Korupsi
Transnasional
Hifdzil Alim ; Peneliti pada Pusat Kajian Anti Korupsi
FH-UGM
|
KOMPAS, 26 Januari 2017
Eks
Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka
kasus gratifikasi oleh KPK (19/1). Penetapan status tersebut bermula dari
persetujuan tuntutan yang ditangguhkan (deferred prosecution agreement/DPA)
yang dilayangkan Serious Fraud Office (SFO), sebuah lembaga penyidik penipuan
serius Inggris, ke perusahaan Rolls-Royce (17/1).Sebelumnya, SFO mengumumkan
investigasi dugaan korupsi yang dilakukan Rolls-Royce pada 23 Desember 2013.
Hasil
penyidikan SFO menyatakan, Rolls-Royce telah berkonspirasi melakukan korupsi,
membuat pembukuan palsu, dan gagal mencegah penyuapan. Atas hasil
investigasi, Rolls-Royce sepakat membayar denda lebih dari 497 juta
poundsterling dan mengganti biaya penyidikan SFO sebesar 13 juta
poundsterling. Dari sinilah kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menetapkan status tersangka kepada Emirsyah Satar.
Bukan hal baru
Sebenarnya
korupsi transnasional yang melibatkan pejabat Indonesia bukan kali ini saja.
Pada 2014, Marubeni Corporation, perusahaan multinasional asal Jepang,
dinyatakan bersalah karena korupsi. Rilisyang diterbitkan Departemen
Kehakiman AS (15/5/2014) mengutarakan, Pengadilan Distrik Connecticut
memvonis bersalah Marubeni pada 19 Maret 2014 karena melanggar ketentuan anti
penyuapan sesuai aturan tentang praktik korupsi luar negeri (FCPA).
Di
samping itu, pengadilan juga meyakini, Marubeni dan pegawainya secara
bersama-sama menyuap beberapa pejabat di Indonesia, termasuk anggota parlemen
dan pejabat Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sogokan itu sebagai bentuk imbal
balik atas bantuan dalam mengamankan proyek dengan kontrak 118 juta dollar
AS. Proyek yang dimaksud ialah Proyek Tarahan.
Pemeriksaan
dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tarahan,
Lampung, pada 2004, sampai ke politisi PDI-P Emir Moeis. Hasilnya, Emir Moeis
diperiksa dan dinyatakan bersalah. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta menjatuhkan putusan tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta
subsider tiga bulan kurungan. Eks Ketua Komisi XI DPR itu dinilai menerima
gratifikasi untuk memenangkan konsorsium Alstom Power Inc.
Sejenak,
kasus Emirsyah Satar punya kemiripan dengan kasus Emir Moeis. Keduanya sama-
sama menerima sangkaan gratifikasi. Hanya saja, bagi beberapa pihak,
pembuktian kasus Marubeni menyisakan tanda tanya. Emir Moeis sendiri—juga
melalui kuasa hukumnya—menuduh KPK berlaku tak adil. Hal ihwalnya adalah lima
dari enam lembar dokumen kontrak, yang oleh KPK dijadikan sebagai barang
bukti untuk menjerat dirinya, diduga telah dipalsukan. Sampai Emir Moeis
keluar dari penjara, lima dokumen asli yang diminta tak pernah ditunjukkan
KPK.
Tantangan pembuktian
Terlepas
dari keberanian KPK menersangkakan Emirsyah Satar, KPK bakal menghadapi
tantangan pembuktian yang sangat berat. Belajar dari kasus Marubeni dan Emir
Moeis, KPK harus menyiapkan langkah pembuktian yang kuat dan akurat supaya
tak muncul keraguan publik.
Pertama,
KPK harus memanfaatkan kerja sama bantuan hukum dengan maksimal. Diktum ke-10
sampai 12 DPA SFO memberikan ruang yang cukup luas terhadap kemungkinan
kolaborasi penindakan korupsi. Diktum ke-12 huruf a dan huruf b DPA SFO
menegaskan, Rolls-Royce harus mau membuka semua informasi dan dokumennya
terkait penyidikan. Bahkan, perusahaan harus mengusahakan kehadiran pejabat
atau eks pejabat, jajaran direksi, pegawai, agen, serta konsultannya—jika
diminta SFO untuk kepentingan pemeriksaan.
Ditambah
lagi, kalau membuka kembali berkas Marubeni, FBI (Biro Investigasi Federal
AS) mengakui bahwa pengusutan kasus Marubeni juga didasarkan atas kerja sama
KPK, Kejaksaan Agung Swiss, dan SFO. Tampak nyata penyidikan Marubeni
melibatkan SFO. Kini, SFO memprakarsai pemeriksaan kasus Rolls-Royce.Terdapat
benang merah kerja sama antara KPK dan SFO.
Kedua,
merujuk Pasal 184 Ayat (1) Huruf a dan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP, yang
mengatur ”keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan”, sangat urgen menghadirkan saksi kunci kasus
Rolls-Royce di depan pengadilan Indonesia. KPK tak cukup, misalnya, meminta
keterangan Rolls-Royce—atau yang mewakili—tanpa menghadirkannya di
persidangan.
Diktum
ke-12 huruf b DPA SFO jadi basis legalitas untuk membawa saksi kunci Rolls-
Royce ke Indonesia. Poin penting dihadirkannya pihak Rolls-Royce ke
pengadilan untuk menggenapi ketentuan Pasal 185 Ayat (6) KUHAP. KPK harus
menyediakan bagi hakim referensi untuk, minimal, persesuaian antar-
keterangan saksi dengan bukti lain. Sebab, kesaksian baru dianggap sebagai
alat bukti jika disampaikan di persidangan.
Ketiga,
KPK—atas izin SFO— harus juga mampu menyediakan dokumen asli berkaitan dugaan
pemberian secara melawan hukum Emirsyah Satar. Bagian ini sangat mendesak
agar tak terulang anggapan penyidik hanya menggunakan dokumen palsu,
sebagaimana dituduhkan oleh pihak Emir Moeis dalam kasus Marubeni. Diktum
ke-12 huruf a DPA SFO menyediakan saluran formal untuk mendapatkan dokumen
asli yang berhubungan dengan kasus Rolls-Royce.
Ketiga
syarat di atas harus benar-benar dilakukan supaya menghindarkan KPK dari
asumsi nirprofesional dalam menjalankan kewenangannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar