Rabu, 11 April 2018

Puisi, Politik, dan Agama

Puisi, Politik, dan Agama
Bagong Suyanto  ;  Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
                                                   KORAN SINDO, 06 April 2018



                                                           
SEINGAT saya puisi adalah produk orang yang sedang kas­ma­ran. Puluhan tahun silam, ketika para remaja sedang jatuh cinta, cara meng­ungkapkan pe­ras­a­an yang paling dalam me­nurut pengala­man banyak teman adalah melalui puisi. Puisi adalah ruang ekspresi dan media menya­lur­kan perasaan cinta yang ter­pen­dam. Tetapi, puisi tidak melulu berbicara soal cinta.

Berbeda dengan remaja yang sedang kasmaran, yang dalam sehari bisa membuat puluhan puisi untuk memuja-muji ke­kasihnya, bagi para pejuang dan orang-orang yang berpikir kritis, puisi sering menjadi alat perjuangan politik. Melalui puisi, aspirasi yang terpendam, gelora untuk bangkit dari ke­ter­tindasan, dan perasaan tertekan dengan mudah diekspresikan.

Puisi dan politik adalah dua hal yang kerap saling berang­kul­an sebagai alat perjuangan me­lawan penindasan. Bagi para seniman yang kritis, puisi sering menjadi alat yang efektif untuk menggugat penderitaan, kepongahan, dan ketidakadilan dalam kehidupan politik.

Apakah hal yang sama juga terjadi dalam hubungan puisi dan agama? Apa yang terjadi ketika puisi, politik, dan agama saling berkelindan? Ketika puisi, cinta dan politik sering saling me­nyapa, apakah puisi, politik dan agama juga dapat terinte­grasi dalam ruang yang sama?

Kontroversi

Puisi Sukmawati Soekarno­putri berjudul Ibu Indonesia  adalah sebuah produk budaya. Sebagai seorang seniwati, sah-sah saja Sukmawati membuat puisi untuk mengekspresikan yang ia pikir dan rasakan. Tetapi, di tahun politik seperti sekarang ini puisi yang di dalamnya me­nyinggung hal-hal yang ber­kait­an dengan syariah agama ter­nyata bisa memicu tanggapan yang berbeda.

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, misalnya, menye­sal­kan puisi Sukmawati karena dianggap berpotensi menim­bul­kan konflik. Puisi Sukmawati yang dibacakan dalam acara "29 Tahun Anne Avantie Berkarya" di Indonesia Fashion Week 2018  dinilai terlalu jauh masuk dalam wilayah yang dianggap sakral.

Wakil Ketua Umum PAN ini menilai puisi Sukmawati bisa menimbulkan reaksi dari umat Islam. Hal tersebut lantaran puisi itu menyinggung soal cadar dan azan. Taufik meminta ke depan Sukmawati lebih ber­hati-hati.

Metafora, kata bersayap, dan curahan hati yang terekspresi dalam kata-kata indah dalam puisi memang selalu sifatnya multitafsir. Bagi Sukmawati, apa yang dia sampaikan dalam puisinya tak lebih dari potret realitas sosial yang dia lihat dan rasakan. Di tengah kondisi masyarakat yang heterogen, tidak semua selalu memahami agama dalam pengertian yang sama.

Tetapi, ketika sebagian masyarakat merasa isi puisi Sukm­awati seolah ingin mem­benturkan Islam dan Indonesia, maka wajar jika ada pihak yang khawatir puisi itu menimbulkan kesan yang keliru.

Menulis sebuah puisi dengan berbasis pada apa yang dia rasa­kan dan lihat di lapangan tentu merupakan hak personal Sukma­wati. Tidak ada bedil dan tidak pula penjara yang bisa menge­rangkeng hasrat orang berkese­ni­an, termasuk menulis puisi. Di ka­langan masyarakat yang non­muslim, misalnya, mung­kin saja apa yang dikata­kan Sukmawati mengacu pada realitas sosial yang dilihatnya di sana. Cuma masa­lah­nya: di batas mana sebetulnya hu­bungan antara puisi, politik, dan agama bisa ditarik demarkasi yang tegas?

Puisi yang dibacakan dalam ruang publik (dan bisa dibaca siapa pun karena teknologi infor­masi dan internet memang memungkinkan hal itu terjadi), tentu tidak lagi sekadar media ekspresi orang per orang yang sifatnya personal. Sebuah puisi, yang kata-kata puitisnya meram­bah ke wilayah agama, maka jangan kaget jika sebagian orang mungkin merasa terganggu.
Dalam kehidupan beragama, ada yang disebut keyakinan. Ber­beda dengan kebenaran dalam ilmu pengetahuan yang bisa diperdebatkan, keyakinan adalah sesuatu yang given , yang sudah dianggap final. Keyakinan adalah sesuatu yang dilaksanakan, di­ang­gap benar, dan tidak seharus­nya diragukan.

Counter Discourse

Keyakinan seseorang pada ajaran agama, termasuk keya­kin­an terhadap syariat Islam, tentu merupakan hal yang harus dihor­mati: tidak dipertanyakan, apa­lagi dinista. Seseorang yang me­rasa keyakinannya diusik, bisa saja tersinggung, bahkan mem­bawa persoalan itu ke ranah hukum.

Seperti dilaporkan di media massa, gara-gara puisinya Suk­ma­wati kini diadukan ke aparat penegak hukum. Ke arah mana perkara puisi Sukmawati ini bakal bergulir, dan bagaimana ujung dari kasus ini? Tentu kita masih harus menunggu waktu.

Sukmawati sendiri telah menggelar konferensi pers dan sambil mencucurkan air mata telah meminta maaf kepada umat Islam yang merasa tersinggung dengan kata-kata dalam puisinya. Tokoh seperti Buya Syafii Maarif pun telah mengimbau kepada umat Islam agar tidak memper­panjang masalah ini dan bersedia memaafkan Sukmawati.

Bagi saya pribadi, daripada membawa kasus ini ke ranah hukum, saya justru lebih bersim­p­ati dengan apa yang dilakukan Ustaz Felix Siauw. Ustaz yang cukup populer di kalangan ma­syarakat Indonesia ini membalas dan mengkritik puisi Sukmawati dengan membuat hal yang sama, sebuah puisi berjudul Kamu Tak Tahu Syariat.

"Kalau engkau tak tahu syariat Islam, seharusnya engkau belajar bukan berpuisi, harusnya bertanya bukan malah merangkai kata tanpa arti," demikian kutipan puisi Ustaz Felix yang ia posting  melalui akun Facebook-nya.

Berdiskusi dan mencoba men­cari batas demarkasi tent­ang mana hal yang tabu, dan mana yang seharusnya tidak atau boleh dilakukan melalui forum yang sama, menurut saya hasilnya akan lebih positif.

Meski pun dalam akun Facebooknya Felix Siauw tidak menyatakan puisi yang dibuat­nya ditujukan kepada Sukma­wati. Namun, kata-kata puitis yang ditulis Felix dalam puisinya menjadi counter discourse  yang seimbang atas puisi karya putri proklamator Soekarno itu.

Gaya berpolemik dan saling melontarkan kritik melalui puisi, menurut saya, terasa indah dan tidak menakutkan. Daripada berkontestasi tentang sebuah wacana melalui aksi turun ke jalan, menempuh jalur hukum, dan sebagainya, bukan­kah lebih baik jika ditempuh jalan keluar yang bersahabat, namun tak kalah menohok? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar