Kontroversi
Kasus Bendera Negara
Yusril Ihza Mahendra ;
Praktisi Hukum;
Mantan Menteri Hukum dan
Perundang-undangan
|
JAWA
POS, 25
Januari 2017
APARAT
kepolisian hendaknya berhati-hati menerapkan pasal 2 UU No 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Pelanggaran terhadap pasal-pasal
larangan membuat tulisan, gambar, dan coretan pada bendera negara Indonesia
perlu persuasif karena masyarakat awam, bahkan pejabat negara, birokrat, dan
bahkan aparat sendiri banyak yang belum paham tentang bendera negara, ukuran,
bahan pembuatannya, tata cara penggunaan, dan larangan-larangannya.
Bendera
negara Sang Saka Merah Putih itu, menurut UU, ukurannya pasti. Yakni, warna
merah dan putih sama besarnya. Lebar bendera adalah 2/3 ukuran panjangnya.
Bahannya terbuat dari kain yang tidak mudah luntur. Ukurannya untuk
keperluan-keperluan tertentu juga sudah diatur oleh UU. Dengan demikian,
tidak semua warna merah putih otomatis adalah bendera negara. Kain yang
berwarna merah putih, namun tidak memenuhi kriteria syarat-syarat untuk dapat
disebut sebagai bendera RI, bukanlah bendera RI. Ambillah contoh, kaleng susu
manis bekas yang bagian atasnya dicat merah dan bagian bawahnya dicat putih,
kaleng merah putih itu bukanlah bendera negara RI. Warna merah putih seperti
di kaleng susu bekas itu paling tinggi hanyalah ’’merepresentasikan’’ bendera
RI, namun sama sekali bukan bendera RI. Semua ketentuan itu diatur dalam
pasal 4 UU No 24 Tahun 2009.
Selanjutnya,
pasal 24 UU No 24 Tahun 2009 itu memuat larangan, antara lain, merusak,
merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan
maksud untuk ’’menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera
negara’’. Mereka yang melanggar larangan ini diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Larangan
juga dilakukan terhadap setiap orang untuk ’’mencetak, menyulam, dan menulis
huruf, angka, gambar, atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun
pada bendera negara’’. Terhadap mereka yang melakukan apa yang dilarang ini
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak
Rp 100 juta.
Dari
rumusan delik pidana UU No 24 Tahun 2009 ini, jelas terlihat bahwa terhadap
mereka yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan
perbuatan lain yang dilarang UU tersebut, haruslah ada unsur kesengajaan dan
niat jahat untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera
negara. Jadi, mereka yang tidak sengaja dan tidak mempunyai niat untuk
menodai, menghina, dan merendahkan kehormatan bendera negara tidak dapat
dipidana karena perbuatannya.
Namun,
lain halnya terhadap mereka yang mencetak, menyulam, dan menulis huruf,
angka, gambar, atau tanda lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 67 huruf c
undang-undang ini, unsur kesengajaan dan niat untuk menodai atau merendahkan
martabat bendera negara itu tidak perlu ada. Jadi, siapa saja yang
melakukannya, sengaja maupun tidak sengaja, ada niat untuk menodai, menghina,
dan merendahkan atau tidak, perbuatan itu sudah dapat dipidana dengan ancaman
penjara paling lama setahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Ancaman
pidana paling lama satu tahun terhadap pelanggaran pasal 67 huruf c di atas
menunjukkan bahwa tindak pidana ini tergolong sebagai tindak pidana ringan.
Karena itu, saya berpendapat penegakan hukum atas pasal ini hendaknya
dilakukan oleh aparat dengan cara yang bijaksana, jangan dilaksanakan dengan
tergesa-gesa.
Mengapa
saya katakan penerapan pasal 67 huruf c itu, katakanlah terhadap seseorang
yang menulis huruf-huruf atau angka, harus dilakukan secara bijak? Sebabnya
adalah sebagian besar warga belum mengetahui bahwa perbuatan tersebut
dilarang dan dapat dipidana. Ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat
birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri. Coba saja
search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita
dapati dalam jumlah sangat banyak.
Kasus Nurul Fahmi
Pada
Sabtu (21/1) polisi telah menahan Nurul Fahmi yang membawa bendera Merah
Putih bertulisan Arab yang diduga kalimat tauhid dan di bawahnya ada gambar
pedang bersilang dan dikibarkan di sepeda motor saat demo FPI di Mabes Polri.
Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, Fahmi diduga
melanggar pasal 66 jo pasal 24 subsider pasal 67 UU No 24 Tahun 2009.
Pengenaan
pasal 66 terhadap apa yang dilakukan Fahmi adalah sesuatu yang berlebihan.
Pasal 66 itu, seperti telah saya katakan di atas, dikenakan terhadap mereka
yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, dan
seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan
bendera negara. Fahmi sama sekali tidak melakukan ini. Dia hanya membawa
bendera Merah Putih yang ditulisi kalimat tauhid dan digambari pedang bersilang.
Karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah pasal 67 huruf c,
yakni menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara.
Polisi
tampak dengan sengaja mengenakan pasal 66 yang lebih berat kepada Fahmi,
padahal itu diduga tidak dia lakukan. Sementara terhadap apa yang
dilakukannya, yang seharusnya dikenakan pasal 67 huruf c, justru dijadikan
subsider. Selain membolak-balik pasal dalam kasus Fahmi, tindakan penahanan
terhadap Fahmi juga dapat dianggap sebagai tindakan berlebihan. Sebab, ancaman
pidana dalam pasal 66 itu bukan di atas lima tahun, melainkan selama-lamanya
lima tahun.
Pada
hemat saya, polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap
orang yang diduga melanggar pasal 67 huruf c sebelum mengambil langkah
penegakan hukum. Sebab, jika langkah penegakan hukum atau law inforcement
dilakukan terhadap Fahmi, langkah serupa harus dilakukan terhadap siapa saja
yang melakukan pelanggaran yang sama. Termasuk aparat sendiri.
Karena
itu, saya mengimbau polisi untuk bersikap objektif dan mengambil langkah
hukum yang hati-hati untuk mencegah kesan yang kian hari kian menguat bahwa
polisi makin menjauh dari umat Islam dan sebaliknya makin melakukan tekanan.
Menjauh dari Islam dan umatnya tidak akan membuat negara ini makin aman dan
makin baik. Karena itu, hikmah kebijaksanaanlah yang harus dikedepankan demi
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar