Jumat, 13 April 2018

Hakikat Isra Mikraj

Hakikat Isra Mikraj
Haedar Nashir  ;   Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
                                                         KOMPAS, 13 April 2018



                                                           
Isra Mikraj merupakan peristiwa luar biasa diukur dari rasionalitas manusia biasa. Ummu Hani, putri Abu Thalib, bahkan meminta Muhammad agar tidak menceritakan ke publik seputar  “perjalanan Nabi di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha serta dari Masjidil Aqsha naik ke langit ketujuh hingga Sidratal Munthaha dalam tempo superkilat itu”.

Hal itu karena dianggap aneh dan secara nalar empirik tidak masuk akal, yang tentu saja akan ditentang dan didustakan bangsa Arab kala itu. Namun Nabi tetap memberitakannya secara jujur dan terbuka. Kaum Arab jahiliyah yang sejak awal menolak kerisalahan Nabi semakin menentang dan menganggap Muhammad bukan hanya berdusta, tetapi telah menjadi gila. Dengan kabar Isra Mikraj itu bahkan sebagian orang yang telah masuk Islam berubah menjadi murtad. Sungguh betapa makin beratnya posisi dan perjuangan Nabi akhir zaman itu dalam mendakwahkan risalah Islam kala itu.

Di kalangan ulama, sejarawan, mufasir, dan umat Islam sendiri dari dulu hingga kini berbeda pendapat apakah Muhammad menjalani Isra dan Mikraj itu dengan ruh atau jasadnya atau keduanya. Hal itu menunjukkan betapa tidak mudahnya memahami peristiwa yang menakjubkan dalam sejarah kerisalahan Nabi akhir zaman itu. Peristiwa itu tidak dapat dipenggal dalam satu cara pandang, tetapi perlu perspektif biyond yang melampaui banyak dimensi.

Dimensi ilahiah

Isra Mikraj memang bukan peristiwa biasa. Dari perspektif keilahian ia merupakan pertanda dan penanda kekuasaan Allah atas nubuwah atau kenabian Muhammad SAW dalam menunaikan misi Islam. Nabi sendiri tidak merekayasa peristiwa langka itu. Muhammad justru “diperjalankan” (isra) dan “dinaikkan” (mi’raj) oleh Dzat Maha Kuasa dan Maha Pemilik Segala Kuasa sehingga mampu melakukan perjalanan yang melampaui batas ruang dan waktu (QS Al-Isra: 1).

Sayyid Qutb dalam Tafsir “Fi Zhilalil Quran” menjelaskan, “Bagi mereka yang sedikit saja dapat memahami karakter kekuasaan ilahiah dan karakter nubuwah (kenabian), mereka pasti tidak akan  melihat satu keanehan sedikit pun. Karena di hadapan kekuasaan ilahiah tidak ada perbedaan jarak antara semua bentuk pergerakan makhluk, yang sering tampak di mata manusia, dengan keterbatasan kemampuan dan persepsinya, serta beda tingkat kesulitan dan kemudahannya,  karena diukur dengan apa yang biasa ia lihat dan alami sehari-hari. Yang tampak dan yang terlihat di permukaan alam kasat mata manusia tidaklah tepat untuk jadi hakim dalam mengetahui kadar ukuran segala sesuatu, jika dibanding kan ukuran kekuasaan Allah. Sementara tabiat nubuwah adalah hubungan komunikasi dengan alam samawi nan tinggi, di luar kadar dan kebiasaan manusia umumnya.”

Kekuasaan Allah itu sangatlah luas dan tak terjangkau nalar empirik manusia. Jika Allah berkehendak, berlaku hukum mutlak “kun fayakun”, segalanya pasti terjadi. Allah-lah pemilik segala kuasa, sedangkan manusia hanya hamba-Nya yang dhaif dan tidak berdaya. Dia berikan kekuasaan kepada yang dikhendaki, sebaliknya Dia cabut kekuasaan apa pun yang dimiliki manusia dengan cara yang manusia sendiri tak kuasa dan sulit memahaminya. Jangankan untuk memperjalankan Muhammad dalam ruang dan waktu yang tak terjangkau nalar manusia, lebih dari itu pun Allah sungguh Maha Segalanya.

Dalam kontroversi Isra dan Mikraj itu, maka dasar yang dapat dijadikan rujukan ialah sikap Abu Bakar Ash-Shidiq, yang menyampaikan kesaksian sebagai berikut: “Janganlah keterangannya (Muhammad) bahwa dia telah bersembahyang di Masjidil Aqsha, bahkan lebih dari itu pun bahwa dia baru saja kembali dari langit dan membawa berita langit, saya pun percaya. Saya sungguh percaya.” Sebab, jauh sebelum kenabian, Muhammad telah diakui keterpercayaannya, sehingga kaum Jahiliyah pun menjulukinya “Al-Amin”. Inilah dimensi iman yang penting untuk menjadi dasar memahami hakikat Isra Mikraj Nabi Muhammas SAW.

Dimensi ilmiah

Masyarakat ilmu di kemudian hari mencoba menjelaskan isra-mikraj dengan pendekatan ilmiah. Dengan teori “kecepatan cahaya”, teori relativitas tentang pelambatan waktu,  dan adanya partikel- partikel yang dapat melewati batas ruang dan waktu,  maka peristiwa yang aneh secara rasio itu juga dapat terjadi dan dipahami. Dunia modern juga mengakui adanya telepati, sementara masyarakat saat ini sudah terbiasa dengan pesawat terbang dan pesawat ruang angkasa. Semua hal dapat terjadi dan memperoleh dukungan ilmu pengetahuan.

Namun pendekatan ilmiah tidaklah tunggal. Selalu ada yang berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, bahwa kendati ilmu pengetahuan modern atau  “Modern Wetenchap” dapat digunakan untuk mendukung kebenaran Isra Mikraj, perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan yang bersifat empirik itu tidaklah selalu dapat disesuaikan dengan sesuatu yang berkenaan dengan iman dan keyakinan. Boleh jadi, menurut Hamka, terdapat ilmu pengetahuan yang timpang, yang ahli-ahli ilmu pengetahuan sendiri belum menerima penjelasan itu, sementara agama pun belum tentu mengakuinya.

Pada posisi ini hikmah Israj Mikraj dapat menginspirasi para ilmuwan untuk terus mengungkap berbagai rahasia alam semesta ciptaan Tuhan yang sangat luas dan kaya sebagai anugerah. Pada saat yang sama, ilmu pengetahuan juga tetap memiliki relativitas sehingga perlu rendah hati terhadap fenomena-fenomena yang dalam agama bersifat imani dan ilahiah. Para ilmuwan memiliki kewajiban berpikir dan berdzikir atas segala ciptaan Tuhan di seluruh alam raya yang tak ada satu hal pun sia-sia (QS Ali Imran: 190-191). Ilmuwan, lebih-lebih yang menyandang sebutan tokoh agama, tidak menjadi arogan seolah menjadi tuhan bagi orang lain.

Dialog antara agama dan ilmu pengetahuan perlu terus dilakukan untuk mengungkap rahasia alam semesta, sekaligus menjadikannya sebagai tempat manusia dan seluruh ciptaan Allah hidup secara harmoni menuju keutamaan peradaban semesta. Para ilmuwan tetap rendah hati dan tidak angkuh dengan kebenaran yang diyakininya, sementara pemeluk agama juga mau membuka diri pada ilmu pengetahuan agar makin berkemajuan selaku khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah: “Allah akan mengangkat mereka yang beriman dan mereka yang berilmu beberapa derajat” (QS Al-Mujadilah: 11). Agama dan ilmu akan membentuk sikap profetik yang menyemai harmoni dan menyelamatkan masa depan kehidupan.

Dimensi ubudiah

Ayat pertama Surat Al-Isra di mana Nabi “diperjalankan oleh Allah Yang Maha Suci” dan bukan perjalanan atas kehendak sendiri, menegaskan antara lain posisi Muhammad sebagai “abdullah” atau hamba Allah yang terkena hukum keibadahan atau ubudiah, yakni tunduk dan taat kepada Sang Khaliq. Nabi dari Mikraj-nya bahkan memperoleh kewajiban ibadah mahdhah, yakni shalat lima waktu dengan penuh ketundukan. Jika bukan atas saran Nabi Musa, boleh jadi shalat bagi umat Islam tetap 50 kali, sebagaimana ketentuan semula yang Nabi menerimanya tanpa keberatan. Inilah sifat ta’abudi atau ketaatan total Nabi kepada Allah.

Hal serupa tentu berlaku bagi umat Islam dan kaum beriman di mana pun saat ini. Bahwa manusia diberi kewajiban utama untuk beribadah kepada Allah dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, serta menjalankan apa-apa yang diizinkan oleh-Nya. Dengan ibadah itu manusia akan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, memperoleh rida dan karunia-Nya, serta pada akhirnya masuk ke dalam Jannatun Na’im yang abadi.

Siapa pun yang mengaku beriman dan jadi hamba-hamba Allah di muka bumi jadilah insan yang senantiasa dekat dengan Allah sekaligus berbuat ihsan atau kebajikan yang melampaui kepada sesama dan lingkungannya. Perbedaan agama dan segala kemajemukan  tidak menghalangi para pemeluk agama untuk terus-menerus jadi umat yang saleh secara vertikal dan horizontal. Jadikan habluminallah (hubungan dengan Allah) sebagai pembentuk sikap diri yang taat, tulus, baik, rendah hati, toleran, damai, dan welas asih dalam kehidupan bersama.

Menjadi hamba Allah termasuk dalam mencintai lingkungan dan alam raya agar memanfaatkannya dengan penuh pertanggungjawaban moral yang tinggi serta tidak merusak, mengeksploitasi, dan memonopoli yang merugikan hajat hidup sesama. Hidup harmoni dengan keanekaragaman sesama makhluk Tuhan dan alam sehingga kehadirannya jadi rahmat bagi semesta. Menjauhi sikap takabur, benar sendiri, dan merasa paling digdaya seolah memakai pakaian Tuhan, padahal dirinya lemah dan tak kuasa selaku ciptaan-Nya.

Dimensi risalah

Isra Mikraj selain menegaskan kenabian Muhammad, sekaligus mengokohkan kerasulannya untuk mengemban misi dakwah Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Nabi tidak berlama-lama di Sidratul Muntaha berjumpa dengan Tuhannya Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, sebagaimana idaman spiritual para sufi ke puncak tertinggi Ilahi. Muhammad justru dari bumi naik ke langit terus turun kembali ke bumi untuk menyinari seluruh negeri di muka bumi. Dalam masa kesedihan (‘am al-hazm) pasca-ditinggal istri tercinta, Khadijah, dan paman yang membelanya, Abu Thalib, dari segala intimidasi kaum Arab jahiliah, Nabi tidak larut diri bersama Tuhan di atas ‘Arsy. Nabi kembali berjuang di dunia nyata yang sarat tantangan untuk membawa misi “tanwir”, yakni pencerahan bagi umat manusia, “litukhrija al-nas min al-dhulumat ila al-nuur”.

Nabi pasca-Isra Mikraj hijrah ke Yasrib dan membangun kehidupan baru. Dalam tempo sekitar 13 tahun ia berhasil menjadikan desa kecil itu menjadi al-Madinah al-Munawwarah, kota peradaban yang cerah dan mencerahkan. Segala kegelapan selama periode Makkah diubah jadi tatanan dunia baru yang berperadaban mulia. Dari masyarakat penyembah berhala menjadi bangsa bertauhid yang memuliakan kaum perempuan dan semua umat manusia, meniadakan riba, meluruhkan ego golongan, menghilangkan diskriminasi, dan menjadikan umat yang satu dalam keragaman sebagaimana dideklarasaikan dalam pidato akhir kerisalahan Nabi pada Haji Wada. Sejak itu, pasca-Nabi wafat, risalah Islam meluas dan menyinari seluruh dunia sehingga Islam menjadi Din al-Hadlarah atau agama peradaban yang mencerahkan semesta.

Kini umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan memperingati Isra Mikraj niscaya mengambil peran pencerahan sebagaimana jejak kerisalahan Nabi akhir zaman. Melalui gerakan pencerahan Islam, umat Islam Indonesia yang mayoritas harus tampil sebagai umat yang berkemajuan, bukan sebagai golongan yang besar sebatas jumlah. Islam yang berada di garis depan dalam menghasilkan pusat-pusat keunggulan yang memberi manfaat untuk bangsa dan kemanusiaan universal.

Umat Islam dengan spirit risalah Nabi niscaya menjadi uswah hasanah atau contoh terbaik dalam menampilkan Islam yang tengahan atau moderat dengan menampilkan perilaku damai, toleran, dan menebar kebajikan bagi sesama dan lingkungan di negeri tercinta ini. Islam yang menggelorakan kemanusiaan dan kebersamaan hatta dengan golongan yang berbeda sekalipun;  bukan menampilkan sikap garang, keras,  dan memusuhi sesama. Meski dilandasi keyakinan kebenaran agama, tak perlu berpakaian atas nama Tuhan yang menghardik siapa pun yang berbeda dan diapandang salah secara sepihak. Tampillah seperti Nabi yang lemah lembut, hikmah, dan uswah hasanah.

Umat Islam Indonesia dengan hikmah Isra Mikraj harus menjadi kekuatan prodemokrasi, penegakan hak asasi manusia, dan membangun civil society yang berkeadaban mulia. Menjadi penyebar keadaban mulia dalam segala hal, termasuk dalam berpolitik yang menebar hikmah dan bukan penabuh genderang perang dan kegaduhan. Menjadi umat yang maju dan pembangun peradaban utama. Dengan demikian kehadiran Islam dan umat Islam benar-benar menjadi rahmaan lil-‘alamin yang menjadikan negeri dan segenap persada buana menjadi Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur; sebuah negeri yang subur dan makmur, adil dan aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar