Efek
Sistemik Korupsi
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Maret 2018
HARI-HARI ini kita disuguhkan
sebuah anomali tentang sebuah negara yang sedang mencoba keluar dari getirnya
korupsi. Namun, ruang-ruang sidang para wakil rakyat justru ramai dengan soal
perebutan jabatan, penambahan fasilitas, hingga pemufakatan untuk
‘membungkam’ para pengkritik dengan pasal pidana melalui UU MD3. Silih
berganti dari sebahagian mereka dihadapkan kepada proses hukum karena
melakukan korupsi, namun semakin kuat pula interupsi mereka untuk melawan
itu.
Di daerah hal yang hampir sama
terjadi. Akhir-akhir ini penangkapan terhadap anggota DPRD, kepala daerah,
birokrat, maupun pengusaha semakin marak terjadi. Berdasarkan laporan KPK
tahun 2016 saja, mayoritas penindakan itu justru berasal dari pejabat di
daerah.
Realitas ini tentu harus dilihat
sebagai masalah yang mengancam kepentingan dan hajat hidup orang banyak.
Sebab, korupsi tidak hanya sekadar persoalan elite politik, penegak hukum,
tetapi adalah pangkal bala dari segala macam persoalan politik, ekonomi,
hukum, dan sosial kemasyarakatan. Sehingga setiap upaya politik yang berusaha
membungkam gerakan pemberantasan korupsi adalah bagian dari musuh bersama
masyarakat.
Sistemik
Syed Hussain Alatas dalam Korupsi,
Sifat, Sebab dan Fungsi (1987) secara sosiologis menyebut ini sebagai bagian
dari efek korupsi. Setidaknya ada 6 efek, proses dan kondisi korupsi yang
relevan dengan situasi saat ini.
Pertama, efek metastatik
(penyebaran), ibarat kanker korupsi begitu cepat menyebar ke pusat-pusat
kekuasaan negara/pemerintahan. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas yang
dibiayai pajak rakyat dilanda korupsi, proyek-proyek infrastruktur, hingga
penyelewengan dana desa.
Situasinya semakin gawat ketika
penegak hukum juga menjadi bagian dari sindikat itu. Semua bisa menyaksikan
bagaimana periode awal Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong
Kong menyasar lembaga kepolisian sebagai target utama dalam memberantas
korupsi. Mereka menyebutnya sebagai ‘sindikat korupsi’, saat kepolisian pada
waktu itu terlibat dalam perdagangan obat bius, perjudian gelap, dan
pelacuran.
Situasi di Indonesia tidak jauh
berbeda di masa awal reformasi, penegakan hukum antikorupsi tumpul dan tak
bertaji. Untuk merespons situasi tersebut dibentuklah KPK. Pembentukan badan
antikorupsi independen tentu tidak serta merta menghentikan karut marut
korupsi.
Serangan bertubi-tubi hingga hari
ini masih membayangi KPK, mulai dari kriminalisasi, ancaman/serangan kepada
personel KPK, hingga upaya sistemik untuk melucuti kewenangan KPK.
Efek metastatik ini membuktikan
bahwa pusat-pusat kekuasaan termasuk penegak hukum memang masih menyimpan
sel-sel korupsi, sehingga ketika KPK mulai mendekati sel induknya, di saat
itu juga sistem imunitas korupsi itu bekerja.
Kedua, efek perkomplotan, korupsi
disebut sebagai kejahatan yang terorganisasi. Korupsi yang terjadi di pusat-pusat
kekuasaan memiliki relasi ekonomi-politik dengan kelompok lain (korporasi),
mereka disatukan adanya keuntungan yang diperoleh secara bersama.
Dalam skala kecil, korupsi dalam
layanan administrasi warga juga menunjukkan gejala ini. Uang pelicin menjadi
sarana yang paling ampuh untuk mempercepat proses birokrasi. Ada
kelompok-kelompok tertentu di dalam dan di luar birokrasi yang mengemas
seluruh proses tersebut menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Ketiga, efek transmutasi. Gejala
itu muncul dalam hubungannya tingkat penerimaan masyarakat terhadap pelaku
korupsi. Masyarakat memandang koruptor sebagai orang yang dermawan,
dielu-elukan, bahkan dianggap pahlawan. Koruptor dinilai sebagai penjahat
yang berhasil.
Di Indonesia, hal serupa juga
sedang terjadi, para pelaku korupsi selalu mendapat tempat yang terhormat di
masyarakat. Dalam bahasa awam mereka biasa disebut sebagai korban perbuatan
zalim penegak hukum, konspirasi, dst. Sehingga mereka hampir tak punya rasa
malu ketika berhubungan dengan masyarakat, sehingga tidak mengherankan
orang-orang tersebut justru menduduki jabatan-jabatan penting.
Keempat, efek psikosentris,
korupsi secara psikologi membawa pelakunya kepada halusinasi bahwa korupsi
ialah bagian dari cara untuk mendapatkan sesuatu. Dalam konteks politik,
korupsi bahkan menjadi tujuan dari upaya memperoleh kekuasaan. Pebisnis akan
memasuki dunia politik, untuk dapat mempengaruhi keputusan politik, atau
setidaknya ‘membeli’ keputusan politik tersebut.
Kelima, efek klimaktis, korupsi
menciptakan budaya masyarakat yang menyimpang. Ada situasi saat orang-orang
yang memiliki integritas justru tidak mendapatkan jabatan, sedangkan
orang-orang dengan integritas moral yang rendah justru menduduki jabatan
penting.
Bahkan dalam tubuh KPK sendiri ini
sudah mulai menjadi ancaman, posisi-posisi strategis dikuasai untuk sekadar
mengamankan posisi tuannya. Dalam situasi yang makin genting, lingkungan
sosial yang demikian itu akhirnya mematahkan semangat orang-orang yang jujur.
Keenam, efek ekonomi korupsi,
tanpa disadari korupsi ialah biang kemiskinan. Korupsi tanpa disadari telah
menjadi beban ekonomi masyarakat. Biaya produksi membengkak karena banyak
biaya-biaya tak terduga dan liar. Akibatnya, masyarakat tidak hanya membayar
harga barang, melainkan juga ikut menanggung biaya korupsi yang dilakukan
pejabat publik/politik.
Daya rusak korupsi yang sedemikian
rupa seharusnya mampu menyadarkan bahwa publik harusnya menjadi bagian dari
gerakan moral untuk memerangi korupsi di level mana pun. Maka ketika muncul
upaya untuk memperkuat impunitas koruptor, publik seharusnya menjadi pihak
yang paling terancam. Jika tidak, akumulasi korupsi akan terus menjadi beban
bagi masyarakat. Kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, dan
ketimpangan akan terus terjadi karena efek korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar