Korupsi
Dana Kapitasi
Dewi Anggraeni ; Staf Divisi Kampanye Publik Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
09 Maret
2018
Pemerintah telah menggelontorkan
anggaran yang besar untuk dana kapitasi melalui Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan. Tahun 2016, sebanyak 9.767 puskesmas dan fasiltas
kesehatan tingkat pertama (FKTP) lainnya di seluruh Indonesia menerima dana
kapitasi sebesar Rp 13 triliun. Pada 2017, dana kapitasi yang digelontorkan
diperkirakan Rp 14 triliun. Rata-rata setiap FKTP akan mendapatkan dana
kapitasi sebesar Rp 400 juta per tahun.
Besarnya dana kapitasi ini
dihadapkan pada permasalahan korupsi di tingkat daerah. Hasil pemantauan
Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap potensi korupsi dana kapitasi di
FKTP milik daerah, ada delapan kasus dalam rentang waktu 2014-2018. Kerugian
negara yang ditimbulkan mencapai Rp 5,8 miliar. Jumlah tersangka terkait
kasus korupsi dana kapitasi ini mencapai 14 orang.
Menariknya, meski dalam jumlah
kasus dan kerugian negara kecil, tetapi korupsi dana kapitasi tidak hanya
melibatkan birokrasi menengah bawah (kepala puskesmas dan bendahara), juga
pejabat dinas kesehatan, bahkan kepala daerah. Jumlah kasus korupsi ini ‘terlihat’
kecil karena yang dihitung hanya kasus yang sudah sampai pada tahapan
penetapan tersangka. Dari 14 tersangka, ada tiga kepala puskesmas, dua
bendahara puskesmas, lima kepala dinas kesehatan, satu bendahara dinas
kesehatan, satu sekretaris dinas kesehatan, satu kepala bidang layanan
kesehatan, dan satu bupati.
Pada awal Februari lalu,
penangkapan bupati Jombang menjadi salah satu sorotan publik. Inna
Silestyowati, pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten
Jombang, terlibat dalam kasus suap kepada Bupati Jombang Nyono Suharli
Wihandoko. Uang suap ini dikutip Inna dari 34 puskesmas di Jombang selama
Juni-Desember 2017. Kasus ini terkait permintaan Inna supaya ditetapkan
sebagai kepala dinas kesehatan definitif. Komisi Pemberantasan Korupsi telah
menetapkan Nyono dan Inna sebagai tersangka korupsi dan menahan lima orang
lainnya.
Modus yang ditemukan dalam kasus
korupsi dana kapitasi beragam. Rincian temuan antara lain terkait
memanfaatkan dana kapitasi tak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
(2 kasus), manipulasi bukti pertanggungjawaban dan pencairan dana kapitasi
(1), serta menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam
biaya kapitasi dan/atau non-kapitasi sesuai standar tarif yang ditetapkan
(5).
Selain korupsi dana kapitasi, ada
isu lain yang juga mencuat terkait pengelolaan dana kapitasi, yakni isu
pemotongan dana kapitasi di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Aceh,
Sumatera Selatan; penggelapan dana kapitasi seperti di Sulawesi Selatan; dan
penyimpangan dana kapitasi seperti yang terjadi di Jawa Barat pada 2014.Dari
aspek penegakan hukum, kasus korupsi dana kapitasi paling banyak ditangani
kejaksaan negeri (7 kasus) dan KPK (1). Minimnya kasus yang ditangani KPK
kemungkinan karena keterbatasan wewenang yang dimiliki. Adapun 1 kasus yang
baru terjadi ditangani KPK karena melibatkan kepala daerah.
Faktor
penyebab
Ada berbagai faktor yang jadi
penyebab korupsi dana kapitasi. Pertama, dana yang diterima puskesmas sangat
besar. Puskesmas tidak hanya menerima dana kapitasi, juga dana Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK), dana jamkesda, dan APBD. Besarnya dana ini
menjadikan pejabat pemerintah daerah tertarik mencari keuntungan. Dorongan
ini juga diperkuat adanya kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dari perencanaan
hingga pencairan dana yang diterima puskesmas. Adapun pegawai puskesmas medis
maupun non- medis tidak berani menyikapi pemotongan, pemerasan, atau pungutan
liar karena tekanan karier dan stigma yang bisa didapatnya, juga hierarki
yang kuat antara puskesmas, dinas kesehatan, dan kepala daerah.
Kedua, pengelolaan dana kapitasi
puskesmas tidak transparan. Pengelolaan dana kapitasi, mulai dari perencanaan
hingga pertanggungjawaban, sepenuhnya tertutup; dikelola oleh kepala dan
bendahara puskesmas. Publik tidak bisa mengakses besaran dan pemanfaatan dana
kapitasi puskesmas.
Ketiga, sistem pengawasan dan
pencatatan pertanggungjawaban yang belum baik. Aparat Pengawas Internal
Pemerintah (APIP) yang seharusnya mengawasi tidak mendapat program dan anggaran
untuk pendampingan, pengawasan, maupun pemeriksaan dana kapitasi.
Keempat, belum adanya sanksi tegas
terkait pemotongan, pemerasan, maupun pungutan liar untuk dana kapitasi. Hal
ini terbukti dari jumlah kasus korupsi dana kapitasi yang sudah masuk tahap
penetapan tersangka. Penyelewengan dana kapitasi diduga terjadi sistematis
dan luas, tetapi banyak yang diselesaikan tanpa dibawa ke ranah pidana.
Terakhir, belum adanya sistem
perlindungan saksi pelapor dalam pemerintah daerah. Modus korupsi terbanyak
adalah pemotongan atau pungutan kepada petugas puskesmas. Mestinya banyak
keluhan dan laporan dari para petugas puskesmas, tetapi ini tidak terjadi
karena ketakutan dan ancaman pada kelangsungan karier mereka.
Meski jumlah kasus korupsi dana
kapitasi tak banyak, tetapi pemerintah pusat maupun daerah sepatutnya memberi
perhatian serius. Hal ini karena dana kapitasi yang dianggarkan dalam jumlah
besar dan meningkat setiap tahun mengikuti jumlah peserta Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Selain itu, dana kapitasi menjadi celah baru melanggengkan
kekuasaan, terbukti dari OTT KPK di Kabupaten Jombang.
Pengawasan lebih serius dibutuhkan
dalam segala aspek pengelolaan dana kapitasi, baik dari APIP maupun dari
kementerian dan lembaga terkait. Pengawasan dan perhatian lebih dibutuhkan
jika ingin mewujudkan cita-cita universal health coverage (UHC) di mana
puskesmas menjadi ujung tombak pelaksanaan JKN. Dibutuhkan juga peningkatan
kemampuan manajemen dan keefektifan pengelolaan dana kapitasi di puskesmas.
Pemerintah jangan hanya menggelontorkan uang ke daerah semata-mata
mengejar UHC tetapi tidak memikirkan
kemampuan daerah dalam mengelola dana sebesar itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar