpanjangan
KTP itu, kami sama sekali tidak mendapat kesulitan. Mereka hanya menanyakan
kartu mahasiswa yang masih berlaku. Tidak lebih dari satu jam semua sudah
beres karena mereka tidak bertanya hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan
kami. Intinya percaya saja. Selama di sana, kami tidak pernah ditangkap
(sweeping) atau diamankan pihak imigrasi Prancis.
Kemana
pun kami pergi aman-aman saja. Hal yang sama saya rasakan ketika 1990
mendapat tugas belajar ke Kanada. Status student visa sudah diperoleh sejak
di Indonesia. Begitu masuk wilayah Kanada, saya cukup memperlihatkan paspor
dan visa mahasiswa, petugas imigrasi tidak banyak bertanya. Memang, di Kanada
kami tidak memperoleh KTP, tetapi status kami cukup terlindungi. Perpanjangan
status student visa tergantung universitasnya. Selama kampus masih memberi
kartu mahasiswa, otomatis visa langsung keluar. Tidak pernah ada wawancara di
imigrasi selama saya studi di Kanada. Apalagi sweeping, sama sekali tidak
pernah. Pengalaman teman-teman yang studi ke AS, Jepang, Jerman, Australia,
dan negara-negara lainnya, tidak pernah juga mengalami pemanggilan khusus
atau mendadak diperiksa imigrasi atau aparat lainnya. Pada umumnya, orang
asing dari mana pun, sejauh tidak berbuat jahat (seperti mencuri, memperkosa,
dan berkelahi) tidak pernah ditangkap lalu diperiksa. Hal ini berlaku juga
bagi warga negara mereka, selama tidak melanggar hukum tidak akan pernah
berhubungan dengan aparat. Kami diperlakukan sama dengan penduduk lokal.
Administrasi berbelit
Bagaimana
dengan Indonesia? Saya pikir negara kita ini belum modern dalam hal
birokrasi, khususnya keimigrasian. Proses administrasi sulit ditembus, sangat
berbelit, dan seolah-olah rapi tetapi membuat orang asing malas untuk
berkunjung ke Indonesia apalagi untuk belajar sehingga persentase mahasiswa
asing di kampus-kampus Indonesia sangat kecil. Jauh lebih kecil dari negeri
jiran. Di Malaysia, sudah lumrah banyak mahasiswa asing berlalu-lalang di
hampir semua universitas. Negara jiran ini lebih terbuka daripada Indonesia.
Ini ialah fakta. Akhir-akhir ini kita sering dihebohkan dengan sweeping orang
asing. Tidak saja para tenaga kerja dari Tiongkok, tetapi juga orang asing
lainnya dari berbagai negara. Anehnya, mengapa mereka bisa masuk ke sini?
Bukankah mereka sudah beres dari segi administrasi dengan berbagai syarat
sehingga berhak masuk?
Seharusnya
bila sudah ada di dalam negeri, mereka tidak perlu lagi diperiksa selama
tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Untuk perpanjangan
status keberadaan mereka di sini, sebaiknya pihak imigrasi percayakan saja
kepada instansi, tempat orang asing itu berada. Bila yang bersangkutan ialah
mahasiswa, cukup keterangan status kemahasiswaan dari universitas tempat
orang asing itu berada. Dengan keterangan itu, pihak imigrasi tinggal
mengeluarkan visa. As simple as that. Bila orang asing sebagai tenaga kerja
ataupun mahasiswa yang berperilaku baik dan tidak melakukan kejahatan
tahu-tahu 'diamankan' pihak imigrasi, tentu hal ini akan berefek negatif
terhadap banyak pihak. Bagi orang asing itu tentu akan kaget, 'Apa salah
saya?' Bagi negara, hal ini dapat menjadi indikator ketidakberesan birokrasi,
betapa primitifnya administrasi negara ini karena masih melakukan sweeping
orang asing padahal tidak berbuat salah.
Orang
asing yang berada di sebuah negara berarti yang bersangkutan itu legal dan
tidak berhak 'diamankan' kecuali bila yang bersangkutan berlaku jahat.
Bayangkan bila ada mahasiswa asing yang diperlakukan seperti itu, atau mereka
mendapat kesulitan untuk perpanjangan visa, jangan harap kita akan mendapat mahasiswa
asing yang banyak. Padahal, kehadiran pembelajar asing itu sangat penting
untuk menstimulasi kinerja dan semangat juang. Pada umumnya, semangat belajar
orang yang berada di negara lain sangat tinggi. Hal ini bisa menjadi pemicu
dan pendorong mahasiswa kita untuk belajar dengan baik. Selain itu, pada
umumnya para pembelajar mempunyai perilaku baik, yang ini pun dapat menjadi
teladan bagi mahasiswa kita. Ingat, bahwa perilaku itu bersifat menular.
Kampus kelas dunia
Salah
satu indikator universitas kelas dunia (world class university/WCU) adalah
konsentrasi mahasiswa asing di universitas. Bila regulasi tidak mengakomodasi
status mahasiswa luar negeri, mustahil kampus-kampus di Indonesia masuk ke
papan atas WCU. Keseimbangan jumlah mahasiswa lokal dan asing itu sangat
perlu untuk kemajuan pendidikan. Presentasi mahasiswa asing di Indonesia itu
masih sangat jauh. Padahal, banyak kampus besar PTN/PTS yang bisa menerima
lebih banyak lagi mahasiswa asing. Namun, karena regulasinya kurang kondusif,
jarang universitas di Indonesia mempunyai program peningkatan jumlah
mahasiswa asing. Untuk pekerja asing juga sama, tidak perlu ada pengamanan
(sweeping) bila mereka tidak berbuat salah. Berikanlah perlakuan yang sama,
termasuk persoalan gaji. Pekerja Indonesia dengan kualifikasi dan keahlian
yang sama dengan pekerja asing harusnya mendapat gaji yang sama dengan
pekerja asing.
Pada
saat yang sama, siapa pun yang berbuat kesalahan dan melanggar hukum, baik
pekerja asing maupun pekerja Indonesia tentu harus diperiksa. Jangan ada
pemeriksaan yang alasannya tidak jelas. Kesimpulan dari kisah dan analisis
tersebut bahwa negara kita masih belum terbuka, masih banyak regulasi yang
cenderung menutup atau bahkan menyulitkan. Keadaan ini sangat tidak
menguntungkan negara kita karena model birokrasi berbelit, tidak profesional,
dan tidak transparan itu hanya akan menyuburkan budaya kongkalikong, korupsi,
dan pungli. Keadaan ini juga bisa dimanfaatkan calo-calo yang bisa bermain
nepotisme dan uang pelicin. Kita akan kesulitan melacak keabsahan dokumen dan
kesesuaian status. Bila negara ingin maju, ubah mindset dari mempersulit ke
mempermudah, perilaku tertutup ke terbuka. Itulah sejatinya revolusi mental. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar