Menjaga
Kualitas Pilkada
Adi Prayitno ;
Dosen Politik FISIP UIN Jakarta;
Peneliti The Political Literacy
Institute
|
KORAN
SINDO, 26
Januari 2017
Dalam
hitungan hari gelaran pilkada serentak tahap kedua akan segera dilaksanakan
di 101 wilayah seluruh Indonesia. Rinciannya, 7 pilkada di tingkat provinsi,
18 pilkada di tingkat kota, dan 76 pilkada di level kabupaten. Hajatan lima
tahunan ini akan menjadi momentum memilih pemimpin populer yang mampu
meningkatkan kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan, dan menciptakan lapangan
kerja. Sebab, pilkada bukan semata ritual demokrasi tanpa arti, melainkan
ajang meningkatkan derajat kehidupan masyarakat melalui program kerakyatan.
Berulang
kali kita telah menyelenggarakan pilkada, namun tetap saja praktik demokrasi
substantif masih jauh panggang dari api. Sejumlah problem krusial seperti
money politics, netralitas birokrasi, rendahnya partisipasi, hingga gurita
politik dinasti yang terbukti korup. Praktik politik semacam ini menghambat
lahirnya pemimpin prorakyat. Pemenang pilkada adalah mereka yang miskin
komitmen memperbaiki kualitas hidup masyarakat di daerah. Dengan uang dan
mobilisasi birokrasi, mereka begitu digdaya menang dalam pilkada.
Karena
itu, kualitas pilkada mesti terus dijaga, baik dari segi teknis
penyelenggaraan, domain isu, politik beradab, serta melawan calon kepala
daerah yang terbukti tak membumi dan berasal dari keluarga korup. Tanpa menafikan
faktor penting teknis penyelenggaraan pilkada, ada empat variabel substantif
yang perlu diperhatikan secara serius guna merawat kualitas pilkada serentak
tahap kedua. Pertama, partisipasi pemilih. Mengacu pada pilkada serentak
tahap pertama pada 2015, kalkulasi partisipasi pemilih nasional rata-rata
70%.
Angka
ini menurun dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang mencapai 75%. Banyak faktor
yang mengakibatkan partisipasi menurun. Misalnya konflik antarpartai,
kandidat yang tak menjual atau bermasalah, hingga rendahnya tingkat
kepercayaan publik terhadap pilkada. Bagi mereka, pilkada hanya ajang pesta
pora pemburu kekuasaan yang abai terhadap persoalan mendasar publik. Anthony
Giddens dalam Runaway World (1999) mengatakan, menurunnya angka partisipasi
pemilih dalam sebuah negara demokratis disebabkan oleh kinerja pemerintah,
performa parpol, perilaku elite, serta kondisi ekonomi yang tak kunjung
membaik.
Demokrasi
hanya sebatas ajang ritual tanpa substansi. Silih berganti suksesi
kepemimpinan dilakukan secara berkala, namun tetap saja kesejahteraan dan
pemerataan hidup tak kunjung hadir. Pada saat bersamaan, kelakuan elite
semakin memamerkan sikap acuh terhadap persoalan-persoalan mendasar rakyat.
Akibatnya, publik apatis terhadap persoalan politik.
Publik
berkeyakinan, siapa pun yang jadi pemimpin, kesejahteraan sebatas janji indah
saat kampanye. Bahkan, tak sedikit pemimpin terpilih yang mempertontonkan
gaya hidup glamor menikmati hasil korupsi. Sejatinya, demokrasi kita yang
kian matang memberikan efek positif bagi lahirnya pemilih rasional. Yakni,
pemilih cerdas yang menambatkan pilihan hatinya pada pemimpin yang merakyat,
serta melawan calon kepala daerah yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua,
politik uang (money politics). Praktik
kotor ini inhern dalam politik elektoral kita. Hampir bisa dipastikan, semua
kontestan berusaha menjadikan uang sebagai mesin utama pendulang suara. Meski
ilegal, barter suara pemilih dengan ”uang segar” marak dilakukan. Tentu saja
money politics menjadi kisah pilu dalam pilkada kita. Ironis karena rakyat
dijadikan objek jual beli suara demi kemenangan elektoral. Tak ada lagi ruang
beradu argumen, visi misi, dan gagasan besar membangun daerah.
Yang
ada hanya ruang transaksi logistik antarelite dengan rakyat. Di tengah
pragmatisme hidup, para kontestan silih berganti menawarkan segepok cash
money sebagai kompensasi meraup dukungan. Imingiming logistik menandakan sang
kandidat miskin program. Tak ada lagi tata krama, kecuali hasrat berkuasa.
Alam bawah sadar rakyat dijejali janji palsu yang semu. Di era demokrasi
transaksional, uang nyatanya mampu menjadi alat politik mahaampuh meraih
dukungan di level grass root.Uang adalah raja yang secara perlahan menggiring
rakyat pada jurang kehancuran.
Dalam
konteks inilah moral politik dicampakkan ke tong sampah. Ketiga, netralitas
birokrasi yang hingga kini menjadi persoalan serius. Hasil evaluasi pilkada
serentak tahap pertama memperlihatkan birokrasi tetap menjadi instrumen
politik demi memobilisasi dukungan. Kandidat petahana merupakan pihak yang
paling mudah mengapitalisasi dukungan di semua level birokrasi. Bahkan, tidak
sedikit oknum aparat birokrasi yang menjadi tim pemenangan kandidat tertentu.
Modus kerjanya berjalan begitu rapi, terstruktur dan sistematis.
Hingga
tak ada yang mengira bahwa mereka bekerja memenangkan salah satu calon.
Godaan politik yang begitu besar mengakibatkan birokrasi kita sulit bekerja
profesional. Realitas ini makin menyuburkan nada peyoratif bahwa birokrasi
tetap menjadi sumber masalah, memihak, dan kerap menyalahgunakan fasilitas
negara. Padahal, birokrasi harus netral demi mewujudkan administrasi negara
yang bersih dan efisien, sesuai amanat konstitusi. Posisi birokrasi sebagai
kepanjangan pejabat harus kuat, mampu menghindar dari jebakan kepentingan
politik penguasa.
Di
banyak daerah birokrasi masih menjadi mesin politik yang ampuh untuk
memengaruhi pemilih. Penetrasi jaringan ke semua level semakin mempermudah
”kerja” aparat birokrasi memenangkan pasangan calon jagoannya. Keempat,
gurita politik dinasti. Secara umum, dinasti politik bernada negatif karena
selalu dikaitkan dengan korupsi. Sebab itu, dinasti politik sering mendapat
perlawanan, jika bukan penolakan, di banyak daerah.
Kampanye
antipolitik dinasti didasarkan pada realitas korupsi di sejumlah daerah
seperti di Banten dilakukan Ratu Atut Chosiyah. Teranyar adalah korupsi
Bupati Klaten, Sri Hartini yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK
dalam kasus suap. Realitas ini yang membuat politik dinasti harus diamputasi.
Ruang gerak politik dinasti sempat dibatasi dalam UU Nomor 8/2015 tentang
Pilkada. Namun, undang-undang ini dianulir Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review yang dilakukan oleh
pasangan calon kepala daerah dengan alasan inkonstitusional dan membatasi hak
politik warga negara.
Ketua
KPK Agus Rahardjo, dalam banyak kesempatan, mengungkapkan pentingnya melawan
dominasi politik dinasti. Baginya, politik dinasti di mana pun akan selalu
menyuburkan praktik politik yang manipulatif, kotor, dan mendistorsi struktur
masyarakat. Politik dinasti adalah aib dari praktik demokrasi elektoral saat
ini.
Karena
itu, sebagai upaya merawat kualitas pilkada, menjadi penting menjaga
netralitas birokrasi, meningkatkan partisipasi pemilih rasional, melawan
politik uang, serta memutus mata rantai politik dinasti. Semua hal ini
dilakukan sebagai ikhtiar untuk membangun demokrasi yang substantif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar