New
Normal
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 26
Januari 2017
Tanpa
banyak disadari, cara kita mengemudi kendaraan sekarang sudah berbeda dengan
dulu. Dulu kita wajib memanaskan mesin beberapa menit, baru bisa jalan.
Sekarang
sebelum jalan kita hidupkan aplikasi Waze atau Google Maps, lalu ketik
tujuan. Dari kedua aplikasi tersebut kita bukan saja mendapat panduan untuk
mencapai tujuan, tetapi juga bisa memantau kondisi arus lalu lintas di
jalan-jalan yang bakal kita lalui. Di Waze, kalau ada ruas jalan yang
diwarnai kuning atau oranye, itu artinya masih ramlan alias ramai lancar.
Kalau merah itu berarti pamer atau padat merayap. Kalau merah gelap itu
berarti, maaf, pamer paha atau padat merayap tanpa harapan.
Dengan
bantuan Waze atau Google Maps, kita bisa memilih jalur-jalur mana saja yang
tidak macet. Bahkan sampai ke jalan-jalan alternatif atau jalan tikus. Kalau
dulu mana ada? Kita baru sibuk mencari jalan alternatif setelah terjebak
kemacetan. Kalau di jalan tol? Mungkin kita hanya bisa pasrah, berlatih
kesabaran. Kadang geram.
Kian Melambat
Waze
atau Google Maps adalah dua dari beberapa aplikasi berbasis teknologi yang
kita gunakan dalam menghadapi era “normal baru” atau “new normal“ di
jalan-jalan raya. Apa maksudnya? Iya, jalan-jalan raya di banyak negara
sekarang sudah berada dalam kondisi new normal. Apakah itu di Jakarta, New
York, atau Paris. Sama saja. Bukannya semakin lancar, tetapi semakin macet.
Ini membuat perjalanan kita menjadi semakin lambat, dan lama.
Kalau
dulu mungkin hanya butuh satu jam, kini kita harus mengalokasikan waktu
setidak-tidaknya dua jam. Bahkan lebih! Coba saja jalan dari Jakarta ke
Bandung. Tak ada lagi yang bisa ditempuh dua-tiga jam. Bukankah ini persis
dengan kondisi perekonomian kita? Juga perekonomian dunia. Negara kita juga
kena dampaknya. Sejak 2013 dunia dan negara kita mulai memasuki era
pertumbuhan yang kian melambat.
Sebelum
tahun itu kita masih sanggup tumbuh di atas 6%. Ibarat ikan mati, siapa pun
yang berada di atasnya akan terkayuh ke tempat yang jauh. Namun, memasuki
2013 perekonomian kita hanya tumbuh 5,78% dan terus menurun. Sampai 2015
ekonomi kita hanya tumbuh 4,79%. Bagaimana untuk tahun 2016? Mungkin hanya di
kisaran 5%. Sekarang ini rasanya nyaris mustahil mendorong pertumbuhan
ekonomi hingga mencapai di atas 7%. Tapi jangan khawatir, kita masih di
antara negara-negara yang luar biasa.
Mari
tengok kondisi perekonomian dunia. IMF memperkirakan tahun 2016 hanya tumbuh
3,2%. Jadi begitulah, selamat datang di era new normal. Sejak sekarang kita
harus mulai membiasakan diri hidup dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tak seramah dulu lagi. Jadi kita, dan perekonomian dunia, bisa saja
terjerembap dan masuk dalam era new normal? Anda tentu masih ingat dengan krisis
Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat (AS) pada 2007.
Krisis
itu bukan hanya menghancurkan industri properti di negara itu, tetapi juga
menyeret lembaga pembiayaan dan bank-bank investasi, seperti Fannie Mae atau
Fredie Mac, bahkan Lehman Brothers. (Anda bisa menyaksikan krisis ini dalam
film mengasyikkan yang berjudul Too Big
to Fail.) Seperti pusaran air, krisis yang berpusat di AS itu akhirnya
menyeret ekonomi dunia ke dalamnya.
Perekonomian
dunia jadi lesu. Krisis melanda Eropa, bahkan menyeret China—yang selama
beberapa tahun terakhir menjadi mesin penggerak perekonomian dunia. Pada
tahun-tahun itu, ekonomi China—dan juga India (keduanya dikenal dengan
fenomena Chindia), masih sanggup tumbuh di atas 8%. Kini ekonomi China hanya
bisa tumbuh pada kisaran 6%. Lesunya perekonomian dunia jelas menurunkan
tingkat permintaan global. Anda tahu hukum supply & demand, bukan? Begitu
permintaan turun, harga-harga ikut turun.
Harga
minyak dan gas turun. Harga batubara anjlok. Begitu pula dengan hargaharga
komoditas lain seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet.
Era new normal juga ditandai oleh munculnya sejumlah ketidakpastian baru. Di
mana-mana ancaman terorisme menguat. Lalu, isu nasionalisme juga ikut
menguat, sebagaimana ditandai oleh keluarnya Inggris dari Uni Eropa (fenomena
Brexit) dan yang paling akhir adalah terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden ke-45 AS.
Berani Berubah
Sekali
lagi, sebenarnya beberapa tahun belakangan kita sudah hidup dalam era new
normal. Ini ditandai oleh beberapa hal. Pertama, penurunan harga
BBM—sebagaiimbasmenurunnya harga minyak dunia. Pada 1 April 2016 pemerintah
menurunkan harga BBM bersubsidi, premium, dari Rp6.950 per liter menjadi
Rp6.450 dan solar dari Rp5.650 ke Rp5.150 per liter. Kedua, biaya
transportasi kita juga turun, karena hadirnya perusahaan-perusahaan aplikasi.
Kalau
biasanya kita naik taksi bisa habis Rp200.000 sekali jalan, kini tinggal
separuhnya. Semua masih ditambah dengan cara pemesanannya yang semakin mudah.
Hanya modal jempol. Bersyukurlah pada smartphone. Kalau ada sisi yang
menyenangkan, pasti ada yang sebaliknya. Betul sekali. Sekarang coba tanyakan
kepada para eksekutif yang menangani urusan sales & marketing di
perusahaan- perusahaan konvensional.
Pasti
isinya banyak keluhan. Susah sekali mencari meningkatkan penjualan. Pangsa
pasar terus menyusut, order baru tak kunjung datang, dan sebagainya. Banyak
incumbent yang bisnisnya tergerus perubahan dan akhirnya hanya bisa mengeluh.
Ekonomi lagi sulit. Bisnis tidak berkembang. Mencari lapangan kerja susahnya
minta ampun. Tapi, fenomena semacam itu tidak dialami oleh perusahaan-perusahaan
yang berbasis teknologi. Lihat saja, pasar e-commerce kita terus tumbuh.
Sepanjang
2012- 2015, misalnya, pasar e-commerce kita tumbuh lebih dari 40%. Kita, dan
terutama anak- anak kita, kini semakin akrab saja dengan Lazada atau Zalora.
Kita juga semakin akrab dengan Go-Jek atau Grab, Uber, dan Airbnb. Pesan ojek
semakin mudah. Cari kendaraan kian gampang. Pesan hotel atau penginapan
apalagi. Pangsa pasar bisnis ini terus tumbuh, meski mendapat serangan kiri
dan kanan dari para pesaing—dan bahkan dari regulator. Betul, tata kelola
bisnis ini masih menyisakan sejumlah masalah.
Maklum
ini bisnis-bisnis yang relatif baru sehingga belum banyak orang yang mengerti
aturan mainnya. Tapi, menurut saya, ini hanya soal waktu. Apa yang mau saya
sampaikan adalah teknologi sebetulnya mampu membantu kita, termasuk untuk
perusahaan-perusahaan konvensional, dalam menghadapi era new normal yang, itu
tadi, penuh dengan ketidakpastian. Ia membantu kita menemukan jalan-jalan
alternatif. Persis seperti Waze atau Google Maps yang membantu kita menemukan
jalan-jalan mana yang macet dan yang tidak macet.
Hanya,
ada syaratnya, yakni Anda mesti berani men-disrupsi bisnis-bisnis Anda.
Berani meninggalkan cara-cara bisnis lama dan masuk ke cara-cara bisnis baru.
Bahkan harus berani meninggalkan bisnis-bisnis lama dan masuk ke
bisnis-bisnis baru. Misalnya kalau dulu bisnis Anda begitu mengagung-agungkan
kepemilikan (owning). Sekarang
lupakan! (Saya heran, kita punya banyak ribuan pulau yang kosong dan
menganggur, tetapi begitu mau disewakan ke orang lain ributnya setengah
mati.) Semua tidak perlu dimiliki sendiri. Ini eranya sharing dan empowering.
Ini eranya berbagi dan memberdayakan.
Beranikah
Anda? Kalau Anda gamang, saya maklum. Tapi, itulah kenyataan yang harus kita
hadapi. Kita tak punya pilihan untuk menghindar. Ini era new normal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar