Sabtu, 30 Desember 2017

”Jalur Cepat” Mengangkat Kawasan Timur

”Jalur Cepat” Mengangkat Kawasan Timur
Mohammad Final Daeng dkk ;  Wartawan Kompas
                                                    KOMPAS, 22 Desember 2017



                                                           
Tol laut, program andalan Presiden Joko Widodo yang mulai diwujudkan pada November 2015, jadi harapan besar masyarakat di kawasan timur Indonesia. ”Jurus” itu diandalkan sebagai solusi masalah abadi, yakni mahalnya harga-harga barang kebutuhan pokok dan barang-barang penting lain.

Program berupa pelayaran kargo rutin bersubsidi itu melayani sejumlah rute barat-timur Nusantara. Rute-rute tersebut bersifat tetap dan berjalan teratur: ada atau tidak ada muatan. Hingga 2017, tol laut memiliki 13 rute (tujuh rute dijalankan Pelni dan enam rute oleh swasta), yang menyinggahi 41 pelabuhan.

Pelabuhan asal tol laut adalah kota-kota besar sumber berbagai barang kebutuhan pokok dan penting, yakni Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Adapun yang jadi pelabuhan tujuan tak lain adalah daerah-daerah terpencil, terdepan, dan tertinggal, terutama di kawasan timur. Daerah-daerah itu tersebar di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

Alur barang dari barat, terutama Pulau Jawa sebagai pusat produksi dan distribusi ke wilayah timur, harus menempuh jarak ribuan kilometer sehingga berbiaya tinggi. Ongkos pun kian membengkak karena pengusaha pelayaran memasukkan perhitungan muatan balik dari kawasan timur yang minim, bahkan kerap kosong melompong.

Kapal-kapal pelayaran besar biasanya juga tidak singgah di daerah-daerah terpencil, terdepan, dan tertinggal sehingga barang harus diredistribusikan melalui pelabuhan pengumpul atau ibu kota provinsi. Lagi-lagi, dampaknya pada biaya.

Semakin jauh ke timur, semakin mahal pula ongkos transportasinya, maka semakin lebar pula disparitas harga yang harus ditanggung masyarakat. Belum lagi jika terjadi ketersendatan akibat kurangnya pasokan atau hambatan cuaca buruk, maka harga akan makin melambung.

Subsidi pengangkutan

Tol laut hadir untuk menerobos masalah itu. Komponen paling utama adalah subsidi biaya pengangkutan sehingga harga bisa ditekan menjadi lebih murah. Pada 2017, pemerintah mengucurkan Rp 380 miliar untuk subsidi tol laut. Tahun depan, subsidi meningkat hingga Rp 426 miliar, dengan rencana penambahan empat rute baru.

Khusus dari barat ke timur, barang yang boleh menggunakan tol laut adalah barang kebutuhan pokok dan barang penting. Definisi barang-barang itu mengikuti Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Barang kebutuhan pokok ialah beras, kedelai, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar. Adapun barang penting mencakup benih padi, jagung, dan kedelai, serta pupuk, elpiji 3 kilogram, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.

Selain subsidi, jadwal kapal juga dibuat teratur untuk menghilangkan gejolak harga akibat muatan yang tak tentu datang dan berangkatnya. Pengaturan ini sekaligus membuka peluang baru bagi perekonomian daerah melalui arus balik tol laut. Hasil bumi dari kawasan timur dapat lebih mudah dipasarkan ke kota-kota besar.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada suatu kesempatan menyampaikan, tol laut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mewujudkan paradigma trade follow the ship (perdagangan mengikuti kapal). Jika rute pelayaran dibuka dan berjalan rutin, perdagangan akan tumbuh bersamanya.

Pertanyaannya, setelah berjalan dua tahun, apakah tujuan tol laut telah tercapai? Di sejumlah daerah yang disinggahi rute tol laut, pemerintah mengklaim harga barang kebutuhan pokok dan penting turun sebesar 20-25 persen. Benarkah demikian?

Dugaan monopoli

Namun, sesuai pantauan di sejumlah daerah, harga-harga barang tetap mahal. Kondisi ini salah satunya ditemukan tim Kompas, Oktober lalu, di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.

Sejumlah faktor diduga menjadi penyebab. Salah satunya adalah ulah oknum pengusaha yang menggunakan angkutan bersubsidi itu, tetapi tetap menjual barang di daerah tujuan dengan harga sama. Hal ini berkaitan dengan dugaan adanya monopoli tol laut oleh pihak tertentu agar tetap mengendalikan harga.

Ada pula masalah masih terlalu renggangnya jadwal kunjungan kapal di pelabuhan-pelabuhan tujuan. Hal itu, misalnya, terjadi di Biak, Papua. Biak dilayani oleh rute tol laut Surabaya-Manokwari-Wasior-Nabire-Serui-Biak. Perjalanan kapal pergi-pulang dalam rute itu memakan waktu 34 hari.

Panjangnya rute dan jadwal singgah yang renggang karena hanya dilayani oleh satu kapal membuat pasokan barang menjadi terbatas. Dari 115 peti kemas yang diangkut dari Surabaya, Biak rata-rata mendapatkan 40 peti kemas. Itu pun sebagian didistribusikan lagi ke kabupaten tetangga, Supiori. Padahal, kebutuhan Biak mencapai 130 peti kemas per bulan. Alhasil, pasokan barang dari tol laut gagal memengaruhi pembentukan harga wajar di daerah itu.

Panjangnya rute dapat diatasi dengan menambah armada yang beroperasi dalam satu trayek. Hal ini sekaligus akan menambah volume barang yang terangkut sehingga sasaran untuk menurunkan harga dapat tercapai. Untuk itu, pemerintah dan operator tol laut berencana menambah jumlah armada pada 2018.

Terkait ulah pengusaha nakal dan monopoli, saat diskusi kelompok terarah bertajuk ”Pembekalan Etika dan Wawasan Kebangsaan Penyelenggaraan Program Tol Laut dan Pembahasan Trayek Tol Laut Tahun Anggaran 2018” di Surabaya, 20 November 2017, PT Pelni melakukan nota kesepahaman (MOU) dengan sejumlah pemerintah daerah yang disinggahi tol laut. MOU dilakukan untuk memastikan tidak ada monopoli penggunaan kuota tol laut yang menyebabkan harga tidak turun karena barang-barang dikuasai satu pihak.

Selain itu, pemerintah telah menunjuk sejumlah pihak swasta dan BUMN untuk mengelola ”Rumah Kita”, pusat logistik di titik-titik jalur tol laut. Fasilitas yang telah berdiri di 19 lokasi itu dibangun guna menampung barang yang diangkut melalui tol laut, kemudian mendistribusikannya ke masyarakat.

Ketua Laboratorium Penelitian, Pengkajian, dan Pelatihan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura, Teddy Christianto Leasiwal, berpendapat, perlu ada pengawalan terorganisasi dari pemerintah pusat hingga daerah. Pengawalan itu termasuk pengendalian harga jual di pasar untuk barang-barang yang diangkut melalui tol laut.

Sementara itu, dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Hasanuddin, Agussalim, memandang solusi jangka panjang yang harus ditempuh pemerintah untuk memangkas disparitas harga adalah meningkatkan kapasitas produksi daerah-daerah di kawasan timur. Jika produksi meningkat, lanjutnya, biaya logistik otomatis akan turun karena neraca perdagangan yang berimbang antara kawasan barat dan timur.

Masyarakat di kawasan timur pun terus menanti penyempurnaan tol laut untuk menerobos berbagai kendala itu. Seperti namanya, tol laut diharapkan menjadi ”jalur cepat” mengangkat kesejahteraan kawasan tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar