Jumat, 02 Maret 2018

Bunker Wakil Rakyat

Bunker Wakil Rakyat
Violla Reininda  ;   Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan (Pusaran)
Universitas Tarumanagara, Jakarta
                                                  DETIKNEWS, 28 Februari 2018



                                                           
Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memang mengejutkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang tinggal menandatangani pengesahan, terkejut. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, yang berpartisipasi dalam pembahasan, terkejut. Ketua DPR Bambang Soesatyo pun ikut terkejut.

Mulanya, revisi hanya ditujukan untuk menambah kursi pimpinan DPR dan MPR, khususnya bagi partai pemenang Pemilu 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang tidak mendapatkan jatah akibat perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR dari secara otomatis ditempati partai dengan kursi terbanyak menjadi pemilihan (Pasal 84 UU MD3, Putusan MK Nomor 73/PUU-XII/2014). Namun, materi pembahasan meluas hingga menimbulkan polemik. DPR ingin menahbiskan diri sebagai lembaga superpower.

Kontroversi dimulai dari Pasal 73, yang mewajibkan polisi memanggil paksa siapapun yang diperintahkan DPR, sampai bisa disandera. Dengan pasal ini, andai dipanggil lagi tetapi tidak memenuhi panggilan seperti sebelumnya, personel KPK bisa dipaksa, bahkan disandera.

Kontroversi lain terdapat dalam Pasal 122 huruf k, yang memberikan wewenang bagi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap siapapun yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR (contempt of parliament), yang ukurannya tidak jelas. Kritik ataupun warta bila terdengar sumbang bisa dianggap hinaan.

Terakhir, Pasal 245 tentang hak imunitas DPR. Persetujuan Presiden terhadap pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana terlebih dulu melalui pertimbangan MKD. Dengan demikian, kelak akan sulit mendudukkan anggota DPR yang terjerat kasus ke kursi pesakitan. Kendati, pasal ini tidak berlaku untuk tindak pidana khusus seperti korupsi.

Pasal-pasal tersebut luar biasa mengancam muruah negara hukum dan demokrasi konstitusional. UU MD3 bagi DPR kini bagai perisai milik salah satu tokoh fiksi di komik Marvel, Captain America, yang bisa menjadi tameng dan senjata sekaligus. Menyadari keberadaan "perisai" tersebut, trio Presiden, Menkumham, dan Ketua DPR bergeming, tak berupaya menghalangi persetujuan pasal-pasal tersebut. Mungkin saking kagetnya.

Siapa Tanggung Jawab?

Melalui akun Twitter-nya, Rabu (21/02), Presiden Jokowi mencuitkan kata-kata mutiara untuk menenangkan hati rakyat, bahwa draf RUU MD3 sudah di mejanya, tetapi belum ditandatangani. Katanya, ia memahami keresahan masyarakat tentang hal ini dan menginginkan kualitas demokrasi terus meningkat.

Pada kesempatan lain Jokowi mengungkapkan tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan revisi UU MD3. Orang nomor satu itu malahan mendorong masyarakat yang tidak sepakat untuk berbondong-bondong mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Menkumham Yasonna, UU MD3 berakhir demikian karena ia tidak sempat menginformasikannya kepada Presiden.

Membaca pemberitaan UU MD3, saya sempat kaget. Namun, setelah menyimak pernyataan Presiden dan Menkumham, tanggapan saya seperti meme yang kerap beredar di internet, "disappointed, but not surprised" (kecewa, tetapi tidak heran).

Ibarat sehabis bermain di lumpur, pakaian kotor di badan sendiri, tetapi orang lain yang disuruh bersihkan. Ditandatangani atau tidak, RUU tetap akan menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 Ayat [4] dan [5] UUD 1945). Sebab, DPR dan pemerintah yang diwakili Menkumham telah menyetujui bersama undang-undang tersebut dengan ketukan palu di sidang paripurna. Etikanya, Presiden tidak boleh tidak menandatangani karena telah mengirimkan wakilnya, dalam hal ini Menkumham, untuk membahas RUU hingga menghasilkan sebuah keputusan, yaitu persetujuan bersama.

Meski tidak selama undang-undang lainnya, revisi UU MD3 dibahas tidak dalam jangka waktu yang singkat dan mepet. Penyusunannya telah melewati proses yang cukup panjang. Pembahasannya pun tidak dilakukan oleh DPR semata. Pemerintah juga memiliki andil (Pasal 20 Ayat [2] UUD 1945).

Persetujuan RUU sebenarnya bisa dicegah. Pada Pembicaraan Tingkat I, tepatnya di rapat kerja, Presiden melalui Menkumham dapat menyampaikan pandangannya mengenai substansi RUU, baik menyepakati materi maupun memberikan masukan untuk penyempurnaan (Pasal 68 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan [UU P3]); Pasal 144 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014).

Setelah Pembicaraan Tingkat I selesai, pembahasan RUU naik ke Pembicaraan Tingkat II, yaitu pengambilan keputusan di rapat paripurna (Pasal 69 UU P3; Pasal 152 Peraturan DPR 1/2014). Pada tahap ini, Presiden memberikan persetujuan final untuk menerima RUU atau menolaknya. Apabila disetujui bersama, RUU disahkan lalu kemudian diundangkan dan berlaku umum. Namun, jika tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tidak boleh lagi diajukan dalam persidangan DPR di masa itu (Pasal 20 ayat [3] UUD 1945).

Sangat disayangkan, tindakan preventif tersebut tidak dilaksanakan. Alasannya, Menkumham tidak sempat melaporkannya kepada Presiden. Ini adalah sebuah kecerobohan yang amat fatal. Pada akhirnya, rakyat yang mesti membenahi kekacauan yang dibuat pemegang kekuasaan.

Pilihan Presiden untuk tidak menerbitkan Perppu adalah tepat, sebab bukan pilihan yang efektif. DPR tidak mungkin memberikan persetujuan atas pengurangan privilesenya. Oleh karena itu, lebih baik Presiden Jokowi segera meneken RUU MD3, supaya masyarakat bisa menjalankan sarannya, yakni berbondong-bondong mengajukan judicial review ke MK.

Konsekuen Mundur

Aziz Huq dan Tom Ginsburg dalam How to Lose a Constitutional Democracy (2017) mengemukakan terdapat tiga komponen esensial demokrasi, yaitu pemilu yang bebas dan adil, kemerdekaan berpendapat dan berkumpul, serta negara berdasarkan hukum. Disetujuinya revisi UU MD3 ini akan mereduksi esensi poin kedua dan ketiga yang berujung pada lenyapnya demokrasi konstitusional dan membentangkan karpet merah bagi deteriorasi kualitas demokrasi secara formal.

Masih hangat di benak kita bagaimana para pembentuk undang-undang menyetujui Perppu Ormas, yang memberikan kewenangan kepada penguasa untuk membubarkan organisasi masyarakat tanpa proses hukum (due process of law). Atau, aturan tentang ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang menutup pintu bagi lebih banyak calon alternatif.

Persetujuan bersama antara DPR dan presiden dalam pembentukan undang-undang pada dasarnya merupakan bentuk check and balances. Semua RUU tidak akan lolos menjadi undang-undang bila presiden menolak. Namun apa daya, kali ini, Jokowi "kecolongan", sehingga lagi-lagi rakyat yang kena getahnya.

Memang, mekanisme judicial review masih dapat ditempuh untuk menginvalidasi undang-undang. Namun, ketika makin banyak undang-undang yang diajukan ke meja hakim konstitusi, proses legislasi oleh pembentuk undang-undang patut dipertanyakan.

Apapun keputusan Jokowi terkait pengesahan UU MD3, hendaknya tidak diwartakan di halaman terdepan media sebagai berita sukacita. Cukup diletakkan di kolom orbituari saja. Sebab, hingga suatu saat dibatalkan oleh MK, revisi UU MD3 akan terus menjadi berita duka bagi kita, rakyat Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar