Industri
Peternakan Rakyat
Rochadi Tawaf ; Dosen Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran;
Anggota Persepsi Jawa Barat
|
KOMPAS, 18 Januari
2017
Sejak
nomenklatur peternakan rakyat tidak lagi tercantum dalam UU No 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, nasib dan masa depan peternakan
rakyat kian suram. Apakah ini dampak globalisasi perdagangan? Siapa yang
efisien dia yang akan bertahan, yang tidak efisien akan tersingkir dengan
sendirinya.
Sementara
ini, kita sangat paham bahwa di negeri ini, hampir di seluruh komoditas
ternak, didominasi usaha peternakan rakyat. Misalnya, lebih dari 90 persen
usaha peternakan sapi dan kerbau, unggas lokal, dan domba ataupun kambing
dikuasai peternak rakyat. Sementara yang menurun drastis adalah usaha
peternakan ayam ras.
Menurut
Pataka (2016), dalam 10 tahun terakhir bisnis usaha peternakan ayam ras kian
lesu. Pada 2006, peternakan rakyatmenguasai 70 persen pangsa pasar unggas
nasional. Namun, pada tahun ini, porsi peternakan rakyat tinggal 18 persen.
Tidak sedikit usaha peternak skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
ini bangkrut.
Usaha
peternakan rakyat di negeri ini sebagian besar masih bersifat subsisten
dengan ciri skala usahanya yang kecil, tidak ekonomis, dilakukan dengan cara
tradisional dan teknologi sederhana. Pada umumnya, ternak merupakan aset
hidup bukan komoditas bisnis, melainkan lebih berfungsi sebagai status
sosial, atau juga merupakan sumber tenaga kerja dalam tata kehidupan
masyarakat peternak.
Akibatnya,
peternak akan menjual ternaknya jika mereka memerlukan uang tunai. Oleh
karena itu, fluktuasi dan gejolak harga ternak biasanya terjadi bersamaan
dengan gejolak kebutuhan sosial masyarakat, terutama pada hari-hari besar
keagamaan dan kebudayaan.
Apabila
dilihat perkembangannya, selama ini kondisi peternakan rakyat seolah tidak
beranjak, bahkan cenderung jalan di tempat. Skala usahanya tetap kecil dan
masih tetap tradisional. Demikian juga halnya terjadi pada usaha peternakan
ayam ras yang sebagian besar dikuasai industri (korporasi besar), sedangkan
pada usaha peternakan rakyat pada umumnya peternak merupakan ”buruh” di
kandangnya sendiri. Mereka menjadi peternak yang sepenuhnya bergantung pada
korporasi, bukan lagi menjadi peternak yang mampu berusaha mandiri.
Melihat
kondisi di atas, pertanyaannya adalah apakah peternakan rakyat ini akan mampu
berubah ke arah ”industri peternakan” yang mandiri dan mampu meningkatkan
kesejahteraannya? Ataukah akan tetap menjadi ”status quo” sebagai akibat dari
ketradisionalannya?
Ada
pendapat bahwa sulit berkembangnya industri peternakan yang berbasis sistem
agrobisnis di negeri ini adalah akibat kalahnya daya saing produk industri
peternakan jika berhadapan dengan usaha peternakan rakyat. Sebab, sebagian
besar usaha peternakan rakyat hampir tidak pernah menghitung seluruh biaya
produksinya. Sementara industri peternakan menghitung seluruh komponen
biayanya.
Alhasil,
industri peternakan akan kalah bersaing di pasar. Atau bahkan sebaliknya,
kondisi ini akibat dari strategi pengembangan industri peternakan yang
memanfaatkan peternakan rakyat sebagai bagian dari penyebaran risiko, dalam
suatu sistem usaha.
Atau
industri peternakan memanfaatkan usaha skala kecil sebagai pendukung industri
besarnya sehingga mereka tidak mungkin akan menjadi industri dan harus tetap
merupakan bagian dari subsistem industrinya. Dengan demikian, peternakan
rakyat malah menjadi sulit untuk mengembangkan usahanya.
Revitalisasi
Terlepas
dari ”sebab atau akibat” tidak atau sulit berkembangnya peternakan rakyat
yang mungkin diakibatkan oleh kehadiran korporasi, maka upaya yang harus
ditempuh untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan peternakan rakyat
adalah dengan melihat kembali filosofi dasar pembangunan peternakan rakyat.
Menurut
Soehadji (1994), pembangunan peternakan harus mampu memadukan empat unsur,
yaituternak sebagai obyek sumber daya, lahan sebagai basis ekologi, teknologi
sebagai alat, dan peternak sebagai subyek pengembangan.
Merevitalisasi
peternakan rakyat di era globalisasi ekonomi dapat dilakukan melalui konsep
”industri peternakan rakyat” (Inayat). Inayat adalah kegiatan peternakan yang
dilakukan dengan cara yang maju, ciri melibatkan peternak rakyat dan dengan
corak industri, yaitu produknya berkualitas, input produksi menggunakan teknologi
dan dikelola secara efisien.
Model
gagasan Soehadji ini merupakan kemitraan antara peternak rakyat dan korporasi
yang masih sangat aktual dan diperlukan keberadaannya. Pola ini akan mampu
menciptakan keunggulan komparatif dan kompetitif. Namun, konsep ini tidak
akan berjalan sebagaimana diharapkan jika harmonisasi kebijakan pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan tidak dilakukan oleh pemerintah.
Harmonisasi
kebijakan yang dimaksud adalah melakukan perombakan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 jo UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Berdasarkan
fenomena yang terjadi selama ini dirasakan bahwa keberpihakan pemerintah
auranya tidak lagi berada pada peternak rakyat. Sepertinya peternak rakyat
dimarjinalisasi.Tampak jelas dari karut-marutnya dunia usaha perunggasan dan
sapi potong ataupun sapi perah akhir-akhir ini yang lebih berpihak pada
impor.
Selain
itu, pengertian peternakan rakyat lebih ditekankan pada bentuk UMKM.
Sesungguhnya, peternakan rakyat adalah kegiatan usaha ternak yang dilakukan
WNI baik skala UMKM maupun korporasi. Usaha ini harus menjadi kuat dan
tangguh, menguasai pangsa pasar di rumahnya sendiri, dan bukan sebaliknya.
Mereka harus dibina dan dibesarkan, bukannya dikerdilkan.
Kongres
Nasional Peternakan Rakyat yang diselenggarakan di Jakarta, 28 November 2016,
merupakan salah satu bentuk upaya menampilkan jati diri peternakan rakyat
sebagai akibat dari iklim usaha, kebijakan pemerintah, dan aturan
perundang-undangan yang tidak kondusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar