Jumat, 09 Maret 2018

Efek Sistemik Korupsi

Efek Sistemik Korupsi
Reza Syawawi  ;   Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
                                              MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2018



                                                           
HARI-HARI ini kita disuguhkan sebuah anomali tentang sebuah negara yang sedang mencoba keluar dari getirnya korupsi. Namun, ruang-ruang sidang para wakil rakyat justru ramai dengan soal perebutan jabatan, penambahan fasilitas, hingga pemufakatan untuk ‘membungkam’ para pengkritik dengan pasal pidana melalui UU MD3. Silih berganti dari sebahagian mereka dihadapkan kepada proses hukum karena melakukan korupsi, namun semakin kuat pula interupsi mereka untuk melawan itu.

Di daerah hal yang hampir sama terjadi. Akhir-akhir ini penangkapan terhadap anggota DPRD, kepala daerah, birokrat, maupun pengusaha semakin marak terjadi. Berdasarkan laporan KPK tahun 2016 saja, mayoritas penindakan itu justru berasal dari pejabat di daerah.

Realitas ini tentu harus dilihat sebagai masalah yang mengancam kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Sebab, korupsi tidak hanya sekadar persoalan elite politik, penegak hukum, tetapi adalah pangkal bala dari segala macam persoalan politik, ekonomi, hukum, dan sosial kemasyarakatan. Sehingga setiap upaya politik yang berusaha membungkam gerakan pemberantasan korupsi adalah bagian dari musuh bersama masyarakat.

Sistemik

Syed Hussain Alatas dalam Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi (1987) secara sosiologis menyebut ini sebagai bagian dari efek korupsi. Setidaknya ada 6 efek, proses dan kondisi korupsi yang relevan dengan situasi saat ini.

Pertama, efek metastatik (penyebaran), ibarat kanker korupsi begitu cepat menyebar ke pusat-pusat kekuasaan negara/pemerintahan. Akibatnya, hampir seluruh aktivitas yang dibiayai pajak rakyat dilanda korupsi, proyek-proyek infrastruktur, hingga penyelewengan dana desa.

Situasinya semakin gawat ketika penegak hukum juga menjadi bagian dari sindikat itu. Semua bisa menyaksikan bagaimana periode awal Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong menyasar lembaga kepolisian sebagai target utama dalam memberantas korupsi. Mereka menyebutnya sebagai ‘sindikat korupsi’, saat kepolisian pada waktu itu terlibat dalam perdagangan obat bius, perjudian gelap, dan pelacuran.

Situasi di Indonesia tidak jauh berbeda di masa awal reformasi, penegakan hukum antikorupsi tumpul dan tak bertaji. Untuk merespons situasi tersebut dibentuklah KPK. Pembentukan badan antikorupsi independen tentu tidak serta merta menghentikan karut marut korupsi.
Serangan bertubi-tubi hingga hari ini masih membayangi KPK, mulai dari kriminalisasi, ancaman/serangan kepada personel KPK, hingga upaya sistemik untuk melucuti kewenangan KPK.

Efek metastatik ini membuktikan bahwa pusat-pusat kekuasaan termasuk penegak hukum memang masih menyim­pan sel-sel korupsi, sehingga ketika KPK mulai mendekati sel induknya, di saat itu juga sistem imunitas korupsi itu bekerja.

Kedua, efek perkomplotan, korupsi disebut sebagai kejahatan yang terorganisasi. Korupsi yang terjadi di pusat-pusat kekuasaan memiliki relasi ekonomi-politik dengan kelompok lain (korporasi), mereka disatukan adanya keuntungan yang diperoleh secara bersama.

Dalam skala kecil, korupsi dalam layanan administrasi warga juga menunjukkan gejala ini. Uang pelicin menjadi sarana yang paling ampuh untuk mempercepat proses birokrasi. Ada kelompok-ke­lompok tertentu di dalam dan di luar birokrasi yang mengemas seluruh proses tersebut menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak.

Ketiga, efek transmutasi. Gejala itu muncul dalam hubungannya tingkat penerimaan masyarakat terhadap pelaku korupsi. Masyarakat memandang koruptor sebagai orang yang dermawan, dielu-elukan, bahkan dianggap pahlawan. Koruptor dinilai sebagai penjahat yang berhasil.

Di Indonesia, hal serupa juga sedang terjadi, para pelaku korupsi selalu mendapat tempat yang terhormat di masyarakat. Dalam bahasa awam mereka biasa disebut sebagai korban perbuatan zalim penegak hukum, konspirasi, dst. Sehingga mereka hampir tak punya rasa malu ketika berhubungan dengan masyarakat, sehingga tidak mengherankan orang-orang tersebut justru menduduki jabatan-jabatan penting.

Keempat, efek psikosentris, korupsi secara psikologi membawa pelakunya kepada halusinasi bahwa korupsi ialah bagian dari cara untuk mendapatkan sesuatu. Dalam konteks politik, korupsi bahkan menjadi tujuan dari upa­ya memperoleh kekuasaan. Pebisnis akan memasuki dunia politik, untuk dapat mempengaruhi keputusan politik, atau setidaknya ‘membeli’ keputusan politik tersebut.

Kelima, efek klimaktis, korupsi menciptakan budaya masyarakat yang menyimpang. Ada situasi saat orang-orang yang memiliki integritas justru tidak mendapatkan jabatan, sedangkan orang-orang dengan integritas moral yang rendah justru menduduki jabatan penting.

Bahkan dalam tubuh KPK sendiri ini sudah mulai menjadi ancaman, posisi-posisi strategis dikuasai untuk sekadar mengamankan posisi tuannya. Dalam situasi yang makin genting, lingkungan sosial yang demikian itu akhirnya mematahkan semangat orang-orang yang jujur.

Keenam, efek ekonomi korupsi, tanpa disadari korupsi ialah biang kemiskinan. Korupsi tanpa disadari telah menjadi beban ekonomi masyarakat. Biaya produksi membengkak karena banyak biaya-biaya tak terduga dan liar. Akibatnya, masyarakat tidak hanya membayar harga barang, melainkan juga ikut menanggung biaya korupsi yang dilakukan pejabat publik/politik.

Daya rusak korupsi yang sedemikian rupa seharusnya mampu menyadarkan bahwa publik harusnya menjadi bagian dari gerakan moral untuk memerangi korupsi di level mana pun. Maka ketika muncul upaya untuk memperkuat impunitas koruptor, publik seharusnya menjadi pihak yang paling terancam. Jika tidak, akumulasi korupsi akan terus menjadi beban bagi masyarakat. Kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, dan ketimpangan akan terus terjadi karena efek korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar