Rabu, 11 April 2018

Tragedi Manusia Berkebudayaan Plastik

Tragedi Manusia Berkebudayaan Plastik
Riduan Situmorang  ;  Aktif berkebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF)
                                                   KORAN SINDO, 07 April 2018



                                                           
Di Jerman, kami pernah menampilkan sebuah teater dengan beragam plastik dibuat sebagai latar belakangnya. Meski sebagai latar belakang, plastik itu menjadi tema utama.

Kami mencoba menghimpun kekuatan bahwa musuh orang-orang yang berada dalam gedung pertunjukan itu (mulai dari penonton hingga pemain) adalah plastik. Kami “memprovokasi” agar seluruh manusia memusuhi plastik. Mengapa? Karena plastik itu sampah abadi. Tas kresek, misalnya, akan terurai pada kurun waktu 10- 20 tahun. Sendok plastik sekitar 100 tahun ke atas.

Bahkan botol plastik konon tak akan terurai. Memahami itu, men jadi sangat menge rikan jika membayangkan betapa tiap hari kita membuang sampah plastik. Apalagi konon dalam sebuah rilisnya, Time pernah mengangkat sebuah analisis bahwa plastik tidak hanya akan sulit terurai, tetapi juga akan merusak perairan dan me nimbulkan bibit penyakit.

Artinya, jika sedang membawa plastik, pada saat itu kita juga sebenarnya sedang menimbun sampah abadi dan menabung bibit penyakit di sekitar kita. Ironisnya, saban hari plastik menjadi keseharian dan rutinitas kita. Tiada hari tanpa plastik. Pergi ke mal dengan tangan kosong, pulangnya pasti sudah membawa plastik. Pergi ke pertemuan, pulangnya membawa botol-botol plastik. Akibat hal ini, saya jadi berimajinasi liar: ke depan, jika anak-cucu kita menjadi arkeolog, satu-satunya yang mereka gali adalah timbunan sampah plastik.

Imajinasi Liar

Padahal arkeolog kita saat ini banyak menemukan harta karun, menemukan Boro budur, dan menemukan jejak-jejak kesempurnaan masa silam. Saya juga membayangkan, jika anak-cucu kita jadi petani, tanah yang mereka gali pun hanya timbunan plastik. Mereka tak bisa bertani lagi. Tanah sudah rusak.

Kemana mereka ber tani? Ke mana mereka mencari nasi? Jika mereka menjadi nelayan, jala mereka pun akan selalu tersangkut plastik. Besar kemungkinan, ikannya juga sudah menjadi ikan-ikan kerdil karena memakan plastik. Ya, imajinasi ini memang sangat liar, malah terkesan mengada-ada. Namun, saya tegaskan, ini bukan imajinasi tanpa alasan dan pijakan il miah.

Pada 2015 lalu, Jurnal Science setidaknya sudah me n catat bahwa sebanyak 12,7 juta ton plastik dibuang ke laut tiap tahunnya. Indonesia sen diri berada pada pering kat kedua. Bayangkan, plastik ini akan menjadi sampah abadi di laut an. Laut akan tercemar. Ikan terdampak penyakit. Bahkan, seperti di simpulkan LIPI, ikan teri saja su dah memakan sisasisa plas tik.

Ini terjadi karena ada plas tik yang terurai hingga ukuran 0,2 mm. Inilah yang sudah di konsumsi ikan teri. Bayang kanlah, ikan teri di piring kita sudah memakan plastik. Kelak, anak-cucu kita juga akan ikut “mengonsumsi” plastik. Sa ngat mengerikan! Mereka akan menjadi generasi-generasi berpenyakitan. Ini akibat ulah kita yang doyan plastik.

Keseharian kita bergelimang plastik: di kamar tidur, di kebun, di kamar mandi, di ruang pertemuan, juga di ruang ibadah. Mari memeriksa hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017. Pada survei itu disebutkan bahwa hanya 9,29% rumah tangga saja yang selalu membawa tas sendiri k etika belanja, tidak sampai sepersepuluh.

Padahal, pada mereka yang tak membawa tas belanja dapat dipastikan, se pulang dari belanja, plastik akan dibuat menjadi “oleh-oleh” wajib. Ini belum dihitung dengan berapa kali masyarakat belanja dalam sehari. Ini juga bahkan belum dihitung dengan semua jenis makanan ringan yang di kemas dalam bentuk plastik. Jika ini sudah dihitung, tak terelakkan lagi, plastik akan semakin membludak.

Efek tu runannya, tak dapat dimungki ri lagi, sampah “abadi” akan menggunung, tanah tercemar, air terdampak, dan sebagainya, dan sebagainya. Entah sampai kapan ini berakhir. Dan, maafmaaf saja, saya harus mengata kannya dengan sangat jujur bahwa dengan posisi regulasi saat ini, kebiasaan ini tidak akan berakhir.

Sama sekali tidak akan berakhir. Rakyat akan tetap gemar menggunakan plas tik. Pengusaha juga akan nyaman, bahkan menyaman kan diri untuk selalu menggunakan plastik. Ini sudah terbukti. Kita masih ingat ketika pemerintah mengujicobakan kebi jakan plastik-berbayar. Saat itu ha silnya gemilang.

Asosiasi Peng usaha Ritel Indonesia (Aprin do) mencatat penggunaan plas tik langsung berkurang drastis hingga 30%. Ma sa lahnya, menurut Aprindo, perusahaan dan toko mengalami perlam batan pertumbuhan. Aprindo lan tas kembali menggratiskan plastik. Dampaknya, tolehlah ke sekeliling, kita kem bali ke rutinitas: berangkat tanpa tas belanja, pulangnya mem bawa kantong plastik.

Maaf, tulisan ini ba rangkali terlalu pesimistis bahwa kebiasaan ini tidak akan berhenti. Pasalnya, bagaimana kita akan tetap optimistis jika tak ada kebijakan yang dibuat? Bagai mana pula kita akan tetap opti mistis jika setelah di buat ke bijakan, hasilnya nyata-nyata gemilang segemilang-ge mi lang nya, tetapi kebi jakan itu malah di men tahkan sementah-men tah nya di tengah jalan? Ibaratnya, kita sudah berjalan pada rel yang be nar. Namun hanya karena jalannya agak me nan jak, kita memilih jalan datar yang lurus, tetapi tak diketahui ke mana ujungnya.

Pelecut Kesadaran

Saya sangat menyesal ketika pemerintah kembali meng izinkan Aprindo menarik kebijakan plastik berbayar. Pemerintah semestinya mengambil posisi sebagai pihak yang berpikir visioner bahwa plastik itu sampah abadi. Pemerintah harusnya mengambil peran sebagai pelecut kesadaran, bukan pemanja masyarakat. Bagaimanapun kesadaran itu sangat sukar tumbuh. Seseorang bisa saja sudah sadar agar berhemat plastik.

Namun, ketika seseorang itu melihat orang gemar memakai plastik, kesadaran orang tersebut akan goyah. Ini sudah saya rasakan. Saya tak pernah membuang sampah sembarangan selama di Eropa karena saya melihat, tak satu pun orang membuang sampah sembarangan. Sepulang dari Eropa, seminggu dua minggu, saya juga sangat patuh lalu lintas.

Namun, ketika orang lain saling serobot, saya malah ikutikutan serobot-serobot. Kesadaran saya goyah karena ketidak sadaran orang lain. Intinya, kesadaran itu bisa di bentuk. Cara membentuknya bisa dengan mengondisikan, bisa pula dengan “memaksa”. Hukum menjadi salah satu alat “me maksa“.

Bayangkan jika negara tanpa hukum yang “me maksa”, pasti umat akan saling membantai. Hukum itu, mi sal nya, bisa dengan menerapkan plastik ber bayar. Hukum ini bisa disertai dengan edukasi ber ke sinambungan. Dengan “paksaan” dan edukasi, ke sa da ran akan gampang dibentuk. Inggris, misalnya, mendadak sadar karena mereka “di paksa” hukum.

Hasilnya, da lam tem po delapan bulan sejak hu kum diber lakukan, penggunaan plastik menurun drastis: 85%. Yang teramat penting, semoga pemerintah mengambil posisi sebagai pelecut kesadar an warganya.

Andai tidak, saya tak bisa menghentikan imajinasi liar saya bahwa ke depan, jika anak cucu kita menggali tanah layaknya arkeolog, mereka akan jatuh pada simpulan bahwa kita (nenek moyangnya) adalah manusia yang hanya bisa memproduksi plastik. Mereka juga akan jatuh pada tesis bahwa kebudayaan kita adalah kebudayaan plastik. Oh ! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar