Rabu, 22 Februari 2017

Pendidikan dan Urgensi Budi Pekerti

Pendidikan dan Urgensi Budi Pekerti
Ali Usman  ;    Pendidik dan Pemerhati Pendidikan
                                           MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENDIDIKAN sejatinya tidak hanya mencetak generasi bangsa untuk memperoleh pekerjaan yang layak karena memperoleh ijazah kelulusan di tingkat tertentu. Namun, lebih dari itu, yaitu menjadikan peserta didik sebagai manusia yang cerdas, baik, dan berbudi luhur sehingga membawa dampak positif bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa. Itulah sebabnya, lembaga pendidikan sekurang-kurangnya memiliki empat fungsi utama, (1) sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan; (2) konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan; (3) penguasaan life skill dan teknologi; (4) sarana pembangunan karakter (Ismail, dkk, 2006: 76).

Fungsi pendidikan seharusnya berjalan sesuai dengan proporsi yang seimbang sehingga menghasilkan keluaran yang kompeten dalam bidang ilmu pengetahuan. Bukan saja mampu mengandalkan kemampuan pikir dan kognitif yang baik, melainkan juga memiliki jiwa dan karakter yang luhur. Pada kenyataannya, dari keempat fungsi pendidikan yang dikemukakan itu, umumnya hanya tiga fungsi yang dijalankan, yaitu fungsi transfer ilmu, fungsi konservasi dan pengembangan ilmu, serta fungsi penguasaan life skill dan teknologi.

Sementara itu, fungsi keempat, yaitu sarana pembangunan karakter, masih jauh dari harapan. Ketimpangan itu menyebabkan ketidakseimbangan keluaran antara kemampuan kognitif dan pembentukan karakter yang positif. Kemampuan kognitif yang tidak diimbangi dengan karakter yang positif menyebabkan munculnya pribadi-pribadi yang cacat secara nilai. Oleh sebab itu, di antara pekerjaan rumah sistem dan lembaga pendidikan di Indonesia saat ini ialah mengembalikan pendidikan pada fungsinya sebagai pembentuk karakter bangsa yang tidak hanya bertugas sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, pengembangan keilmuan, penguasaan life skill dan teknologi, tetapi juga sebagai wahana internalisasi nilai-nilai luhur dan ideal bagi masyarakat.

Nilai-nilai moral merupakan salah satu unsur dalam nilai-nilai luhur yang dimaksud. Pendidikan, dengan demikian, dapat berkontribusi dalam penanaman budi pekerti yang baik bagi peserta didik. Spirit budi pekerti ini umumnya bersumber dari diri sendiri yang berkorelasi dengan norma-norma agama dan adat masyarakat. Meminjam ungkapan HAMKA, untuk mencapai kesentosaan masyarakat, kita harus mengikuti satu peraturan, yaitu peraturan budi. Peraturan budi tertulis pada damir (perasaan halus) kita sendiri yang menimbulkan satu keperluan.

Untuk mencukupkan segenap kewajiban, kita sama-sama memikul satu hak, dan semua kita wajib sama-sama menghormati hak itu. (HAMKA, 1983: 135). Nilai-nilai moral sebagai salah satu unsur penting pembentuk nilai-nilai luhur kehidupan selayaknya menjadi inti dari pembentukan karakter bangsa yang secara psikologis merupakan bagian dari kompetensi yang berada pada domain afektif, kognitif, dan psikomotorik. Dari karakter tersebut akan terbentuk suatu pribadi yang memiliki karakter luhur. Kriteria pribadi yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa secara umum ialah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi budaya masyarakat dan bangsanya.

Hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia ialah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda (Wibowo, 2012: 34).

Aktualisasi budi pekerti

Karena itu, penanaman budi pekerti yang baik bagi generasi bangsa lewat jalur pendidikan sangat urgen diinternalisasi, sebab memiliki relevansi dengan perkembangan perilaku masyarakat dewasa ini. Pertama, dalam arus perkembangan teknologi modern, penting menjaga lisan atau ucapan kotor yang tersalurkan secara langsung maupun tidak langsung lewat media sosial (medsos). Sekadar menyebutkan contoh, adalah KH Musthafa Bisri (Gus Mus) yang menjadi korban perundungan lewat perkataan kotor dan caci maki yang tidak etis oleh beberapa orang pengguna media sosial (medsos). Namun, Gus Mus memilih diam dam memaafkannya sebelum pelaku meminta maaf secara langsung menemuinya di Rembang selang beberapa hari kemudian.

Sikap Gus Mus ini memberi teladan sebagai seorang ulama. Tokoh lain yang juga layak diapresiasi ialah Buya Syafii Maarif. Kasus perundungan yang menimpa Gus Mus, Buya Syafii, dan tokoh-tokoh lain, memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya memaafkan kesalahan orang lain, yang merupakan anjuran ajaran Islam sebagai perbuatan sangat mulia. Islam melalui doktrin dan institusi ibadahnya sangat memberikan perhatian soal maaf-memaafkan, suatu dimensi sosial kehidupan yang menurut Alquran sangat sentral untuk ditegakkan sebab dari sinilah kehidupan kemasyarakatan yang sehat bisa dimulai.

Jika suatu masyarakat telah tumbuh saling curiga dan semangat balas dendam, itu sebuah pertanda masyarakat tersebut sedang sakit. Proses penyembuhannya tidak lain kecuali cara-cara damai, antara lain melalui konsep rekonsiliasi (islah). Dengan islah, manusia bisa saling mengenali secara baik kultur kehidupan setiap individu untuk kemudian dicarikan penyelesaian terbaik. Kedua, penanaman budi pekerti yang baik kepada generasi bangsa merupakan langkah preventif untuk mencegah perilaku amoral yang menjadi endemi di kalangan masyarakat. Pola penanaman budi pekerti ini dapat dilakukan lewat pendidikan dalam arti luas, yaitu formal maupun nonformal.

Pendidikan formal yang dimaksud ialah pola pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta, sedangkan pendidikan nonformal sebaliknya, yaitu proses pembelajaran di luar jam sekolah formal, seperti peran keluarga. Keluarga dan pendidikan sekolah yang selalu membiasakan dan menghargai kejujuran membuat anak akan merasa salah dan jiwanya tersiksa kalau tidak jujur. Kebiasaan ini pada urutannya akan membentuk pribadi jujur.
Ketika berbuat curang, rasanya tidak enak dan tidak percaya diri sebagaimana berangkat sekolah tidak mandi atau tidak gosok gigi (Hidayat, 2009: 801).

Keluarga merupakan ormas kecil. Hubungan di antara anggota keluarga tidak dikendalikan oleh aturan umum yang bersifat impersonal dan tidak dapat diubah, tetapi selalu dan biasanya ada dalam suasana kebebasan. Anak harus belajar menghormati peraturan dan bertanggungjawab atas kewajibannya. Selanjutnya, sekolah mengembangkan tanggung jawab dan menghormati peraturan secara lebih dewasa. Terdapat jarak yang lebar antara kualitas moral anak ketika ia meninggalkan keluarganya dan kualitas moral yang harus menjadi tujuan. Diperlukan perantara yang kondusif bagi perkembangan moral anak. Sekolah sebagai perantara yang merupakan komunitas baru bagi anak diharapkan dapat membantu mengasah dan memupuk perkembangan moral anak melalui metode dan sistem pendidikan yang baik.

Namun, terdapat dimensi lain dari hubungan timbal balik orangtua, keluarga, masyarakat dengan sekolah, yaitu tiadanya inisiatif dari kedua belah pihak untuk secara kreatif menciptakan ruang komunikasi yang efektif untuk menjaga moralitas anak-anak. Teladan kebersamaan sekolah dan masyarakat sangat diperlukan dalam rangka menumbuhkan mental dan karakter anak yang mandiri dan mau berbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar