Perang
Bintang di Pilkada
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Desember 2017
PILKADA serentak di 171
daerah yang akan digelar pada 2018 menjadi panggung gemerlap yang menarik
minat banyak kalangan. Tak hanya politisi yang berkiprah di partai politik,
tetapi juga para jenderal berbintang di TNI dan Polri yang rela pensiun dini.
Menarik untuk mengulas secara khusus, perang bintang di Pilkada serentak
2018. Apakah ini menjadi penanda kembali menguatnya ketertarikan para
jenderal TNI/Polri di sejumlah jabatan sipil setelah reformasi bergulir
hampir mendekati 20 tahun?
Medan
sang jenderal
Pilkada serentak tahun
depan akan menjadi medan laga sejumlah jenderal yang saat ini masih aktif.
Ada nama Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi yang telah mengumumkan
diri ingin maju menjadi ‘petarung’ sejak pertengahan Agustus 2017. Saat ini,
Edy telah resmi diusung Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan
Partai Amanat Nasional (PAN) untuk Pilkada Sumatra Utara.
Para bintang di Polri juga
banyak yang ‘turun gunung’ mencoba peruntungan, di antaranya ada Kapolda
Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin, Wakil Kepala Lembaga
Pendidikan dan Pelatihan (Wakalemdiklat) Polri Inspektur Jenderal Anton
Charliyan, dan Komandan Brigade Mobil (Dankor Brimob) Polri Inspektur
Jenderal Murad Ismail. Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw, Kapolda Sumatra
Utara, disebut juga akan maju dalam pemilihan gubernur di tanah kelahirannya,
Papua. Selain yang masih aktif, terdapat juga bintang purnawirawan, yakni
Mayor Jenderal (Purn) Sudrajat yang telah resmi diusung Gerindra dan PKS
sebagai bakal calon Gubernur Jawa Barat.
Ada yang sudah resmi
mendapatkan kendaraan politik, ada juga yang masih menunggu usungan resmi di
penghujung kesempatan sebelum masa pendaftaran. Murad sudah resmi diusung
oleh PDIP yang dipasangkan dengan kader PDIP yang juga Bupati Maluku Barat
Daya Barnabas Orno. Edy Rahmayadi sudah dipastikan masuk gelanggang
berpasangan dengan pengusaha Musa Rajeckshah. Sudrajat juga hampir pasti
berpasangan dengan politikus PKS Ahmad Syaikhu dalam ‘pacuan kuda’ berebut
kursi Jabar-1.
Yang jelas, perang bintang
ini harus diberi catatan khusus sekaligus peringatan dini (early warning)
agar demokrasi kita berjalan tetap dalam koridornya. Para jenderal aktif yang
tertarik melirik jabatan kepala daerah dari pilkada ke pilkada sejak 2015
jumlahnya makin meningkat. Jika di pilkada-pilkada sebelumnya yang tertarik
maju itu para purnawirawan, kini mulai mengemuka gejala para bintang aktif.
Edy kelahiran 1961, saat
ini 56 tahun. Safarudin kelahiran 1960, saat ini 57 tahun. Anton Charlian
kelahiran 1960, saat ini 57 tahun. Murad kelahiran 1961, saat ini 56 tahun.
Paulus kelahiran 25 Oktober 1963, saat ini 54 tahun. Jika melihat data
tersebut, umumnya mereka baru pensiun pada 2019. Hal ini mengacu pada
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bahwa umur pensiun para
perwira di TNI dan Polri ialah 58 tahun. Tentu saja, jika mereka resmi
menjadi pasangan calon dalam pemilihan, mereka harus mundur. Hal ini diatur
dalam Pasal 7 ayat 2 UU 10/2016. Sejumlah pejabat yang harus mengundurkan
diri antara lain DPR, DPRD, DPD, TNI/Polri, PNS, serta pejabat BUMN dan BUMD
serta Kepala Desa atau sebutan lainnya.
Penulis membayangkan,
dalam jangka panjang jika semakin banyak jenderal aktif tergoda mencalonkan
diri di pilkada, hal ini bisa memunculkan sejumlah paradoks bagi proses
reformasi internal TNI dan Polri menuju institusi yang profesional dan
nonpartisan. Lain halnya jika yang ikut pilkada itu purnawirawan yang tak
lagi terikat dengan kedinasan, hak pribadi sepenuhnya melekat padanya. Namun,
jika posisinya masih aktif, akan muncul kerawanan. Misalnya, akan banyak
para bintang yang berburu kuasa di tengah jalan saat gelaran pilkada serentak
berlangsung. Bayangkan, jika di kemudian hari semakin banyak jenderal aktif
berpilkada, sirkulasi elite di tubuh TNI/Polri akan terganggu bukan?
Kita juga mesti
berhati-hati, jika makin banyak jenderal aktif ingin mencalonkan diri, siapa
pun jenderal yang ditugaskan di suatu wilayah di masa mendatang bisa saja tergoda
untuk mendesain penugasannya sebagai batu loncatan membangun jejaring
politik bagi pencalonannya sebagai kepala daerah di masa mendatang.
Melihat pola pencalonan di
Pilkada serentak 2018 ini, rata-rata jenderal aktif yang bertarung, mengincar
daerah tempat mereka pernah bertugas. Edy Rahmayadi pernah menjabat sebagai
Panglima Daerah Militer I/Bukit Barisan, wilayah komando pertahanan yang
meliputi Provinsi Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, dan Kepulauan Riau dan
kini dia akan bertarung di Sumut.
Safarudin kini masih aktif
sebagai Kapolda Kalimantan Timur. Dia berencana maju dalam Pilgub Kalimantan
Timur bukankah ini cukup riskan? Anton Charliyan, selain putra Pasundan, dia
pun pernah menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat pada 2016 sampai Agustus 2017.
Murad, yang akan maju di Pilgub Maluku, pernah menduduki posisi Wakapolda
hingga Kapolda Maluku kurun waktu 2013 sampai 2015. Paulus pun pernah
menjabat Wakapolda Papua, Kapolda Papua Barat pertama, hingga Kapolda Papua.
Pengandidatan
parpol
Partai politik juga perlu
berbenah secara fundamental. Pelembagaan politik jangan kembali ke masa
silam. Dulu di era Orde Baru, konstruksi berpikir perihal kekuasaan sangatlah
bergantung pada kuatnya posisi TNI/Polri. Bahwa kepemimpinan ideal selalu
berasal kedua institusi ini sehingga tersedia ‘karpet merah’ bagi TNI/Polri
menjadi kepala daerah dalam sistem yang disebut para Indonesianis seperti
Willner sebagai ‘neopatrimonial rezim’ atau oleh Karl D Jackson ‘bureaucratic
polity’.
Thomas Carothers, dalam
tulisannya Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New
Democracies, di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006),
mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader
centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politisi. Partai sangat
bergantung pada tokoh utamanya, jika patronnya bertemu dan membuka komunikasi
politik dengan kekuatan lain, bisa dipastikan akan berpengaruh juga pada
kelompok politiknya.
Saat posisi partai yang
bergantung pada figur, sementara si figur utamanya berpikir bahwa calon
pemimpin yang paling cocok dan paling kuat ialah tentara atau polisi, maka
bukan mustahil terulang pola lama, yakni superioritas pemimpin militer atas
sipil. Dampaknya bisa ditebak, pengandidatan akan semakin banyak
menghadirkan para bintang di panggung politik pilkada, terlebih jika semakin
banyak pula para bintang yang terpesona dengan gemerlapnya perebutan kuasa
politik di banyak daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar