Media
Sosial dan Balkanisasi Siber
Yohanes Widodo ; Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
|
KOMPAS, 20 Juni 2017
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo
menyinggung keberadaan media sosial yang bisa mengancam persatuan.
"Ada materi media sosial yang bisa mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Bentuknya berupa hasutan, fitnah,
berita bohong, dan ujaran kebencian. Kalau tidak waspada bisa memecah belah
bangsa," kata Presiden.
Media sosial seolah menjadi ladang subur bagi muatan yang
berisi hasutan, fitnah, berita bohong, dan ujaran kebencian. Di media sosial
orang menjadi gampang marah dan bersumbu pendek. Hal ini terjadi karena
sejumlah hal yang menjadi pemicu. Pertama, adanya anonimitas. Internet
memungkinkan seseorang tampil secara anonim. Dalam kondisi tak mudah
teridentifikasi dan sulit untuk dimintai tanggung jawab, membuat orang
cenderung lebih permisif dan mudah lepas kontrol.
Kedua, internet memunculkan adanya jarak fisik. Ketika
berjarak atau tidak berhadapan langsung, orang tidak perlu mempertimbangkan
akibat dari kata atau perbuatannya. Adanya jarak juga menjadikan orang lebih
cepat dan lebih mudah menentang dan agresif dibandingkan ketika bertatap
muka.
Ketiga, medium tulisan. Orang lebih mudah marah ketika
menulis daripada berbicara. Di media sosial atau di kolom komentar, orang
bisa menulis panjang, sehingga bisa memunculkan sudut pandang ekstrem.
Berbeda dalam komunikasi lisan, meskipun orang sedang marah, dia harus
berbicara bergantian sehingga terjadi percakapan.
Sebuah studi dari Universitas Beihang Beijing (2013)
tentang penggunaan media sosial, Weibo, menemukan bahwa pengguna media sosial
lebih suka membagikan kemarahan (viral anger) daripada perasaan lain,
misalnya kesedihan atau kegembiraan. Orang cenderung hanya membagikan
kebahagiaan kepada orang terdekat. Sebaliknya, orang akan mengungkapkan
kemarahan atau kebencian kepada orang-orang tak dikenal.
Media penyaring algoritma
Dinamika politik dan kebangsaan kita mengindikasikan bahwa
media sosial telah mengobarkan perpecahan dan mengarah pada disintegrasi.
Pengaruh ini sering disebut balkanisasi untuk menggambarkan perpecahan sebuah
kawasan di Balkan yang kemudian menjadi negara-negara kecil. Satu sama lain tak pernah berdamai karena
masing- masing memiliki budaya, bahasa, dan agama yang berbeda.
Balkanisasi siber merupakan fenomena di mana warga
internet (netizens) terpecah menjadi kelompok-kelompok yang memiliki minat
atau kepentingan sama. Mereka mencari orang yang sesuai pemikirannya dan
menutup diri dan cenderung diskriminatif atau intoleran terhadap orang lain
yang memiliki ideologi, pemahaman, dan pandangan berbeda.
Proses balkanisasi siber terjadi dan dipengaruhi oleh
beberapa hal. Pertama, adanya proses disintermediasi atau berkurangnya peran
middlemen (Jörg Hebenstreit, 2015). Untuk mendapatkan informasi, orang tak
harus bergantung pada media. Orang bahkan bisa membuat media sendiri sesuai
minat atau seleranya.
Kedua, adanya sistem penyaringan algoritma. Sistem ini
mampu mengondisikan dan membatasi komunikasi kita hanya kepada orang-orang
yang sesuai dengan minat kita.
Mesin pencari Google memiliki fasilitas informasi
personal. Ketika seseorang mencari kata tertentu, Google mampu menyediakan
hasil yang sesuai minat pengguna. Google mengumpulkan dan mengolah data
pengguna dari jejak digital, informasi produk ataupun layanan Google serta
data luar jaringan (luring) meliputi lokasi, jenis komputer, bahasa dalam
sistem operasi, dan data lain. Facebook juga menyajikan feed berita personal
berbasis perilaku pengguna. Apa yang muncul pada feed berita dipengaruhi oleh
aktivitas pengguna.
Sistem penyaringan algoritma ini menjadikan pengguna tak
lagi punya kuasa karena tak mampu menolak apa pun yang tersedia. Seseorang hanya
mengonsumsi konten alias muatan yang dipilihkan sesuai minatnya. Tanpa sadar
ia membangun terowongan sendiri karena media sosial jarang mengekspos
pandangan yang berbeda. Hasilnya, pengguna media sosial akan menjadi korban
dari biasnya.
Situasi ini menjadikan kita berada dalam echo chamber,
yakni ruang di mana orang hanya mau melihat atau mendengar pendapat yang
disukai atau sesuai dengan ideologi, sikap, atau sejalan dengan pemikirannya.
Informasi, gagasan, atau suatu sikap akan diamplifikasi oleh komunikasi dan
terus direpetisi. Informasi baru bukan lagi untuk menambah wawasan, tetapi
lebih dimaksudkan untuk mengafirmasi pendapat serta keyakinan hingga makin
membuat dirinya lebih percaya diri. Ujungnya, orang akan cenderung bergerak
ke arah ekstrem.
Pedang bermata dua
Situasi ini bisa membahayakan ruang publik. Demokrasi
deliberatif (Juergen Habermas) mengandaikan adanya komunikasi argumentatif
dan terjadinya konsultasi antarwarga dengan pandangan beragam. Semua
prakondisi ini sebenarnya telah dipenuhi oleh internet. Namun, idealisasi itu
tampak masih jauh panggang dari api.
Sebuah studi menunjukkan, dari 60 situs partai politik
yang diteliti, hanya 9 situs (15 persen) yang menyediakan tautan ke situs yang berbeda pandangan politik,
sementara 35 situs (60 persen) menyediakan tautan ke situs yang memiliki
kesamaan pandangan politik. Lebih menarik lagi, tautan tersebut dimaksudkan
untuk menggambarkan betapa bodoh dan hina pandangan lawan politik mereka
(Sunstein dan Wexler, 2000).
Media sosial sesungguhnya bak pedang bermata dua. Di satu
sisi ia bisa digunakan untuk menyebarkan permusuhan, kebencian, intoleransi,
dan hal-hal yang bisa menyulut konflik. Namun, di sisi lain, juga untuk
menyebarkan nilai kebaikan, kebenaran, toleransi, persahabatan, dan kasih
sayang.
Oleh karena itu, selayaknya pengguna internet dan media
sosial menyadari bagaimana sistem penyaringan algoritma bekerja dan bahwa
balkanisasi siber bisa menggiring kita ke arah perpecahan. Di sini dibutuhkan
kesadaran, kecerdasan, kreativitas, dan literasi untuk memanfaatkan media
sosial sebagai engines untuk menebar inspirasi kebaikan dan inspirasi. Jika
tidak, siap-siap untuk dilibas oleh tangan-tangan tak kelihatan yang bekerja
mengendalikan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar