Reformasi
Pajak Versi Amnesti
Gunadi ; Guru Besar Perpajakan Fakultas Ilmu
Administrasi UI
|
KOMPAS, 24 Januari 2017
Motivasi
utama sistem pemajakan di negara berkembang di antaranya adalah untuk
tercukupinya dana pembiayaan administrasi dan penyediaan barang publik dan
sosial (Lesson of Tax Reform, Bank Dunia, 1991).
Ketidakcukupan
penerimaan (insufficient revenue) yang berkelanjutan dapat menjadi alasan
perlunya reformasi terhadap sistem pajak yang kurang terdesain dengan tepat
atau kurang berfungsi efektif dan efisien.
Dengan
rasio belanja publik 20-30 persen dari produk domestik bruto, mestinya rasio
pajak negara-negara berkembang 15-20 persen. Realisasi penerimaan pajak
Indonesia selama periode 2009-2016 sulit mencapai target. Jika realisasi 2014
masih Rp 981,83 triliun atau 91,86 persen dari target, pada 2015 menurun
menjadi 83 persen (Rp 1.062,23 triliun) dan bertahan sekitar 83 persen pada
2016 (Rp 1.310 triliun). Penerimaan pajak 2016 itu tidak termasuk uang
tebusan Rp 103 triliun yang artinya masih ada pertumbuhan 3,50 persen di atas
pertumbuhan basis alamiah.
Selain
ketidakcukupan penerimaan, sistem perpajakan yang kurang terdesain dengan
tepat dan berfungsi efektif dan efisien dapat menimbulkan hal berikut.
Pertama,
distorsi ekonomi yang kemudian jadi penyebab menurunnya pertumbuhan dan
kemakmuran. Distorsi ekonomi menurunkan pendapatan riil masyarakat (economic
efficiency costs of taxation). Studi Bank Dunia tahun 1980-an menyebut setiap
kenaikan 1 persen tarif pajak di negara-negara berkembang NB menaikkan
efficiency costs lebih dari 56 sen untuk setiap dollar AS penerimaan.
Kedua,
kekurangadilan secara horizontal, vertikal, dan spasial. Misalnya, karena
Pajak Penghasilan (PPh) selain gaji dan upah, seperti penghasilan bisnis, profesi,
pekerjaan bebas, natura, dan kenikmatan tidak terpungut administrasi pajak,
maka PPh Pasal 21 lebih besar daripada PPh Pasal 25/29 pengusaha.
Ketiga,
problematika administrasi. Bank Dunia (1991), IMF (1995, Tax Policy
Handbook), dan Matthijs Alink & Victor van Kommer (2015, Handbook on Tax
Administration) menyebut bahwa lembaga dan tata kelola administrasi pajak
negara-negara berkembang lemah karena interaksi berbagai faktor.
Termasuk
di antaranya ketentuan pajak yang banyak memberlakukan pembebasan dan
pengecualian, tata cara dan prosedur yang kompleks, kurangnya transparansi,
dan sistem informasi serta basis teknologi informasi kurang berfungsi efektif
dan efisien. Selain itu, korupsi dan pelarian modal/basis ke negara/kawasan
lain yang merupakan surga pajak (tax haven), penghindaran pajak, luasnya
sektor informal dan cash economy (transaksi barang dan jasa menggunakan uang
tunai sehingga tak terpungut pajak), intervensi politik dan investor, serta
perusahaan multinasional dengan nuansa persaingan pajak.
Lebih berkeadilan
Pasal
2(2) UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebut tiga tujuan
dari amnesti pajak, yakni: (1) percepatan pertumbuhan dan restrukturisasi
ekonomi melalui repatriasi harta, (2) mendorong reformasi perpajakan menuju
sistem yang lebih berkeadilan (hukum materiil) dan perluasan basis data
perpajakan yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi (hukum formal),
(3) meningkatkan penerimaan pajak.
Reformasi
pajak dapat menjadi unsur reformasi fiskal dan pembangunan ekonomi yang lebih
luas, seperti restrukturisasi ekonomi, sehingga strukturnya lebih maju.
Sesuai teori the level of tax determinants, Musgrave (Alex Radian, 1980,
Mobilizing Resources in Poor Countries) menyatakan, semakin maju struktur
ekonomi suatu negara semakin tinggi rasio pajaknya karena formalisasi sektor
informal dan giralisasi cash economy sehingga hampir semua potensi pajak
terhimpun pada sektor formal dan mudah mungut pajaknya.
Semakin
luas cakupan, besaran potensi pajak serta variasi dan tersebarnya subjek
pajak, maka keadilan distributif horizontal, vertikal, dan spasial lebih
terwujud. Keadilan horizontal PPh personal tercapai jika setiap orang yang
berpenghasilan sama membayar jumlah pajak sama.
Secara
sederhana itu dapat terwujud dari sistem schedular taxation (Pasal 4(2) UU
PPh) berbasis bruto dengan tarif flat sehingga sederhana dan mudah. Penegakan
hukum pada mereka yang tak patuh juga menimbulkan keadilan. Sementara
keadilan vertikal berupa progresivitas dapat dibentuk dari tarif dan objek
pajak yang komprehensif (IMF, 1995).
Secara
politik dan sosial, reformasi dengan kenaikan tarif tidak populer. Karena
itu, teori Laffer Curve (kurva atau grafik untuk menentukan tarif pajak yang
paling efektif untuk menghasilkan pendapatan pemerintah yang optimal)
menyarankan penurunan tarif agar penerimaan naik dari peningkatan kepatuhan.
Perluasan basis pajak dapat dilakukan melalui pelebaran obyek dan perluasan
definisi unsur penghasilan, perluasan yurisdiksi pemajakan (subyek, atribusi,
dan sumber penghasilan), pengurangan pengecualian obyek, penutupan celah
penghindaran (seperti pengenaan pajak minimum atas harta sebagai alternatif
PPh), pembatasan atau penundaan pengurang penghasilan (termasuk kompensasi).
Selain
itu, transformasi pemajakan dari sistem schedular (pemajakan setiap kategori
penghasilan berdasarkan sumber, jenis, tarif, dan dasar pengenaan) ke sistem
global (penjumlahan seluruh unsur penghasilan menjadi satu gunggungan dasar
pengenaan pajak, termasuk natura dan kenikmatan) dengan tarif progresif untuk
wajib pajak orang pribadi. Agar terbentuk keadilan spasial (antarwilayah),
tarif PPh harus moderat sebanding dengan negara sekitar. Supaya selaras
dengan daya beli, pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dapat disesuaikan dengan
indeks harga konsumen wilayah.
Peringanan
pajak si ekonomi lemah dapat meningkatkan daya beli mereka. Distorsi dapat
dikurangi dengan netralisasi pajak dan pengurangan efficiency cost of
taxation. Karena bukan alat pengukur keadilan dan daya beli, tarif
proporsional PPh badan sudah tepat.
Sebagai
alat mengukur daya saing sistem pajak bagi pebisnis dan investor dalam dan
luar negeri, tarif PPh badan harus moderat dan sebanding dengan lingkungan
strategis.
Sementara
itu, peningkatan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, dapat
dilakukan dengan perluasan basis pemajakan, menaikkan dasar pengenaan
mendekati harga konsumen, dan penutupan celah penggerusan PPN melalui faktur
pajak abal-abal. Misalnya, integrasi faktur komersial dan pajak dan sistem
daring administrasi perpajakan.
Integrasi data
Agar
mampu menghasilkan penerimaan yang cukup, kebijakan pajak yang tepat harus
didukung administrasi yang efektif dan efisien. Administrasi pajak akan
efektif jika mampu memaksimalkan kepatuhan wajib pajak ber-Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP); penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dilakukan secara
benar, lengkap dan jelas; meminimalkan penghindaran/kecurangan dan
penunggakan pajak, serta target tercapai. Efisien, jika biaya administrasi
dan biaya pungut murah.
Selain
karena lemahnya administrasi pajak, unsur penghambat upaya peningkatan
penerimaan pajak di negara-negara berkembang adalah kurangnya transparansi
serta lemahnya data dan informasi. Data, keterangan, dan informasi merupakan
unsur penting untuk bisa berfungsi efektif dan efisiennya sistem penghitungan
pajak sendiri oleh wajib pajak (self assessment) berdasarkan kepatuhan
sukarela (voluntary compliance).
Implementasi
UU Pajak memiliki arti bahwa penghimpunan data komprehensif dan valid
sehingga jika ditafsir dan diterapkan pada mayoritas wajib pajak dapat
merealisikan target penerimaan dengan upaya ringan. Apalagi jika sistem sudah
terintegrasi sehingga akan mengefektifkan pengecekan dini kepatuhan dan
penegakan hukum.
Oleh
karena itu, Pasal 2(2)(b) UU Nomor 11 Tahun 2016 menargetkan reformasi
administrasi pajak dengan perluasan basis data perpajakan yang lebih valid,
komprehensif (ruang lingkupnya luas dan isinya lengkap mencakup hampir semua
data perpajakan setiap wajib pajak) dan terintegrasi (terbaur secara sistemik
dari berbagi sumber data terakses sehingga membentuk kelengkapan data setiap
wajib pajak).
Deklarasi
Doha (November-Desember 2008) juga mengatur bahwa upaya peningkatan
penerimaan negara-negara berkembang harus dilakukan dengan modernisasi sistem
perpajakan, seperti otomasi berbasis IT. Integrasi data dari otomasi
administrasi dapat dimulai, misalnya, dengan integrasi faktur pajak ke faktur
komersial dan menjadikannya satu-satunya sumber pencatatan Pajak Keluaran
(PK) dan omzet (penjual dan kantor pajak) otomatis menjadi Pajak Masukan (PM)
pembeli dan harga pokok serta potensi omzetnya (pembeli dan kantor pajak).
Tidak ada PM pembeli tanpa ada PK yang dibayar dan dilaporkan penjual.
Otomasi
PPN menyederhanakan administrasi dan pengawasan serta mempercepat proses
restitusi dan kompensasi lebih bayar (tanpa pemeriksaan). Proses otomasi
administrasi dapat dilakukan secara gradual atau sekaligus sebagai terobosan
besar reformasi sistem pajak. Perluasan ke semua PPh witholding taxes (pemotongan dan pemungutan/Potput), plus
perluasan obyek mencakup penghasilan usaha sektor yang sulit dipajaki (hard
to tax) dan semua biaya yang menjadi penghasilan penerima untuk tujuan
memperluas komprehensivitas data sehingga bisa meningkatkan kepatuhan wajib
pajak dan penerimaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar