Minggu, 04 Maret 2018

Tantangan Gubernur Baru BI

Tantangan Gubernur Baru BI
Paul Sutaryono  ;   Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
                                                        KOMPAS, 03 Maret 2018



                                                           
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardoyo  segera mengakhiri masa jabatannya pada  Mei 2018. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardoyo  segera mengakhiri masa jabatannya pada  Mei 2018. Muncul empat nama calon gubernur BI, yakni Agus DW Martowardoyo, Perry Warjiyo, Muhammad Chatib Basri dan Bambang Brodjonegoro, namun  kemudian mengerucut menjadi satu nama,  yaitu Perry Warjiyo. Apa saja tantangan Gubernur baru?

Pertumbuhan ekonomi pada 2018, menurut BI, berada pada kisaran 5,1-5,5 persen, terutama didorong permintaan domestik. Inflasi diperkirakan pada kisaran 3,5 persen plus minus 1 persen. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit perbankan masing-masing diperkirakan 9-11 persen dan 10-12 persen. Defisit transaksi berjalan meski diperkirakan sedikit naik,  tetap di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Aneka tantangan

Terdapat tantangan eksternal dan internal. Pertama, satu tantangan eksternal adalah rencana bank sentral AS (The Fed)  menaikkan suku bunga acuan (The Fed Fund Rate/FRR) sebanyak tiga kali pada 2018. Namun, pada akhir Januari 2018, The Fed mempertahankan FRR pada level 1,25-1,5 persen.

Untuk itu, BI harus mengantisipasi perubahan FRR yang dapat memengaruhi suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR). Hal itu dapat melahirkan dilema. Ketika FFR naik tiga kali, kemungkinan besar BI 7 DRRR tak akan mampu bertahan. Hal itu bisa memperderas larinya dana asing sehingga melemahkan kurs rupiah. Di sisi lain, BI ingin meluluskan target pemerintah  mencapai  bunga kredit satu digit (single digit).

Ketika BI 7 DRRR semakin mini,  menyentuh 4,25 persen, sudah semestinya kucuran kredit akan makin deras lantaran suku bunga kredit sudah mulai turun. Tetapi kenyataannya tidak. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 18 Januari 2018 menunjukkan kredit hanya tumbuh 7,52 persen selama setahun, dari Rp 4.110 triliun per November 2016 menjadi Rp 4.419 triliun per November 2017.

Tentu saja, ini tantangan bagi BI untuk terus mendorong bank supaya memperderas penyaluran kredit. Salah satu jurus moneter yang dapat dimainkan BI adalah dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM) setelah meluncurkan GWM rata-rata. Jurus itu akan memberikan ruang likuiditas lebih leluasa bagi bank untuk menyalurkan kredit. GWM merupakan dana yang wajib dipelihara bank di bank sentral dalam bentuk rekening giro dalam jumlah tertentu.

Celakanya, sektor riil masih suka wait and see hasil pilkada 171 daerah pada 2018. Kondisi mandek demikian akan membuat produksi tidak optimal ditambah dengan konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,95 persen pada 2017 menipis dari 5,01 persen pada 2016. Namun sektor konsumsi rumah tangga tetap dominan dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi mengingat kontribusinya paling tinggi, 56,13 persen terhadap PDB, dibandingkan dengan sektor lain. Sektor investasi dan ekspor masing-masing tumbuh lebih subur 6,15  dan 6,93 persen tetapi dengan kontribusi lebih rendah.

Adalah tugas pemerintah untuk menggenjot sektor konsumsi rumah tangga dengan memperbanyak program padat karya tunai (cash for work) dan padat karya desa. Bank pun dituntut  memainkan peran lebih garang lagi dengan menyalurkan kredit ke sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Coba cermati, sektor pertanian mampu menyerap 31,86 persen, perdagangan 23,37 persen dan manufaktur 20,49 persen tenaga kerja. Ketiga sektor itu sanggup menyerap 75,72 persen dari seluruh tenaga kerja pada 2017 (BPS).

Selain itu, sektor swasta dapat mendorongnya dengan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) melalui program padat karya juga. Sebut saja, memugar sekolah, tempat ibadah, jembatan di perdesaan dan rumah masyarakat tingkat bawah. Aktivitas itu diharapkan  mempekerjakan banyak tenaga kerja. Upaya ini dapat membantu pemerintah  mendongkrak  konsumsi rumah tangga. Makin tinggi penyerapan tenaga kerja  makin tinggi pula  menekan angka kemiskinan yang mencapai 10,12 persen atau 26,58 juta orang per September 2017.

Kedua, sekalipun segregasi wewenang dan tugas antara BI dan OJK sudah terang benderang,  kedua pendekar itu tetap wajib saling  koordinasi. BI dan OJK masing-masing menangani kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Liriklah koordinasi pengawasan antara Bank of Japan (BoJ) dan OJK Jepang (Financial Services Authority/FSA). Dalam kondisi tertentu, BoJ dapat mengundang FSA untuk membahas masalah krusial yang terjadi atau sebaliknya. Koordinasi seperti itu dapat menjadi contoh bagi kedua pendekar nasional itu.

Ketiga, perusahaan teknologi finansial (tekfin) ternyata memberi hikmah tersendiri. Lahirnya perusahaan tekfin menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini kurang dapat menjangkau akses perbankan nasional. Karena itu, baik BI maupun OJK wajib mengawal pertumbuhan perusahaan tekfin yang begitu pesat. Jumlah pinjaman mengorbit ke angkasa 802,32 persen dari Rp 02,8 triliun per 2016 menjadi Rp 2,56 triliun per 2017. Jumlah kreditor atau investor terbang tinggi 602,73 persen dari 14.364 orang menjadi 100.940 orang. Jumlah debitor melesat 581,37 persen dari 38.105 orang menjadi 256.635 orang pada periode yang sama (Kontan, 6/2/2018).

Pun kedua otoritas itu hendaknya menetapkan aturan dan memberi kesempatan  luas kepada perusahaan tekfin untuk  kian berkembang. Sarinya, perusahaan tekfin perlu diatur tetapi tak dibatasi untuk terus tumbuh dan berkembang. Ingat,  setiap aturan harus memprioritaskan perlindungan baik debitur maupun investor yang menitipkan dananya ke perusaaan tekfin.

Uang virtual

Keempat, uang virtual seperti bitcoin perlu menjadi perhatian penuh. Selama ini BI sudah melarang bitcoin sebagai alat pembayaran. Demikian pula OJK. Sebaliknya, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sedang mempertimbangkan bitcoin dalam daftar subjek kontrak berjangka di Indonesia yang diperkirakan akan tuntas pada Juli 2018.

Untuk melindungi kepentingan konsumen, sudah sepatutnya otoritas— baik pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, BI, OJK maupun Bappebti— duduk bersama  memutuskan nasib uang virtual. Hal ini penting dan mendesak supaya uang virtual itu tak menjadi bola salju yang terus menggelinding makin membesar. Dengan bahasa lebih bening, investor yang mengharapkan untung tinggi bisa jadi akan buntung pada akhirnya. Mengapa? Lantaran sejatinya uang virtual juga menyimpan aneka potensi risiko (inherent potential risks).

Cepat atau lambat potensi risiko akan muncul di permukaan karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab seperti halnya mata uang resmi rupiah. Selain itu, tidak ada penanggung jawab aset yang mendasari (underlying assets) harga uang virtual mengingat harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Siapa akan melindungi kepentingan konsumen? Tak ada. Konsumen akan menjadi korban tanpa ada yang membela. Oleh karena itu, inilah tugas otoritas untuk melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai madu (manfaat) dan racun (potensi risiko) uang virtual kepada publik.

Hendaknya BI bergabung dengan bank sentral negara lain dalam membahas uang virtual untuk melindungi kepentingan konsumen. Hal itu bertujuan agar BI tak ketinggalan kereta uang virtual yang melaju makin lama makin kencang.

Kelima, suku bunga dasar kredit (SBDK) alias prime lending rate. SBDK yang di Malaysia disebut base lending rate itu berlaku efektif 31 Maret 2011. Sebanyak 42 bank dengan total aset minimal Rp 10 triliun per 28 Februari 2011 wajib mengumumkan SBDK melalui laman, koran dan seluruh kantor cabang bank. SBDK adalah bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank.

Tetapi SBDK belum memuat premi risiko (risk premium) individual nasabah bank. Premi risiko mempresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitor yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitor, jangka waktu kredit dan prospek usaha yang dibiayai. Intinya, SBDK tidak sama dengan bunga kredit yang dikenakan bank kepada debitor.

Mestinya SBDK menjadi instrumen moneter yang sanggup mengendalikan suku bunga kredit secara signifikan. Namun setelah berjalan selama lima tahun, hal itu belum terwujud. Akhirnya pada 16 Maret 2016, OJK menetapkan batas atas (capping) suku bunga deposito maksimal 100 basis poin (bps) di atas suku  bunga acuan untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) III (modal inti Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun) dan maksimal 75 bps di atas suku bunga acuan untuk BUKU IV (modal inti di atas Rp 30 triliun).

Kebijakan itu bertujuan untuk mencegah perang suku bunga deposito. Ujungnya, suku bunga kredit dapat terjangkau sektor riil sehingga kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) makin rendah. Ketika roda sektor riil kian kencang bergerak, maka ekonomi bakal tumbuh kian subur.

Oleh sebab itu, adalah lebih strategis bagi BI untuk menetapkan batas atas premi risiko untuk menekan suku bunga kredit. Mengapa? Karena premi risiko dan margin keuntungan (profit margin) merupakan variabel yang sepenuhnya dikendalikan bank. Dengan demikian, suku bunga kredit dapat ditekan sedemikian rupa.

Keenam, Rancangan Undang-Undang (RUU) ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Tentu BI wajib mendorong pengesahan RUU itu yang kini sedang dibahas DPR dan pemerintah. Segera setelah RUU itu disahkan menjadi UU, maka terciptalah resiprositas antarnegara ASEAN. Alhasil, bank nasional tak lagi mengalami kesulitan untuk membuka kantor di negara ASEAN.

Tatkala aneka tantangan itu dapat dihadapi dengan sigap, maka Bank Indonesia akan kian mampu memberikan kontribusi dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar