Korupsi
Lintas Batas Negara
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency
International Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Januari 2017
KPK
akhirnya menetapkan bekas Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar (ES)
sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi (suap) terkait dengan
pengadaan mesin pesawat dari perusahaan Rolls-Royce yang berbasis di Inggris,
Kamis (19/1). Penetapan itu dilakukan setelah pengadilan di Inggris
menetapkan untuk menjatuhkan denda kepada Rolls-Royce karena melakukan suap
terhadap pejabat di beberapa negara, termasuk Indonesia. Kasus serupa juga
pernah terjadi di Indonesia terkait dengan suap dalam pengadaan
tetraethyllead (TEL) di Pertamina yang menyeret pihak swasta dan pejabat di
Pertamina. Hal itu terungkap pasca-Innospec Ltd oleh pengadilan di Inggris
dinyatakan bersalah dan dikenai denda hingga US$12,7 juta (26 Maret 2010).
Kesamaan kedua kasus itu bukan hanya karena negara asal perusahaan (Inggris),
melainkan yang paling penting ialah keterlibatan pejabat publik di negara
lain. Hal itu berkaitan dengan bagaimana pemberantasan korupsi dilakukan
dengan basis putusan hukum negara lain.
Konvensi antikorupsi
Dalam
konteks internasional, ada dua hal krusial yang sangat relevan dengan kasus
semacam itu, yaitu bagaimana korupsi terjadi di sektor swasta dan penyuapan
terhadap pejabat publik asing. Pertama, penyuapan oleh pihak swasta kepada
pihak swasta lain untuk memperoleh keuntungan tertentu belum diatur di dalam
regulasi Indonesia sehingga bila terjadi 'kongkalikong' di antara pihak
swasta, itu tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, tetapi
hanya bisa dipersangkakan sebagai perbuatan yang diatur dalam UU tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No 5/1999).
Lain
halnya ketika suap itu terjadi di antara perusahaan swasta dengan badan
usaha/swasta milik negara (BUMN/BUMD). Artinya suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika berkaitan dengan interes
publik tertentu. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang
telah diratifikasi RI melalui UU No 7/2006 sesungguhnya telah memberikan
panduan bagi negara-negara peserta konvensi untuk mengadopsi di dalam
regulasi mereka bahwa tindakan penyuapan di sektor swasta, termasuk penggelapan
di sektor swasta, sebagai tindak pidana korupsi (article 21, article 22
UNCAC). Kedua, pemidanaan terhadap tindakan menyuap pejabat publik asing.
Sebagai perumpamaan ketika pihak swasta di Indonesia menyuap pejabat publik
di negara lain untuk memenangi tender di negara tersebut. Maka berdasarkan
ketentuan itu, pihak swasta tersebut dapat dijerat sebagai tindak pidana
korupsi.
Di
Indonesia, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999 dan
UU No 20/2001) belum mengatur bagaimana memidanakan pejabat publik di RI atau
perusahaan swasta tertentu menyuap pejabat di negara lain. Padahal, UNCAC
sebetulnya memberikan acuan yang jelas bagaimana negara-negara dapat
mengadopsi itu ke dalam regulasi masing-masing (article 15 UNCAC). Regulasi itu
ditujukan menyamakan standar soal penanganan tindak pidana korupsi jika
melibatkan dua negara atau bahkan lebih. Penanganan kejahatan lintas batas
negara selalu dihadapkan kepada persoalan klasik tentang perbedaan sistem
hukum di setiap negara.
Selama
ini perbedaan itu menimbulkan persoalan yang cukup serius, misalnya ketika
putusan pengadilan di RI menetapkan suatu aset/kekayaan yang berada di negara
lain sebagai hasil kejahatan, maka tidak serta-merta otoritas di negara itu
melakukan eksekusi sesuai dengan permintaan Indonesia. Bisa jadi akan ada
proses hukum baru yang diajukan pemerintah Indonesia kepada otoritas negara
lain tersebut. Konstruksi kasus yang diduga melibatkan ES sebetulnya jauh
lebih mudah, sebab Rolls-Royce telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Bukti inilah yang kemudian dijadikan dasar bagi Indonesia (KPK) untuk
melakukan penyidikan terhadap ES. Praktik korupsi yang melibatkan dua atau
lebih dari entitas hukum yang berbeda memang perlu menetapkan satu standar
kerja sama di antara negara-negara untuk memudahkan pengusutan, termasuk
pertukaran informasi ketika proses hukum di satu negara sedang berjalan
sehingga subjek hukum di negara lain secara bersamaan akan diusut tanpa harus
menunggu putusan dari negara lain tersebut.
Dampak korupsi
Dalam
kacamata bisnis, sebagian mungkin menilai suap masih dianggap sebagai salah
satu cara untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas atau
pekerjaan/proyek/pengadaan pemerintah. Padahal, korupsi sesungguhnya telah
mengesampingkan prinsip kompetisi sehat. Penyuapan dalam entitas bisnis
sebetulnya jauh lebih berbahaya karena melibatkan satu badan hukum. Dampaknya
akan sangat luas jika badan hukum tersebut melakukan aktivitas yang terkait
dengan kepentingan publik. Korupsi akan mengurangi hak publik untuk menikmati
suatu barang/jasa karena sebagian digunakan untuk melakukan penyuapan.
Upaya
Indonesia untuk memerangi kejahatan korupsi yang melibatkan badan
hukum/korporasi tertentu masih dalam tahapan pembenahan regulasi. Belakangan
MA telah mengeluarkan peraturan untuk mengakomodasi proses peradilan yang
melibatkan korporasi. Ini menjadi satu anak tangga pertama untuk memitigasi
terjadinya korupsi yang melibatkan korporasi, baik yang berbadan hukum di
Indonesia maupun dengan badan hukum asing tetapi beraktivitas di Indonesia.
Pelaksanaannya tentu menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi polisi,
jaksa, termasuk KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar