Ihwal
Pembubaran Ormas
Ismail Hasani ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah
& Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Direktur Riset SETARA Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Januari 2017
FRONT
Pembela Islam (FPI) ialah salah satu wajah para 'pembela' Islam yang sering
diasosiasikan sebagai ormas dengan atribut kekerasan demi 'membela' Islam.
Sejak didirikan pada 17 Agustus 1998, FPI memang berhubungan dengan aksi-aksi
kekerasan. Bahkan, ketika baru berusia 3 bulan, FPI terlibat aksi kekerasan
pada 22 November 1998 di Ketapang, Jakarta Barat. Aksi itu, selain dilakukan
atas permintaan warga Ketapang yang terganggu oleh keberadaan kelompok
preman, diduga atas dukungan aparat keamanan yang mendesain aksi itu sebagai
kerusuhan warga. Pendek kata, FPI digunakan aparat keamanan untuk mengatasi
premanisme dengan cara kekerasan.
Pandangan
radikal yang melekat pada tubuh FPI sebenarnya mengalir dari tokoh-tokoh
pendirinya, khususnya dalam menentang kebijakan Orba yang dianggap tidak
akomodatif terhadap Islam. Mereka antara lain Habib Rizieq Shihab, KH
Misbahul Anam, KH Cecep Bustomi, dan Habib Idrus Jamalullail. Semuanya
mubalig 'keras' yang menentang berbagai aksi kemaksiatan karena negara
dianggap tidak berdaya. Secara normatif, misi utama FPI sangat mulia, yakni
melakukan amar makruf nahi mungkar, menebarkan kebajikan dan mencegah
kemungkaran.
Simalakama FPI
Di
permukaan, sejarah FPI ialah sejarah perlawanan terhadap kemungkaran. FPI
menganggap cara ini bagian dari strategi untuk menegakkan syariat Islam di
Indonesia. Secara kontekstual, kelahirannya merupakan antitesis
ketidakmampuan negara dalam menggunakan tangan kekuasaan untuk mengatasi apa
yang oleh para pendiri dan pengikut FPI dianggap sebagai sebuah kemungkaran.
Dengan misi mulia di atas, spektrum agenda FPI kemudian meluas dalam banyak
bidang. Dari gerakan antimaksiat, antikomunisme-liberalisme, anti-Ahmadiyah,
anti-Syiah, antipluralisme. Dan terakhir berhasil menyihir sebagian umat
untuk berbaris dan mendesak memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama.
Daftar
aksi kekerasan FPI sudah banyak direkam media dan didokumentasikan pegiat
demokrasi dan HAM. Sejumlah pimpinan FPI juga pernah meringkuk di penjara
karena aksi kekerasan. Namun, organisasi ini tetap bertahan dan seolah
memiliki penawar bagi mereka yang menentangnya. Pascaperistiwa Cikeusik,
Pandeglang, Banten (6/2/2011), dan peristiwa Temanggung (8/2/2011), diduga
kuat FPI terlibat di dalamnya, desakan agar FPI dibubarkan sangat kuat,
bahkan Presiden SBY (9/11/2011) secara eksplisit memerintahkan Kapolri dan
Kemendagri untuk bertindak tegas termasuk kemungkinan membubarkannya.
Alih-alih
membubarkan, Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Indonesia
Bersatu II, justru tampil mesra di hadapan publik bersama ormas-ormas Islam,
yang salah satunya pimpinan FPI. Sebelumnya, perundungan serupa atas FPI juga
terjadi pascaperistiwa 1 Juni 2008, yang berujung pada pemenjaraan Rizieq
Shihab dan Munarman.
Kini,
wacana pembubaran kembali mengemuka setelah aneka demonstrasi FPI yang
dianggap mengganggu ketertiban sosial, menebar kebencian, memecah belah
bangsa, termasuk menghina aneka simbol negara: Pancasila dan Bendera Merah
Putih. Desakan pembubaran FPI bukan hanya datang dari mereka yang head to
head berkonflik dengan FPI, melainkan juga aspirasi mayoritas publik yang
digambarkan dengan berbagai aksi penolakan.
Wacana
lama ini mudah digulirkan tapi sulit diwujudkan karena keberadaan FPI
bagaikan buah simalakama. Riset SETARA Institute (2010) misalnya menunjukkan
banyak dari orangtua di perkotaan lebih memilih 'menyekolahkan' anak di FPI
atau organisasi sejenis daripada harus terjerumus pada narkoba, yang juga
sudah merusak dan merasuk hingga permukiman warga. Dasar perjuangan FPI juga
banyak yang membela karena dianggap 'menyeru pada kebaikan'. Namun, tidak
sedikit juga yang geram karena cara kekerasan yang dipilihnya. Di tengah
kontestasi politik mutakhir, FPI bahkan mampu bersekutu dengan elite politik
nasional.
Opsi pembubaran
Kehadiran
organisasi yang mengusung perjuangan yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD Negara RI 1945, dan menentang kemajemukan, memang dapat dijatuhi hukuman.
Namun, tidak mudah mengukurnya, apalagi Kemendagri telah mencatatkan FPI
sebagai organisasi yang sah, meski tidak berbadan hukum. Ideologi dan aspirasi
politik intoleran dari FPI dan organisasi lain yang sejenis ini memang harus
dihalau, tetapi tidak dengan menggunakan represi. Simalakama ini semakin
sulit dipilih karena kekeliruan negara di masa lalu yang berselingkuh dengan
aktor-aktor kekerasan dan memproduksi kekerasan sebagai cara mengatasi
masalah. Aktor negara, politisi, termasuk masyarakat yang tidak percaya pada
hukum juga lebih suka memilih organisasi semacam FPI sebagai pelindung dan
pendukung kepentingan.
Menghalau
aspirasi politik intoleran dan kekerasan yang diperagakan FPI harus dilakukan
dengan cara yang toleran dalam kerangka kebebasan berekspresi, kebebasan
berserikat. Represi dan jalan pemasungan hanya akan menimbulkan paradoks dan
kontradiksi pada diri pengusung aspirasi toleransi dan pluralisme. Pembubaran
FPI memang dimungkinkan UU 17/2013 tentang Ormas. Pada Pasal 59-78 mengatur
larangan bagi ormas, ancaman sanksi, pembekuan organisasi, hingga mekanisme
pembubaran dan mekanisme untuk menyoal pembubaran itu, jika organisasi yang
dibubarkan tidak menerima tindakan hukum negara.
Kunci
pembubaran ormas bergantung pada tiga institusi negara: Polri yang memasok
data pelanggaran, MA yang wajib memberikan pendapat hukum atas usul
pembubaran suatu ormas, dan Kemendagri yang melakukan pencabutan status badan
hukum atau status terdaftar suatu organisasi. Setelah pencabutan status,
mekanisme berikutnya permohonan penetapan pengadilan untuk memperoleh putusan
bahwa pembubaran itu sah menurut hukum. Di sinilah, proses pembuktian atas
segala peragaan kekerasan akan dilakukan. Jika atas putusan pengadilan suatu
ormas merasa tidak memperoleh keadilan, jalur kasasi bisa ditempuh.
Mekanisme
berliku pembubaran ormas dilakukan semata-mata untuk melindungi kebebasan
berserikat warga negara. Mekanisme ini juga ditujukan untuk memastikan negara
tidak melakukan represi dan abuse dalam bentuk pembubaran ormas.
Objektivikasi melalui proses peradilan merupakan jalan tengah untuk
memperoleh margin of appreciation atas conflicting rights pada kebebasan dan
hak konstitusional warga yang digunakan berlebihan dan menimbulkan
terganggunya keteraturan sosial.
Opsi
pembubaran bisa jadi bukan jalan terbaik karena pembubaran ormas akan berefek
ganda. Pembubaran juga bisa jadi preseden bagi ancaman kebebasan berserikat.
Paralel dengan langkah memutus antitesis yang diyakini FPI sebagai raison
d'etre pada 1998, institusi negara harus berbenah. Jangan berselingkuh dengan
organ-organ kekerasan, sekaligus bertindak tegas atas nama hukum dan
Konstitusi, menindak semua tindak pidana yang dilakukan setiap pimpinan dan
anggota ormas, termasuk mereka yang berlindung atas nama agama. Langkah
penegakan hukum pidana yang berbasis pada individual responsibility pimpinan
dan anggota yang sudah dilaporkan ke institusi kepolisian bisa menjadi
langkah awal untuk memulai langkah pembubaran yang berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar