Mendung
di Langit MK
Zainal Arifin Mochtar ;
Dosen Ilmu Hukum;
Ketua PuKAT Korupsi FH UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Januari 2017
KEKUASAAN
kehakiman kembali mengalami guncangan berat. Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK) silih berganti mengalami cobaan besar. Kali ini giliran MK.
Salah satu hakim, setelah yang lalu ketua, kembali ditangkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tuduhan yang sangat mengerikan, yakni
menerima suap dalam rangka pelaksanaan kewenangan yang diberikan kepadanya
dalam salah satu perkara pengujian undang-undang terhadap UUD.
Rasanya,
badai akibat penangkapan Ketua MK, Akil Mochtar, belum juga reda benar,
tetapi mendung menuju badai kembali bergelayut di langit MK. Penangkapan
Patrialis Akbar memang belum jelas dan terang secara lengkap, tetapi telah
cukup untuk memperlihatkan langit yang menghitam. Langit hitam ini akan
meluruh bersama badai penjelasan sesungguhnya dari perkara ini nantinya. Tak
ada yang bisa menduga penyebab sesungguhnya dari sebuah OTT kali ini. Namun,
paling tidak kemungkinan penyebabnya terserak di tiga hal. Pertama, soal
rekrutmen. Kedua, magnitudo pengawasan MK. Ketiga, kualitas putusan MK.
Bermula dari rekrutmen
Semua
paham, UUD memberikan asal muasal rekrutmen hakim MK melalui tiga cabang
kekuasaan, yakni tiga dari Presiden, tiga dari DPR, dan tiga dari MA. Seakan
ingin melambangkan bahwa MK merupakan representasi dari tiga cabang kekuasaan
terpisah di negara; eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tidak hanya khas
Indonesia, konsep tiga cabang ini pun serupa dengan beberapa negara lain yang
menerapkan model yang sama dalam mengisi jabatan hakim MK. Ada juga negara
yang menerapkan secara berbeda tentu saja
Pilihan
menggunakan tiga cabang kekuasaan ini memang masih menunjukkan kelemahan
mendasar. Pertama, jika diperhatikan tiga cabang kekuasaan ini telah
menegasikan kenyataan bahwa di dalam tubuh cabang kekuasaan legislatif
terdapat dua kamar yang merepresentasikan rakyat (bikameral), yakni DPR dan
DPD. Mengherankannya, UUD hanya memberikan itu kepada DPR. Padahal, jika itu
dibayangkan ialah legislatif, selayaknya DPD juga ikut terlibat dalam pilihan
jabatan hakim MK sebagai pelambang cabang kekuasaan terpisah legislatif.
Mengapa
DPD penting, karena itu sebagai pelambang bagaimana cara mereduksi
kemungkinan kepentingan politik di balik pengisian jabatan publik.
Mengherankan memang, karena pada saat ini, DPR memonopoli seluruh pengisian
jabatan publik. DPD hanya diberikan porsi kecil untuk anggota Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Dengan penguasaan yang berlebih terhadap DPR, praktis tidak
banyak konsep checks and balances intra parlemen yang diharapkan bisa
dilakukan. Hal itu berakibat pada tingginya kemungkinan politisasi dan
tendensi politik memengaruhi proses seleksi.
Kedua,
pada proses seleksi ini sendiri tak banyak diperlakukan secara baik. Padahal,
di UU MK, ada empat prinsip dasar yang disebutkan di dalam Pasal 19 dan 20 UU
MK, yakni transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel. Empat prinsip
menjadi wajib untuk dilakukan dalam proses seleksi di semua cabang kekuasaan,
baik di Presiden, DPR, maupun MA.
Sayangnya,
perilaku politik dan kedekatan seringkali merusak proses tersebut. Meskipun
tidak selalu, ketika Patrialis Akbar terpilih, dia dipilih tanpa suatu proses
yang berarti, yakni dengan standar-standar transparan, partisipatif,
objektif, dan akuntabel tersebut. Dia dipilih dengan pilihan yang terlihat
konklusi mendahului analisis. Makanya, keputusan presiden untuk
pengangkatannya dipersoalkan di PTUN dan mendapatkan catatan besar kesalahan
di tingkat pertama maupun banding. Ini tentu saja menjadi catatan bahwa ke
depan, prinsip-prinsip ini harus kembali dikuatkan dan dilaksanakan dengan
kesungguhan. Prinsip-prinsip tersebut penting karena akan menjaga kualitas,
kapasitas, serta integritas kandidat hakim MK. Jika disambungkan dengan
potensi kepengtingan politik yang seringkali memengaruhi proses pemilihan,
empat prinsip tadi semakin penting untuk diperhatikan, dilaksanakan dan
dituangkan di dalam bentuk yang lebih proper. Harus ada aturan detail yang
mengatur bagaimana keempat prinsip tadi dituangkan dalam proses pemilihan
sehingga tidak sekadar memberikan itu kepada Presiden, DPR, dan MA untuk
memilih dengan cek kosong.
Penguatan pengawasan
Hal
tak kalah pentingnya ialah mengingatkan kembali MK akan pentingnya
pengawasan. Cabang kekuasaan kehakiman memerlukan konsep pengawasan. Tak
semua pengawasan mengganggu independensi. Bahkan yang harus diingat, judicial
independency punya keterkaitan erat dengan judicial integrity. Jika
integritasnya tinggi, wajar jika independensinya ditinggikan. Akan tetapi,
pada saat integritasnya rendah, maka menjadi kewajiban untuk mereduksi
independensinya. Karena dapat dibayangkan, independensinya tetap ditinggikan
pada saat integritasnya rendah, maka itu hanya akan berakibat ketiadaan
kontrol bagi pelaksanaan pengadilan yang tak berintegritas tersebut.
Adalah
benar MK telah memiliki pengawasan dalam bentuk Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.
Berjalan telah cukup efektif meski dengan beberapa catatan. Akan tetapi,
tentu harus direformulasi dan penguatan konsep Peradilan Etik sebagaimana
usulan Jimly Asshiddiqie menjadi menarik untuk diperhatikan. Atau bisa juga
dengan memformat kembali pengawasan KY untuk MK. Apa pun pilihannya, momentum
penguatan pengawasan tetap menjadi penting dan tak tertawar.
Kualitas putusan MK
Hal
lainnya ialah perbaikan internal melalui putusan yang baik. Belakangan
putusan MK mengalami penurunan kualitas. Bahkan seringkali dengan analisis
hukum yang tidak jelas bahkan kalau boleh dikatakan agak menyederhanakan
persoalan. Dengan jenis putusan yang begini, akan mudah menimbulkan
kemungkinan masuknya pesanan putusan yang diambil tidak melalui logika hukum
yang benar dan kuat.
Artinya,
jika MK tetap kekeuh pada penguatan dan standar rinsip hukum yang kuat dan
detail, sangat mungkin MK akan dijauhkan dari godaan memutus secara
serampangan. Dan ingat, putusan serampangan itulah yang mudah untuk dijual.
Penguatan pada ranah tersebut tentu akan sangat membantu MK untuk kembali
tegak sebagai benteng terakhir harapan pencari keadilan.
Kita
masih menunggu keterangan lengkap dan detail dari penangkapan ini. Misalnya,
apakah ini menjual putusan atau hanya menjual informasi putusan. Ini akan
sangat erat kaitannya dengan kemungkinan seberapa dalam MK melalui
hakim-hakim lainnya terlibat. Pembenahan atas tiga tawaran di atas tetap
perlu. Pembenahan cepat tanpa perlu menunggu MK mengalami mendung di jilid
ketiga dan seterusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar