Politisasi
Aparatur Sipil Negara
Reza Syawawi ;
Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
TEMPO.CO, 23 Januari 2017
Jual-beli
jabatan di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah adalah bagian dari dampak
politisasi birokrasi oleh kepala daerah. Hal ini sebetulnya sudah menjadi isu
lama yang kemudian muncul lagi ke permukaan, setidaknya setelah penangkapan
Bupati Klaten Sri Hartini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sri diduga
menerima suap terkait dengan pemberian tertentu yang berhubungan dengan
mutasi dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Klaten.
Dalam
konteks berbeda, mutasi dan promosi sebetulnya tidak hanya dipengaruhi karena
"kewajiban" menyiapkan sejumlah uang. Birokrasi kadang bisa menjadi
"korban" politik dari pergantian kepala daerah. Jajaran birokrasi
yang "dicap" sebagai kelompok pendukung kepala daerah lama akan
"dipersulit", entah untuk menduduki jabatan tertentu, kena-ikan
pangkat, atau sekadar dimutasi.
Perputaran
uang dari praktek jual-beli jabatan akan sangat sulit dikalkulasi karena
sumbernya tidak hanya uang suap, tapi juga bagaimana dampaknya terhadap
kinerja birokrasi. Korupsi dalam jual-beli jabatan ini setidaknya bisa
diindikasikan dalam tiga kemungkinan bentuk tindak pidana: penyuapan,
pemerasan, dan nepotisme.
Penyuapan
dimaknai sebagai pemberian dengan saling pengertian antara pemberi dan
penerima suap, tanpa paksaan dari salah satu pihak. Pemerasan mungkin bisa
juga terjadi jika ada ancaman dan tekanan dari satu pihak. Terakhir, nuansa nepotisme, atau bisa disebut sebagai
dinasti, yang dibangun di dalam birokrasi.
Politisasi
jabatan publik ini tentu perlu diatasi agar birokrasi yang dihasilkan tidak
justru berdampak buruk terhadap kepentingan publik. Salah satu inisiatif yang
muncul kemudian adalah rekrutmen terbuka jabatan melalui lelang jabatan.
Dalam
prakteknya, lelang jabatan sebetulnya hanya menambah satu prosedur baru
dengan melibatkan pihak eksternal dalam melakukan rekrutmen. Tapi pada
akhirnya keputusan tetap berada di bawah kendali kepala daerah.
Praktek
semacam ini tentu saja akan sulit memutus rantai politisasi jabatan yang
terjadi di birokrasi, karena kepala daerah adalah sumber utama terjadinya
praktek tersebut. Lelang jabatan sepertinya memang tidak ditujukan untuk
menuntaskan politisasi birokrasi yang marak dan jamak terjadi. Penting untuk
meninjau ulang mekanisme lelang jabatan agar kualitas birokrasi menjadi
indikator utama ketimbang mengikuti "selera" kepala daerah.
Praktek
jual-beli jabatan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik kepala
daerah terhadap birokrasi. Sebaliknya, birokrat membutuhkan legitimasi
politik agar dipilih dan ditempatkan pada posisi dan jabatan tertentu.
Keterkaitan antara keduanya ini telah dibangun sejak prosesi pemilihan kepala
daerah.
Di
sinilah pentingnya regulasi pemilihan umum kepala daerah yang melarang calon
kepala daerah melibatkan aparatur sipil negara dalam kampanye untuk
mempengaruhi pilihan politik para birokrat. Jika terjadi pelanggaran, akan
ada ancaman sanksi pidana bagi calon kepala daerah.
Sebaliknya,
pejabat aparatur sipil negara dilarang untuk membuat keputusan/tindakan yang
menguntungkan/merugikan salah satu calon kepala daerah. Jika terbukti
melanggar, aparatur sipil negara dapat dikenakan pidana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilihan kepala daerah maupun
regulasi yang mengatur tentang aparatur sipil negara.
Ketentuan
ini tentu saja ditujukan agar relasi birokrasi dengan calon kepala daerah
tertentu tidak menghasilkan kesepakatan di kemudian hari. Biasanya hal ini
selalu terkait dengan penempatan pada jabatan atau posisi tertentu di dalam
birokrasi.
Dalam
kasus tertentu, relasi koruptif semacam ini bisa menghadirkan pihak lain
(pebisnis) yang memiliki kepentingan terhadap birokrasi maupun kepala daerah.
Pebisnis akan menjadi penyedia uang suap untuk menempatkan birokrat di
jabatan tertentu. Pada akhirnya, relasi ini akan berpotensi merugikan
kepentingan publik, khususnya yang terkait dengan penguasaan sumber daya publik
(anggaran, sumber daya alam, dan seterusnya).
Momentum
pemilihan kepala daerah sebetulnya bisa menjadi pijakan awal untuk menutup
celah politisasi aparatur sipil negara di kemudian hari. Hal ini bisa dimulai
dari penegakan hukum yang terkait dengan larangan bagi birokrat untuk ikut
serta aktif dalam proses kampanye (politik praktis).
Pilihan
penegakan hukum ini tentu akan sangat bergantung pada pengawasan yang
mumpuni, baik dari segi administratif maupun yang telah memenuhi unsur dugaan
tindak pidana. Pengawasan ini ditujukan baik terhadap hal-hal yang dilakukan
oleh penyelenggara pemilihan umum, pengawas internal/eksternal birokrasi,
maupun oleh penegak hukum. Semua upaya ini tentu ditujukan agar kepala daerah
yang terpilih juga akan menjalankan pemerintahan tanpa harus tersandera
dengan "kepentingan" birokrasi dan pebisnis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar