Senin, 09 April 2018

Indonesia 2045

Indonesia 2045
Salahuddin Wahid  ;   Pengasuh Pesantren Tebuireng
                                                         KOMPAS, 07 April 2018



                                                           
Media sosial menyebarluaskan potongan pidato Prabowo Subianto yang menyatakan para ahli di luar negeri memperkira -kan Indonesia mungkin bubar pada 2030.  Apa yang dikemukakan Prabowo itu berdasar novel berjudul Ghost Fleet karya Peter Warren Singer dan August Cole.

Langsung saja, masyarakat menanggapi pidato itu, yang umumnya bersifat negatif. Mereka mengatakan Prabowo adalah pemimpin yang pesimistis, bertolak belakang dengan Joko Widodo (Jokowi) yang optimistis. Pendukung Prabowo dan sejumlah pihak netral menyatakan bahwa pidato Prabowo itu adalah peringatan supaya kita waspada terhadap potensi negatif itu.

Mau tak mau kita teringat pada situasi 1998 ketika kita dilanda krisis multidimensi. Saat itu warga Aceh dan Papua amat kuat memperjuangkan supaya dua wilayah itu lepas dari Republik Indonesia (RI). Warga Riau  juga menyuarakan aspirasi sama. Saat itu banyak orang menduga Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara. Alhamdulillah kini kita masih tetap bersatu sebagai bangsa, dengan Timor Timur kembali di luar RI.  Masalah Aceh sudah diselesaikan pada 2005 lewat Perjanjian Helsinki. Papua masih penuh masalah, Alhamdulillah diberi perhatian penuh Presiden Jokowi.

Berkaca pada negara lain

Pada abad XX, disintegrasi terjadi di sejumlah negara yaitu Swedia-Norwegia (1905), Inggris-Irlandia (1922), Otoman -Turki (1923), Denmark-Eslandia (1944), Korea Utara-Korea Selatan (1950), Jerman Barat-Jerman Timur (1945), Mali-Senegal (1960), Malaysia-Singapura (1965), Pakistan-Bangladesh (1971), Uni Soviet (1990), Yugoslavia (1991), Ethiopia- Eritrea (1993), dan Cekoslowakia (1993).  Pemisahan Sudan Selatan dari Sudan adalah kasus pertama pada abad XXI.

Ada kasus yang menarik yaitu penggabungan Mesir dan Suriah dengan nama Republik Persatuan Arab pada 1958, lalu diikuti Yaman,  tetapi tidak berhasil. Yang paling menarik adalah unifikasi atau penggabungan Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi Jerman pada 1989 dan kini menjadi negara terkuat di Eropa. Saat ini di dunia tak banyak negara yang berusia di atas 100 tahun, sekitar 40-an. Negara yang mencapai usia 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnis tinggi (51-100 persen) dan tingkat homogenitas agama tinggi (51-100 persen) yaitu Portugal, Jepang, Haiti, Dominika, Italia, Kolombia, Brasil, Kostarika, Yunani, Hongaria, Venezuela, Cile, Paraguay, Luksemburg, Honduras, El Salvador, Nikaragua, Uruguay, Rumania, Perancis, Panama, Meksiko, Argentina, Swedia, Denmark, Spanyol.

Ada sembilan negara berusia di atas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik kurang dari 50 persen tetapi homogenitas agamanya lebih dari 50 persen, yaitu Belgia, Peru, Guatemala, Ekuador, Thailand, Bolivia, Nepal, Amerika Serikat (AS), dan Liberia. Kalau berusia 100 tahun, Indonesia akan berada di dalam kelompok ini, dengan tingkat homogenitas etnis sekitar 30 persen dan tingkat homogenitas agama 88 persen. Negara berusia lebih dari 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik lebih dari 50 persen dan tingkat homogenitas agama kurang dari 50 persen adalah Belanda dan Inggris. Negara berusia di atas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik kurang dari 50 persen dan tingkat homogenitas agama kurang dari 50 persen adalah Swiss.

Mencapai usia 100 tahun bagi suatu negara bukanlah hal mudah. Banyak yang usianya mencapai 100 tahun tetapi rakyatnya tak sejahtera dan negaranya tak demokratis. Contohnya Haiti dan Nepal. Yang betul-betul sejahtera, maju dan menjadi kekuatan terbesar dunia ialah AS yang selama beberapa belas tahun terakhir mengalami kesulitan dan kemunduran.

Kekuatan besar ekonomi

PricewaterhouseCoopers (PwC) membuat proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) sejumlah negara pada 2030. Urutan 10 besar adalah China (38 triliun dollar AS), AS (23,5 triliun dollar AS); India (19,5 triliun dollar AS); Jepang (5,6 triliun dollar AS); Indonesia (5,4 triliun dollar AS); Rusia (4,7 triliun dollar AS); Brasil (4,4 triliun dollar AS); Jerman (4,7 triliun dollar AS); Meksiko (3,7 triliun dollar AS) dan Inggris (3,6 triliun dollar AS).

Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyampaikan pengumuman tentang proyeksi Mc Kinsey yang mendekati proyeksi PwC. Ada sejumlah lembaga lain yang melakukan kegiatan serupa. Untuk Indonesia, ada yang hasilnya mendekati hasil PwC di atas, tetapi ada yang tidak. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) di Wikipedia, mengungkap, pada 2030 PDB Indonesia berada pada posisi kesembilan dengan angka 2,45 triliun dollar AS, tetapi pada 2050 berada pada posisi keempat dengan angka 7,3 triliun dollar AS.

Dari besaran ekonomi, jelas Indonesia mengalami peningkatan berarti, dan itu adalah potensi  pasar yang amat menjanjikan bagi pengusaha dari negara lain. Tetapi yang menjadi masalah sejak awal adalah bahwa jumlah uang beredar di Indonesia, 70 persen beredar di Jakarta.

Kesenjangan antara segelintir orang dengan jumlah terbesar penduduk Indonesia masih jauh. Jumlah uang beredar di Indonesia tidak banyak berbeda dengan di Malaysia dan Singapura, padahal jumlah penduduk kita berkali-kali lipat. Jumlah uang beredar per kapita di Indonesia amat kecil dibanding kedua negara itu.

Adanya sejumlah perusahaan menguasai jutaan hektar lahan perkebunan, menurut saya bertentangan dengan sila keadilan sosial. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta Pemerintah menyelesaikan masalah itu. Pemerintah pernah berjanji mewujudkan gagasan reforma agraria yang sudah dilontarkan oleh Presiden SBY. Kita berharap pemerintah segera melakukannya. Penerbitan sertifikat tanah rakyat oleh pemerintahan Jokowi amat berarti bagi masyarakat.

Generasi emas

Kita mendengar ada tokoh/pemimpin mengemukakan istilah “generasi emas”. Kalau tujuannya untuk membangkitkan semangat, tidak jadi masalah tetapi harus berpijak pada kenyataan.  Perlu disadari bahwa banyak tantangan yang harus kita atasi untuk bisa memanfaatkan bonus demografi untuk bisa mewujudkan  “generasi emas”. Sejumlah tantangan bisa kita sebutkan yaitu gizi buruk, narkoba, rokok, pendidikan yang buruk akibat mutu guru yang kurang baik, karakter bangsa yang kurang mendukung,  minimnya kejujuran di kalangan pelajar dan mahasiswa, kekerasan terhadap anak, pernikahan dini.

Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia adalah penderita stunting (sekitar 35,6 persen). Sebanyak 18,5 persen termasuk bertubuh sangat pendek dan 17,1 persen termasuk anak pendek. Batas tolerasi stunting menurut WHO adalah 20 persen. Anak yang mengalami gizi buruk sampai 1.000 hari pertama kehidupannya akan menjadi anak yang fisiknya lemah dan otaknya kosong. Tidak diketahui pasti seberapa banyak jumlah penderita gizi buruk di Indonesia seperti yang dialami di Asmat beberapa bulan lalu. World Nutrition Report 2014 menyatakan, 5 persen rakyat menderita gizi buruk. Di sekitar Tebuireng angkanya jauh di bawah itu.

Ancaman narkoba makin hari makin meningkat. Jumlah korban juga makin banyak. Penyelundupan narkoba dari China makin menggila dan tampaknya kita kurang siap menghadapinya. Kondisinya betul-betul sudah darurat. Kita seperti sudah kehilangan akal untuk menghadapi ancaman narkoba. Jumlah perokok di Indonesia adalah yang ketiga terbesar setelah China dan India, mencapai 35 persen dari jumlah penduduk. Perokok muda semakin bertambah, usia mulai merokok makin muda. Masyarakat ekonomi lemah menyisihkan dana yang cukup besar untuk membeli rokok sehingga gizi keluarga terabaikan. Legislatif dan eksekutif  kita ramah terhadap industri rokok.

Pendidikan yang menjadi dasar dari semua kegiatan bangsa di masa depan, ternyata tidak menggembirakan. Mutu pendidikan kita secara internasional amat rendah, bahkan untuk ASEAN kita ada di peringkat tengah sudah terbalap oleh Vietnam. Angka rata-rata secara nasional untuk matematika, di bawah angka 50. Dalam sebuah tes, sekitar separuh siswa tidak bisa menangkap dengan baik isi naskah bahasa Indonesia. Guru mata pelajaran tidak menguasai dengan baik materi mata pelajaran itu dan kurang menguasai cara mengajar yang baik. Sekitar sepertiga guru tidak memenuhi syarat. Pendidikan agama lebih merupakan transfer ilmu agama dari pada pembentukan sikap keberagamaan.

Sebuah survei Kompas pada 2017 mengungkap, menurut 42,8 persen responden masalah terbesar bangsa Indonesia ialah korupsi, 17,7 persen responden penegakan hukum, 12,9% responden kemiskinan dan 10 persen responden ialah masalah SARA. Survei lain oleh Kompasmengungkap perilaku bohong seperti plagiat, korupsi, suap dalam masyarakat dianggap sangat parah oleh 50,7 persen responden dan dianggap parah oleh 43,1 persen. Dalam survei yang sama, 74,9 persen responden menganggap korupsi dan suap dipicu oleh kebiasaan berbohong. Survei lain oleh Kompas pada 2017 menyatakan pelajar/mahasiswa yang selalu jujur mencapai 2,3 persen, sering jujur 7,5 persen, kadang jujur 50,5 persen, sering bohong 30,8 persen, dan selalu bohong 5,8 persen.

Dengan sekian hambatan di atas, kita memahami, mewujudkan 100 tahun kemerdekaan yang kita impikan sebagai seabad keemasan bukanlah hal mudah. Insya Allah kita masih akan tetap menjadi satu bangsa Indonesia, tetapi masyarakat adil makmur untuk seluruh rakyat Indonesia belum tentu bisa kita wujudkan. Perlu keberanian dan keteguhan sikap pemimpin untuk memperbaiki banyak kebijakan  yang tak sesuai dengan Pancasila dan juga mewujudkan keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Hak-hak dasar rakyat harus dijamin pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar