Homo
Digitalis
F Budi Hardiman ; Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara
|
KOMPAS,
01 Maret
2018
Di awal modernitas Thomas
Hobbes menerbitkan Leviathan (1651), buku yang mencoba menawarkan cara
mengatasi kekacauan sosial. Dibayangkannya keadaan sebelum berdirinya negara
atau apa yang lalu dikenal dengan istilah state of nature.
Dalam keadaan seperti itu
kebebasan setiap orang merupakan ancaman kebebasan setiap orang lainnya,
sehingga praktis meniadakan kebebasan itu. Di awal modernitas Thomas Hobbes
menerbitkan Leviathan (1651), buku yang mencoba menawarkan cara mengatasi
kekacauan sosial. Dibayangkannya keadaan sebelum berdirinya negara atau apa
yang lalu dikenal dengan istilah state of nature. Dalam keadaan seperti itu
kebebasan setiap orang merupakan ancaman kebebasan setiap orang lainnya,
sehingga praktis meni- adakan kebebasan itu.
“ Dalam kondisi itu, “
demikian Hobbes, “Kehidupan bersama
manusia tidak hanya menyedihkan, melainkan juga sangat berat”. Hobbes lalu
menawarkan sebuah solusi untuk mengakhiri keadaan nestapa itu. Setiap orang
menyerahkan hak untuk melakukan segalanya kepada suatu pihak – sebutlah primus inter pares, asalkan setiap orang
lain juga menyerahkan yang sama kepadanya. Pihak itulah yang disebut negara.
Hanya dialah yang berhak menggunakan kekerasan kepada yang lain. Berkat
monopoli pemakaian kekerasan ini negara hukum menikmati perdamaian internal.
Ancaman hukum telah memaksa warga untuk mengendalikan diri dan memberi respek
satu sama lain. Negara memberadabkan manusia.
Manusia
era digital
Dewasa ini, di senja kala
modernitas, keadaan telah berubah sangat drastis. Negara hukum tetap berdiri
tegak dan kelihatannya kokoh, tetapi perubahan yang sangat cepat sedang
menggerogoti raksasa buatan manusia ini dari dalam. Tidak ada darah yang
tumpah, tak ada bau mesiu. Yang terjadi adalah suatu pandemi hoaks dengan
plintiran kebencian yang memicu konflik horizontal. Demagogi rasis dan orasi
kebencian kepada agama lain, seperti dalam pilkada Jakarta, dilolongkan
kencang-kencang dari revolusi digital yang hanya kelihatannya senyap itu.
Dari klik pada gawai dipiculah kekacauan baru, digital state of nature.
Di dalam perubahan drastis
itu, perlulah kita melontarkan pertanyaan di atas. Dahulu dalam masyarakat
pra-digital Aristoteles menyebut manusia zoon logon echon, makhluk pemakai
bahasa. Waktu itu penutur hadir ragawi bagi pendengar. Di era digital
keduanya “telepresen”. Manusia hanyalah sebuah komponen sistem media
komunikasi. Ia tampaknya memakai media, tetapi sebenarnya ia sendiri adalah
media komunikasi, karena dalam sebuah jejaring anonim komunikasi digital
manusia hanyalah penyalur pesan. Makhluk yang dikendalikan media, berfungsi
sebagai media, dan mengadaptasi iklim teknologi digital ini boleh kita sebut
homo digitalis.
Homo digitalis bukan
sekadar pengguna gawai. Ia bereksistensi lewat gawai. Eksistensinya
ditentukan oleh tindakan digital, yakni: uploading (mengunggah), chatting
(ngobrol), posting (mengirim), dan seterusnya. Dengannya ia berbagi atau pamer untuk
kebutuhan akan pengakuan. Meniru istilah Heidegger, dia adalah
Being-in-the-www. Kelahirannya ke panggung sejarah dimungkinkan oleh
teknologi. Dia semula pengguna gawai, tetapi ketika jejaring komunikasi
digital menjadi dunia tersendiri yang beroperasi lepas dari para pencetusnya,
ia juga digunakan oleh komunikasi digital untuk tujuan-tujuan yang tidak di
bawah kendalinya. Karena itu, ‘masyarakat’ tidak terdiri atas orang-orang,
karena orang-orang tidak lagi mengendalikan komunikasi, melainkan mengendalikan
sekaligus dikendalikan.
Dalam sebuah jejaring
komunikasi digital masyarakat terdiri
atas pesan-pesan anonim yang terus beredar. Kita ikut bermain dalam merakit
realitas artifisial dunia digital.
Dulu, di zaman Hobbes dan para modernis, masyarakat itu satu:
masyarakat korporeal yang terdiri atas orang-orang.
Di era digital manusia
hidup juga dengan masyarakat tambahan berupa digital beings, seperti: grup
Whatsapp, Twitter, Facebook, Instagram, dan sebagainya. Inilah era ketika
pesan lebih penting daripada pengirimnya. Di dalam masyarakat digital bukan
orang-orang yang berkomunikasi, melainkan komunikasi berkomunikasi dengan
komunikasi, karena sirkulasi pesan-pesan bukan hanya lepas dari para
pencetusnya, melainkan juga mengendalikan mereka.
Kebebasan
dan brutalitas
Sebagaimana revolusi lain,
revolusi digital melepaskan orang dari belenggu tatanan lama dan meraih
kebebasan baru. Kebebasan digital dinikmati homo digitalis bagai Paris bagi
para tahanan yang dilepaskan dari Bastille. Kendali dan pengawasan moral yang
membatasi dan mendisiplinkan komunikasi korporeal diabaikan. Kebebasan
melambung sampai pada kebebasan untuk membenci penganut agama lain.
Homo digitalis mendapati
dirinya seolah dalam dunia baru tanpa negara, digital state of nature. Dalam
keadaan itu adil dan tidak adil tidak dikenali. Setiap orang menjadi hakim
dan bahkan tuhan atas yang lain. Kecanggihan gawai membuat pengguna gawai
tidak cepat menyadari dirinya telah ikut menghasilkan brutalitas lewat
pesan-pesannya. Homo digitalis menjelma menjadi homo brutalis.
Dalam ruang digital tidak
ada urutan zaman, status sosial, hierarki nilai. Yang privat itu publik, yang
publik itu privat. Satu atau banyak sulit diputuskan karena tiap pengguna
media sosial bisa memiliki ribuan pemirsa. Naik hierarki digital hanya sejauh
satu klik, asalkan provokatif. Menyendiri dan berkerumun sulit dibedakan
karena kerumunan berceloteh dalam gawai di genggaman seorang, juga ketika ia sendirian.
Sensasi, bukan rasionalisasi, menjadi asas kreativitas. Tahayul menjadi masuk
akal, asalkan sensasional. Sentimentalisasi publik mulai dari bilik yang
paling intim. Hal-hal privat, seperti agama, ras, bahkan seks, menjadi
stereotip untuk membelah bangsa ke dalam kawan dan lawan.
Di era digital ini
radikalisme dipupuk dari gawai para peternak massa tanpa demagogi di
auditorium. Setiap gawai bisa menjadi ruang indoktrinasi ‘kebahlulan suci’
yang merusak persatuan. Kafir mengafirkan
diviralkan lewat keisengan tangan yang gagal memukul balik di suatu
hari. Penjelasan untuk hal itu tidak kedaluwarsa: asap hitam penuh kebencian membubung dari
tungku hati yang dinyalakan terus oleh ketimpangan sosial dan defisit harga
diri. Kebiadaban baru yang berseliweran
di ruang digital itu tentu menggema ke dalam demokrasi.
Kebencian dan prasangka
yang berinkubasi dan terus dipupuk dengan pelintiran logika pasca kebenaran
menginfeksi organisme sosial. Pentolan tidak perlu lagi menyebar plakat
subversif ataupun mengundang massa ke lapangan. Lewat satu klik tindakan
digital sambil menyeruput kopi di warteg, mob terbentuk, provokasi diberikan,
aksi massa dilancarkan untuk sabotase pemilu, menghentikan ibadah agama lain,
atau melakukan persekusi. Betapa mudahnya di era hoaks ini untuk melakukan
subversi atas demokrasi dan menggerogoti negara hukum dari dalam.
Menata
komunikasi
Bagaimana mengatasi
digital state of nature? Bayangkan leviathan yang mengawasi dan menghapus
semua hoaks. Otoritas penyaring itu dibutuhkan. Pemecahan Hobbesian ini
mujarab hanya jika dilaksanakan tanpa monopoli atas kebenaran. Otoritas itu
tidak mendominasi semua, melainkan mengawasi batas kebebasan komunikasi.
Kebebasan komunikasi menemui batasnya dalam penggunaan kekerasan verbal.
Batas inilah yang harus disingkirkan agar kebebasan komunikasi makin besar.
Jadi, otoritas yang intoleran terhadap intoleransi dibutuhkan justru untuk
menjamin kebebasan komunikasi.
Kebiadaban baru di ruang digital adalah kekacauan komunikasi.
Harus ada penataan
komunikasi juga yang diupayakan secara demokratis. Pertama, juridifikasi
interaksi digital, yakni: legislasi undang-undang yang makin rinci untuk
menata ruang digital.
Kedua, moralisasi ruang
digital, yakni: menyusun etika komunikasi digital. Di dalamnya golden rule
diterapkan dalam interaksi digital. Pengirim pesan hendaknya memperlakukan
penerima pesan seperti ia ingin diperlakukan. Dari sini asas-asas dasar
etika, seperti: keadilan, kehendak baik, respek pada person, juga dirinci.
Ketiga, solidarisasi
jejaring komunitas-komunitas digital untuk melakukan strategi debunking
secara komprehensif dan terus menerus terhadap hoaks. Akhirnya, homo digitalis adalah makhluk
moral yang mencari kebenaran dan keadilan lewat komunikasi digital. Dia mudah
terluka, juga oleh kata-kata. Hoaks bersumber dari kerapuhan hati sebagai
jalan masuk bagi yang jahat.
Alih-alih lewat dusta
seharusnya hati diutuhkan lewat bela rasa terhadap yang lain dalam ketulusan.
Dalam telepresensi bela rasa menjadi mungkin dengan membayangkan wajah-wajah
konkret, bukan sekadar pesan-pesan anonim. Dengan berkurangnya alienasi,
komunikasi digital makin berpeluang untuk menjadi manusiawi. ●
|
Prediksi Bola Jitu 100% untuk Liga Champion.
BalasHapusBingungkan mau ikut Prediksi Bola Siapa yang akurat?
Dicoba saja dari hasilbola.vip
Kami berani JAMIN, Bakal ada masuk dana direkening anda.
Berikut Prediksi Bola yang barusan Update Hangat.
Prediksi Bola Atalanta vs Manchester City 07 November 2019
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/2867/atalanta-vs-manchester-city-07-november-2019/
Prediksi Bola Lokomotiv Moscow vs Juventus 07 November 2019
https://hasilbola.vip/prediksi-sepakbola/baca/2863/lokomotiv-moscow-vs-juventus-07-november-2019/
Saya akan berikan Bonus Tips Prediksi Bola Akurat Silakan di coba langsung
Terima Kasih bagi yang menyukai komentar saya
artikel yang sangat berkualiatas...
BalasHapus