Kamis, 01 Maret 2018

Mengikis Oligarki Ekonomi

Mengikis Oligarki Ekonomi
Arif Budimanta  ;   Wakil Ketua Ekonomi dan Industri Nasional
                                                        KOMPAS, 01 Maret 2018



                                                           
Terwujudnya keadilan ekonomi menjadi salah satu fokus kerja dari pemerintah saat ini.   Salah satu masalah keadilan ekonomi yang kita hadapi adalah kuatnya oligarki ekonomi. Oligarki ekonomi adalah suatu sistem penguasaan aset dan akses terhadap sumberdaya ekonomi yang dikendalikan oleh sekelompok pelaku ekonomi.

Richard Robison dan Vedi Hadiz, dalam Reorganising Power: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets (2004) menjelaskan, oligarki adalah sistem kekuasaan yang menekankan kekuatan sumber daya material sebagai kekuatan utama. Selanjutnya, Jeffrey Winters, dalam Oligarchy (2011), mengemukakan bahwa  penggunaan kekayaan para oligark bertujuan memperbesar lagi kekayaan mereka.

Mengukur oligarki

Winters mengajukan konsep Material Power Index (MPI) sebagai indikator untuk mengukur kadar oligarki di sebuah negara. MPI dihitung berdasarkan rata-rata aset 40 orang terkaya dibandingkan rata-rata pendapatan per kapita penduduk. Berdasarkan MPI, nyatanya oligarki di Indonesia sudah terbilang parah. Nilai MPI Indonesia tahun 2017 mencapai 584.478. Itu artinya, setiap orang yang masuk daftar  40 orang terkaya di Indonesia memiliki aset 584.478 kali lipat lebih banyak dari rata-rata pendapatan per kapita.

Nilai MPI  Indonesia tipis di atas MPI Amerika Serikat (521.411). Bahkan, dibanding negara-negara Asia lainnya, MPI Indonesia jauh lebih besar. Kecuali jika dibandingkan dengan Filipina (657.880). Winters menegaskan, MPI yang tinggi menunjukan kadar oligarki yang kuat setidaknya dalam bentuk oligarki ekonomi. Dalam hal ini para aktornya tidak terjun langsung menjadi politisi tetapi memengaruhi pengambil kebijakan melalui kekayaan mereka dengan tujuan mengamankan dan mengakumulasi kekayaan secara besar-besaran.

Memang tak banyak kalangan orang terkaya Indonesia yang terjun langsung dalam politik. Jadi, model oligarki di sini lebih bernuansa oligarki ekonomi. Namun, ini saja sudah jadi soal. Sara Hsu (2008) dalam The Effect of Political Regimes on Inequality 1963-2002, menyatakan, ada pengaruh dari oligarki terhadap ketimpangan. Hasil penelitian terhadap data time series MPI, pertumbuhan ekonomi, dan ketimpangan (indeks Gini) oleh Megawati Institute (2017) memperlihatkan, oligarki berpengaruh signifikan meningkatkan kesenjangan. Lantas, kendati tidak terlalu kuat, oligarki di Indonesia juga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Oligarki Indonesia

Menurut Winters (2011), oligarki Indonesia memang bersifat ekstraktif, tidak produktif. Mereka bukan industrialis, karena yang dilakukan hanya mengeruk sumber daya alam sebanyak mungkin lalu terlibat ‘konsensus” bagi-bagi di antara mereka.  Kathy Fogel dalam Oligarchic Family Control, Social Economic Outcomes, and the Quality of Government (2005) menulis, oligarki merusak perkembangan institusi ekonomi seperti property right, perkembangan lembaga finansial, dan keterbukaan akses modal. Pertumbuhan wira usaha baru terhambat dan persaingan jadi tak sehat. Ujung-ujungnya,  ketimpangan kian menyolok. Saat ini, ketimpangan ekonomi Indonesia terbilang mencemaskan. Nilai Indeks Gini berada di level 0.393—lebih tinggi dari posisi di akhir Orde Baru yang sekitar 0.35 (tahun 1996).

Megawati Institute (2017) menyatakan laju pertumbuhan kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia sepuluh kali cepat dibandingkan dengan laju pendapatan per kapita. Forbes (2017) menyatakan total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia adalah 119,7 miliar dollar AS atau setara Rp1.616 triliun.

Laporan Credit Suise (2017)    menunjukkan 1% penduduk  terkaya Indonesia menguasai 45.4% kekayaan nasional. Data LPS (April 2017) menunjukkan 57,6% total simpanan di perbankan hanya dikuasai 0,12% masyarakat terkaya. Gini lahan lebih parah lagi: di Jawa 0,72 dan di luar Jawa 0,58 (Policy Brief Epistema Institute, 2016).

Jika ketimpangan ini tak teratasi, potensi kecemburuan sosial membayangi dan itu dapat menyebabkan konflik dan kekerasan. Masalahnya, tidak mudah menjinakan oligarki. Selain bisa memengaruhi para politisi, oligarki juga menciptakan “Wealth Defense Industry” yang dihuni para pengacara, pelobi, akuntan, humas, dan mungkin jurnalis atau aktivis. Bahkan krisis tak bisa melenyapkan mereka. Alih-alih punah, krisis 1998 justru menjadikan oligarki ekonomi di Indonesia kian kuat. Dalam 10 tahun, laju kekayaan 40 orang terkaya Indonesia melonjak empat kali lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional (Megawati Institute, 2017).

Ada harapan

Namun, kita masih punya harapan. Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, ketimpangan sejatinya mulai menurun. Maret 2017, indeks gini berada di posisi 0,393. Maret 2015 angka itu masih berada di posisi 0,408 dan Maret 2016 di level 0,397. Bahkan menurut Megawati Institute (2017) nilai MPI sebenarnya juga berkurang dari tahun 2014 (677.451) dan 2016 (584.478). Kita hanya perlu lebih konsern dan konsisten dalam mengelola fenomena oligarki ekonomi ini.

Penegakan hukum—terutama untuk kasus korupsi, perpajakan, pencucian uang, dan kejahatan kerah putih lainnya—harus berkelanjutan. Persaingan usaha harus adil dan berjalan sehat.  Belanja negara untuk kegiatan politik dan kepartaian sebaiknya ditambah guna memangkas ketergantungan kepada kaum kaya dalam berpolitik. Dalam hal ini, ada baiknya disediakan kuota politik minimal 20 persen bagi kekuatan akar rumput: petani, buruh, pedagang tradisional—seperti kuota perempuan—sehingga kaum pinggiran bisa memiliki wakil di parlemen tanpa lewat dompet oligark. Keputusan partai dalam memilih calon kepala daerah perlu dipikirkan lagi formatnya agar tidak mengundang oligark turut cawe-cawe.

Jalan keluar

Di bidang ekonomi banyak yang bisa dilakukan. Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014) mengusulkan pajak progresif untuk kelompok kaya dan transfer fiskal untuk kelompok miskin. Perlu juga meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan pekerja. Upah minimum harus memenuhi kebutuhan hidup layak dan terbayarkan rutin. Hapus diskriminasi dalam pekerjaan serta perkuat serikat buruh.

Pembangunan infrastruktur oleh Presiden Joko Widodo bisa mendorong pengurangan ketimpangan. Reforma agraria dapat mempercepat redistribusi aset dan akses untuk  masyarakat bawah serta memperkuat faktor produksi mereka. Perlu juga mengoptimalkan dana desa, memperkuat UKM, dan jadikan koperasi sokoguru perekonomian nasional. Berikan pembiayaan murah bagi UKM dan koperasi.
Birokrasi dan regulasi harus dibuat sederhana, efektif, dan bersih. Pemerintah juga harus mengatur ekonomi digital agar tidak memperlebar kesenjangan tetapi untuk memangkas kendala ekonomi.

Dalam sebuah obrolan dengan Ilham Habibie, awal 2018, kami menyepakati, oligarki yang menjadi masalah ini bisa turut diatasi dengan meningkatkan kemudahan berusaha agar ekonomi berjalan inklusif. Wirausaha di sektor formal diperbanyak dari saat ini  yang hanya 1,8% penduduk, kelas menengah terdidik terus muncul dan menguat, penyerapan tenaga kerja berlangsung efektif, dalam suatu sistem rantai pasokan usaha yang memiliki corak usaha bersama antar pelaku usaha besar, menengah kecil.

Jerman bisa menjadi teladan soal ini. Sergio Grassi dalam Social Market Economy & Qualitative and Inclusive Growth in Germany (2007), menegaskan, inklusivitas ekonomi di Jerman—yang menjadikan keadilan social sebagai prinsip utama serta menolak kapitalisme berlebihan dan kompetisi brutal—berhasil membuat Jerman sebagai negara ekonomi terkemuka di dunia. Obrolan ini merupakan kelanjutan dari pertemuan Megawati Soekarnoputeri dan BJ Habibie beberapa pekan sebelumnya.
Selain itu, perlu diperkuat desentralisasi fiskal—tidak hanya otonomi belanja melainkan juga penerimaannya. Dengan begitu, pusat pertumbuhan akan menyebar ke seluruh nusantara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar