Republik
Simulakra
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir Sosial Kebudayaan
|
KOMPAS, 26 Januari 2017
Abad
informasi-digital telah mengubah realitas demokrasi kita. Aneka perilaku
politik yang tidak terduga dan tidak wajar ditunjukkan di ruang publik digital.
Mulai dari Presiden Joko Widodo yang menelepon anak kecil akibat unggahan
tangisannya yang menjadi viral di Youtube; Obama yang ”iseng” mengirim surat
elektronik stafnya larut malam hanya untuk sekadar bercanda; video viral
Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Sumarsono yang menggelar rapat kerja di
dalam kereta api; dan aneka tindakan ”aneh” para pejabat lain yang terekam
media sosial.
Dalam
kerja dramaturgi politik yang kini banyak dimainkan di atas panggung media
sosial, makna dan signifikasi tindak politik kini mengalami perubahan
radikal. Perilaku harian pejabat yang ditampilkan di media sosial menyedot
perhatian, waktu, dan kesadaran jutaan orang ketimbang realitas kehidupan
nyata di sekitarnya. Nanar oleh kekuatan hipnotis dunia virtual ini, para
pejabat dan anak bangsa tak dapat lagi membedakan yang penting/tak penting,
benar/salah, berguna/tak berguna, bermanfaat/tak bermanfaat.
Viral-viral
citra politik di aneka drama media sosial (medsos) telah menciptakan kondisi
yang ”melampaui” realitas politik itu sendiri. Keberadaan medsos telah
memengaruhi budaya demokrasi res publica yang kini berubah wujud menjadi
”demokrasi virtual”, di mana tindakan virtual di medsos mendominasi kesadaran
publik. Di dalamnya, komunikasi dan relasi politik tak lagi dibangun di
ruang-ruang realitas nyata, tetapi di dalam model-model dramaturgi virtual
yang menarasi ulang dunia nyata—political hyperreality.
Hiperrealitas politik
Realitas
politik abad informasi-digital dibangun melalui aneka dramaturgi medsos, yaitu
model realitas artifisial di dalam aneka media informasi-digital (simulacra),
yang ironisnya diterima sebagai ”yang nyata”—the hyperreality of politic. Di
dalam realitas media itu,kepalsuan dipahami sebagai kebenaran, rumor
ditangkap sebagai informasi, tanda diperlakukan sebagai realitas, dan
simulakra diterima sebagai ”yang nyata”. Ada jurang dalam antara citra media
dan realitas sesungguhnya (Baudrillard, 1983).
Hiperrealitas
politik adalah wajah ”artifisialitas politik”, yaitu perekayasaan dan dramatisasi
realitas lewat teknologi informasi-digital, seakan-akan ia realitas
sesungguhnya. Perilaku harian—marah, protes, menangis, mengeluh, bertengkar,
gembira—dapat di-setting atau di-setting ulang melalui medsos yang boleh jadi
tak sama atau berbeda konteks dengan realitas sesungguhnya. Kini, perbedaan
antara ”realitas alamiah” (natural) dan ”realitas buatan” (artificial) kian
tipis. Beberapa iklan politik menunjukkan watak artifisialitas ini.
Hiperrealitas
politik adalah wujud pelipatgandaan efek politik (multiplying effect), yaitu
pembesaran efek dramaturgis politik harian menjadi peristiwa besar, penting,
kolosal, signifikan, atau heboh: anak kecil menangis, rapat di kereta api,
presiden bercanda. Pembesaran efek ini akibat penyebarluasan peristiwa melalui
media sosial dalam waktu cepat, skala besar, dan jaringan luas yang
menimbulkan ”gaung sosial” melampaui skala peristiwa itu sendiri. Karena itu,
citra Jokowi menelepon seorang anak kecil dapat menjadi berita besar-kolosal.
Hiperrealitas
politik adalah cermin banalitas politikdi mana aneka informasi remeh-temeh,
dangkal, ringan, atau tak penting mendominasi kesadaran publik.Ironisnya,
informasi banal itu terus berlipat ganda dan menjadi viral di medsos. Dalam
banalitas informasi itu, apa pun diubah menjadi informasi, tontonan, atau
berita. Tak peduli betapapun banalnya sesuatu, ia tetap menjadi subyek
informasi.Ini yang menyebabkan Obama makan kacang mete menjadi viral di media
sosial—banality of information.
Hiperrealitas
politik adalah potret efemeralitas politik (ephemerality), yaitu tindakan,
relasi, atau komunikasi politik yang instan, cair, tak terduga, penuh
kejutan, tetapi tak bertahan lama. Motifnya adalah ”mencuri perhatian” (seduction) melalui aneka bentuk
penampakan luar dan permainan tanda. Seduksi adalah ”kekuatan” sekaligus
”kelemahan” demokrasi digital, yang fondasinya rapuh, dengan tingkat
durabilitas dan konsistensi rendah (Bard dan Soderqvist, 2002). Drama viral
anak kecil yang ”mencuri perhatian” Jokowi akan segera hilang lenyap, digantikan
drama-drama lain.
Hiperrealitas
politik adalah lukisan disinformasi politik, yaitu model-model informasi
banal yang dikonstruksi di dalam medsos, yang mengambi alih informasi
substansial yang diperlukan dalam masyarakat politik. Ironisnya, model-model
informasi artifisial dan banal ini kerap digunakan oleh sistem kekuasaan
untuk menutupi aneka kelemahan. Topeng informasi ini dapat menciptakan krisis
kepercayaan terhadap informasi itu sendiri karena ia dianggap tak lagi
mengungkapkan kebenaran.
Politik
di era informasi-digital berjalan melalui model temporalitas dramaturgi tanpa
kedalaman, yang mengandalkan pada kecepatan informasi dan kesegeraan
tindakan. Di dalamnya, paket-paket komunikasi ”ringkas”, ”hemat”, ”cepat
saji”, dan tak rumit lebih mendominasi. ”Simplisitas” dirayakan di atas
”kompleksitas”, yang menciptakan ruang ”konstelasi temporer” (temporary
constellation), di mana tanda, citra, drama, tayangan, unggahan, dan tontonan
muncul serta menghilang dalam kecepatan tinggi sehingga menuntut kerja
updating tanpa jeda.
Demokrasi digital
Aneka
dramaturgi dalam hiperrealitas politik telah menciptakan paradoks kultural
dalam res publica sendiri. Di satu pihak, ruang-ruang politik virtual di
dalam media sosial dianggap dapat menciptakan iklim politik lebih demokratis,
di mana kekuatan demos dapat ditunjukkan secara optimum. Optimisme ini tumbuh
karena ruang digital-virtual dilihat sebagai ”agora elektronik” (electronic
agora), di mana warga dapatmenunjukkan kekuatan otonominya sebagai demos, yaitu
kekuatan untuk berpikir dan bertindak bagi diri sendiri.
Medsos
membuka ruang bagi diskusi terbuka, proses deliberasi, ruang dialogis,dan
penentuan diri sendiri demos. Kekuatan teknologi informasi digital membuka
ruang bagi ”demokrasi hibrid” (hybrid democracy), yang memungkinkan
bekerjanya prinsip ”representatif” sekaligus ”partisipasi langsung” rakyat
dalam proses politik melalui media sosial (Haque dan Loader, 1999).Ruang ini
(Youtube) yang dimanfaatkan oleh ibu dari anak yang ingin bertemu Presiden
untuk berkomunikasi dengan Jokowi.
Medsos
dapat mewujudkan kekuatan demos, untuk mengimbangi lembaga demokrasi yang ada
(partai, parlemen, ormas). Melaluinya dapat dibangun ”kekuatan tandingan”
rakyat (counter power) untuk mengawasi, mengoreksi, dan meningkatkan kinerja
pemangku kekuasaan: demonstrasi, petisi, dan solidaritas sosial. Hubungan
short-cut rakyat dengan pusat kekuasaan ini bisa berfungsi sebagai kompensasi
dari tak berfungsinya aparatus dan lembaga-lembaga dalam demokrasi
representatif (Rosanvallon, 2008).
Politik
adalah perkara subyek dan pembangunan subyektivitas melalui pernyataan
(enunciation), ekspresi dan tindakan, serta bagaimana merealisasikannya dalam
medan ruang politik nyata. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah aktor utama
dalam panggung politik, tetapi sering tak dihitung dan tak mendapatkan posisi
di dalam medan dramaturgi politik. Politik adalah sebuah perjuangan dari
bawah agar rakyat diperhitungkan dan mendapatkan posisi di panggung
dramaturgi politik. Media sosial adalah panggung bagi demos untuk menunjukkan
kekuasaannya.
Media
sosial memiliki kekuatan ganda sebagai media politik. Di satu pihak,
melaluinyasuara rakyat sebagai demos ”didengarkan” sehingga rakyat dapat
berkomunikasi langsung dengan pusat kekuasaan tanpa melalui perwakilan.
Inilah relasi langsung seorang anak dan Jokowi, yang sulit dilakukan dalam
ruang politik konvensional. Di pihak lain, melalui media sosial, tindak
tanduk dan gerak-gerik penguasa dapat diawasi serta prinsip deliberasi dapat
secara maksimal dijalankan. Proses inilah yang dilakukan netizen, yang
mendiskusikan, menilai, dan mengkritik rapat pejabat di kereta api.
Meski
demikian, hiperrealitas politik dapat pula mengancam prinsip dasar demokrasi
itu sendiri karena sifat kesegeraan, disinformasi, banalitas, efemeralitas,
dan disinformasi yang melekat di dalam strukturnya. Ia dapat merusak struktur
topologis res publica, ruang publik, dan opini publik, karena cara kerja
artifisialitasnya dapat membawa informasi dan kebenaran rentan manipulasi.
Hiperrealitas dapat membawa pada krisis demokrasi karena membuka jalan bagi
bentuk baru ”totalitarianisme”: siapa menguasai media informasi, ia yang
menentukan kebenaran!
Paradoks demokrasi
Aneka
dramaturgi di media sosial rentan terhadap manipulasi rakyat sebagai
”penanda” (signifier) demi aneka kepentingan, termasuk kepentingankekuasaan.
Di dalamnya, rakyat bukan menjadi subyek dari ”generator makna” (generator of
meaning), melainkan medium produksi makna untuk kepentingan pihak lain,
termasuk para elite politik dan penguasa (Zizek, 2008). Dalam dramaturgi
virtual inilah orang miskin, marjinal, terpinggirkan, atau terabaikan kerap
dijadikan penanda oleh penguasa untuk membangun citra politik tertentu.
Media
sosial juga rentan terhadap ”krisis sosial”, yaitu ketika bentuk-bentuk
relasisosial yang alamiah diambil alih relasi sosial artifisial yang dibangun
melalui aneka media sosial (simulacra). Melalui simulakra sosial dapat
berlangsung aneka reduksionisme, penyederhanaan, generalisasi, dan manipulasi
realitas sosial untuk kepentingan kekuasaan. Relasi sosial seorang presiden
dengan seorang individu di media sosial boleh jadi dicurigai sebagai cara
untuk menutupi ketiadaan relasi sosial dengan rakyat di dunia nyata—the
social simulacra.
Media
elektronik digital telah mengangkat pula masalah dasar tentang ”jarak
sosial”. Dunia sosial yang dibangun oleh cara kerja interface menimbulkan
paradoks jarak sosial ini: seseorang dapat ”dekat” dengan yang lain di
medsos, tetapi nyatanya ”jauh” di dunia nyata.Rapat pejabat di kereta api
yang direkam dan diunggah di medsos dapat dilihat sebagai cara untuk membawa
urusan formal ke ruang publik, yang memberikan efek viral dan dramaturgis
”keterbukaan” serta ”kedekatan” pejabat publik dengan rakyat.
Cara
kerja medsos menciptakan pula efek psikologis ”kesegeraan” (instantaneous),
yang memengaruhi cara kerja kepemerintahan di dunia nyata, khususnya skala
prioritas tindakan. Karakter medsos mendorong ”perenungan instan”, yaitu
peristiwa yang direnungkan, dianalisis, dinilai, dan diberikan keputusan
secara instan. Keputusan Jokowi menelepon anak yang menangis mengalahkan
kebutuhan prioritas komunikasi lainnya, yang mungkin lebih kritis dan
strategis.
Hiperrealitas
politik menciptakan proses ”derealisasi” (derealisation), di mana relasi
politik di medsos mendominasi kesadaran, perhatian, dan persepsi publik,
mengambil alih relasi di dunia nyata. Memang, di sebuah republik, pemerintah
harus mengurusi aneka kepentingan publik berdasarkan nilai bersama res
publica.Namun, jika perhatian dan kesadaran penguasa serta komponen bangsa
disedot oleh motif dramaturgis-simulakra di ruang publik, yang tercipta the
republic of simulacra.
Keputusan
Jokowi menelepon seorang anak yang tampak menangis di medsos karena tak bisa
bertemu Presiden tentu sebuah tindakan humanis. Akan tetapi, lebih bijak jika
media sosial digunakan Jokowi secara optimal sebagai ruang deliberasi untuk
memikirkan, mendiskusikan, dan mencari solusi aneka masalah ”nyata” yang
mendera rakyat: kemiskinan, penggusuran, pengangguran, ketakberdayaan,
kejahatan, konflik, permusuhan, ancaman kesatuan bangsa, dan harga barang
yang melonjak—the politic of the real.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar