Senin, 18 Desember 2017

Korupsi dan Ancaman Keadilan Sosial

Korupsi dan Ancaman Keadilan Sosial
Riana A Ibrahim dan Madina Nusrat ;  Wartawan Kompas
                                                    KOMPAS, 18 Desember 2017



                                                           
Persoalan kesenjangan, termasuk di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari korupsi. Iming-iming tentang kesejahteraan dan pemerintahan yang bebas dari korupsi kerap muncul dalam kampanye pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Namun, perwujudannya kerap jauh dari harapan karena korupsi masih marak terjadi.

Mengacu pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2016, Indonesia berada di posisi ke-90 dari 176 negara dengan skor 37 dalam skala 0-100. Meski naik satu poin dibandingkan dengan 2015, IPK Indonesia belum menyentuh skor rata-rata dunia di angka 43. Bahkan masih di bawah rata-rata negara ASEAN yang ada di angka 40.

Temuan lain dari World Justice Project: Rule of Law Index 2016, Indonesia masih lemah di empat faktor yang disurvei. Empat faktor itu, pertama, adalah korupsi di pemerintahan yang diukur dari persoalan suap, penyelewengan anggaran, dan pengaruh dari pihak lain. Kemudian, faktor pemenuhan keadilan, faktor penegakan hukum yang bebas dari diskriminasi dan korupsi, serta faktor pemenuhan hak dasar warga negara.

Survei tersebut menunjukkan suap terjadi di jajaran lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Praktik petty corruption atau korupsi skala kecil juga terus terjadi dan kerap menimpa masyarakat bawah. Uang pelicin sering dibutuhkan untuk mempermudah mengakses pelayanan publik, termasuk saat mengurus izin kebutuhan dasar administrasi di instansi pemerintah. Ini membuat pelayanan publik tidak optimal dan hak dasar warga terabaikan.

Dalam buku Oligarchy karya Jeffrey A Winters disebutkan, tatanan hukum dan politik dibuat bukan untuk berpihak kepada masyarakat, melainkan kepada para oligarki yang memegang kendali atas suatu daerah dan bahkan negara. Winters menyebut oligarki adalah mereka yang mampu memerintah dan mengendalikan berbagai sumber daya untuk mengamankan miliknya, baik yang berupa kekuasaan maupun kekayaan. Ada lima sumber kekuatan oligarki, yaitu kekuatan politik, kekuatan resmi dengan duduk di pemerintahan atau organisasi, kekuatan memobilisasi, kekuatan koersif, dan kekuatan materi. Kelima kekuatan itu bisa digunakan sesuai kebutuhan.

Pola penggunaan kekuatan oleh oligarki ini terlihat di sejumlah kepala daerah atau politisi yang diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahun ini setidaknya ada tujuh kepala daerah yang diproses hukum oleh KPK karena kasus suap, menyelewengkan anggaran, hingga memperdagangkan pengaruh. Sejumlah anggota legislatif juga harus diproses hukum karena bermain mata dengan eksekutif dalam pembahasan atau penggunaan anggaran.

Alih-alih untuk menjalankan roda pemerintahan dan memperbaiki pelayanan publik, sebagian anggaran negara justru dijadikan bancakan untuk memuluskan proyek atau izin sumber daya alam. Negara merugi, kepala daerah dan politisi berikut kroninya meraup untung untuk diputar kembali sebagai modal mempertahankan kuasa dan kekayaannya.

Awal Desember ini, dalam jumpa pers di Gedung KPK, pemerintah telah mencabut 2.595 izin usaha pertambangan (IUP) yang ada di daerah. Selain itu, ada 2.509 IUP yang akan diblokir karena statusnya non-Clean and Clear. Ada sejumlah ketentuan dalam UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang tidak dipenuhi atau dilanggar dalam pemberian IUP tersebut.

Saat ini KPK juga sedang mengusut kasus dugaan korupsi terkait izin tambang yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara (nonaktif) Nur Alam dan eks Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman.

Di pusat pemerintahan, suap dan penyelewengan anggaran ini juga tecermin dalam perkara dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) tahun 2011-2012. Sebanyak Rp 2,3 triliun uang negara dari nilai proyek Rp 5,8 triliun diduga dikorupsi. Eks Ketua DPR Setya Novanto yang jadi salah satu terdakwa diduga juga menggunakan lima sumber kekuatan oligarki—seperti yang disebut Winters—dalam perkara ini.

Jaksa pada KPK, Wawan Yunarwanto, saat membacakan tuntutan untuk salah satu terdakwa dalam perkara ini, Andi Agustinus atau Andi Narogong, pada 7 Desember lalu menggarisbawahi tentang pembahasan anggaran negara yang bercampur dengan kepentingan bisnis. ”Dengan perkara ini, kita bisa melihat pembahasan anggaran dicampuri dengan kepentingan bisnis oleh pengusaha maupun anggota DPR yang memiliki mindset bisnis, bukannya konsentrasi pada kewenangannya sebagai wakil rakyat, melainkan sibuk mencari keuntungan pribadi,” ungkapnya.

Praktik korupsi itu turut jadi sebab tercederainya hak publik untuk memperoleh kartu identitas. Sejak KTP-el diterapkan pada 2011, hingga saat ini masih ada rakyat yang kesulitan memperolehnya. Berbagai alasan disampaikan pemerintah terkait lambatnya penerbitan KTP-el, mulai dari kekurangan blangko KTP-el hingga rusaknya sejumlah alat pemindai. Padahal, KTP menjadi syarat untuk memperoleh sejumlah layanan seperti di bidang pendidikan dan kesehatan.

Korupsi dan ketimpangan

Dalam disertasi berjudul ”Jebakan Korupsi-Ketimpangan Pendapatan: Studi pada Negara Kawasan Asia”, Inayati Nuraini Dwiputri menemukan, semakin tinggi tingkat korupsi, semakin tinggi pula ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat. Sebaliknya, kian tinggi ketimpangan pendapatan, semakin memicu masyarakat untuk korupsi.

Dalam disertasi tersebut, Inayati mengutip kajian Brian J Fried berjudul ”Corruption and Inequality at the Crossroad: A Multi-Method Study of Bribery and Discrimination in Latin America” Dalam kajian itu ditemukan fakta, polisi cenderung meminta suap kepada masyarakat kelas bawah saat menjalani proses hukum. Sementara untuk masyarakat kelas atas, status sosial mereka kerap membuat aparat membiarkan pelanggaran hukum yang dilakukannya.

Jong-Sung You dan Sanjeev Khagram dalam kajian berjudul ”A Comparative Study of Inequality and Corruption” di Universitas Harvard juga menemukan bahwa orang kaya lebih memiliki pilihan dan sumber daya untuk menyuap atau tidak menyuap.

Sebagai contoh, orang kaya akan berinisiatif memberi suap tanpa diminta untuk lepas dari jeratan hukum atau memperoleh kemudahan pelayanan publik. Meski demikian, terkadang, tanpa suap dan hanya dengan menonjolkan kekuasaan, kemudahan tetap dapat mereka peroleh. Namun, masyarakat kelas bawah yang memiliki sumber daya terbatas seakan tak punya pilihan. Guna memperoleh kemudahan yang sama, mereka terbawa dalam praktik suap dan korupsi.

Hal ini akhirnya memunculkan lingkaran setan yang sulit dihentikan. Inayati juga menguji hubungan tingkat ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan miskin (rasio gini) dengan IPK.

Di Indonesia, kenaikan IPK diiringi dengan turunnya rasio gini yang memiliki skala 0-1. Angka 0 berarti tak ada ketimpangan dan 1 berarti terjadi ketimpangan maksimum.

Pada 2013-2015, rasio gini Indonesia berkisar pada 0,41 dan 0,40. Seiring dengan naiknya IPK pada 2016, rasio gini Indonesia juga turun jadi 0,39. Di saat yang sama, Global Competitiveness Index 2017-2018 juga menunjukkan daya saing Indonesia meningkat dari peringkat ke-41 pada 2016 menjadi ke-36 pada tahun ini.

Berbagai angka tersebut menjadi sinyal bahwa di tengah berbagai tantangan dan masalah yang muncul, kita ada di jalur yang benar untuk terus melangkah bersama, meniti jalan mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat. Langkah itu akan makin ringan dan cepat terwujud jika nilai-nilai antikorupsi dan keadilan sosial juga terus diperjuangkan. ●

1 komentar:

  1. PROMO WOW..... ANAPoker

    + Bonus Extra 10% (New Member)
    + Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
    + Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
    + Bonus 20.000 (ALL Members)
    BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
    POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10

    BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON

    Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
    - Minimal Deposit Yang terjangakau
    - WD tanpa Batas

    Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
    WhatsApp | 0852-2255-5128 |

    BalasHapus