Jumat, 05 Januari 2018

Catatan Kaki atas Kenaikan Kemudahan Bisnis dan Investasi

Catatan Kaki atas
Kenaikan Kemudahan Bisnis dan Investasi
Carunia Mulya Firdausy ;  Profesor Riset LIPI;
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tarumanagara
                                          MEDIA INDONESIA, 26 Desember 2017



                                                           
KEBERHASILAN Indonesia menaikkan peringkat kemudahan berbisnis, atau ease of doing business (EODB), dari peringkat ke-106 pada 2016 menjadi ke-72 pada 2018 dan kenaikan peringkat utang dari BBB- menjadi BBB oleh lembaga pemeringkat Fitch Rating minggu lalu patut diacungi dua jempol. Pasalnya, dengan kenaikan kedua peringkat tersebut berarti ruang untuk menjadikan bisnis dan investasi sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi 2018 makin besar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kenaikan peringkat tersebut merupakan salah satu konfirmasi mengenai pengelolaan APBN yang baik. Pernyataan senada juga diungkapkan Deputi Gubernur Bank Indonesia Rosmaya Hadi, bahwa kenaikan tersebut menandakan pemerintah berhasil membuat kebijakan moneter yang mampu meredam aliran gejolak aliran modal.

Khusus untuk kenaikan peringkat kemudahan berbisnis, Presiden Jokowi kemudian menginginkan peringkat kemudahan berbisnis pada 2019 dapat diupayakan berada pada rangking ke-40. Keinginan Presiden tersebut tentu sah-sah saja.

Hal itu disebabkan berbagai dukungan kebijakan dan program yang disiapkan Presiden Jokowi ke arah capaian posisi kemudahan berbisnis tersebut baik langsung maupun tidak langsung telah ada.

Misalnya, pembangunan infrastruktur, deregulasi, 16 paket kebijakan ekonomi, program antikemiskinan dan ketimpangan pendapatan, peningkatan kualitas SDM, dan sebagainya dan seterusnya.

Hal yang sama juga dengan naiknya peringkat utang menjadi BBB. Kenaikan peringkat utang itu dapat menstimulasi masuknya modal asing ke Indonesia. Hal itu disebabkan dengan meningkatnya peringkat utang Indonesia, Indonesia menjadi semakin layak investasi.

Apalagi, predikat layak investasi itu tidak hanya diberikan lembaga pemeringkat Fitch, tetapi juga oleh Moody's Investors Service (per 9 Februari 2017) dan Standard and Poor's (per 19 Mei 2017).

Perlu Kehati-hatian

Namun, kehati-hatian untuk meningkatkan kemudahan berbisnis dan investasi mutlak diperlukan. Untuk kenaikan peringkat kemudahan berbisnis, paling tidak terdapat dua catatan kaki yang harus didalami dan dikalkulasi dengan benar.

Pertama, menyangkut substansi indeks kemudahan berbisnis itu sendiri.

Kedua, menyangkut implikasi dari indeks kemudahan berbisnis bagi pembangunan nasional berkelanjutan.

Catatan kaki untuk perluasan investasi meliputi efek terhadap APBN 2018 di satu pihak dan kemampuan menyerap lapangan kerja di pihak lain. Menyangkut substansi indeks kemudahan berbisnis, indeks itu memilik 10 subindeks.

Kesepuluh subindeks tersebut meliputi subindeks memulai usaha, perizinan pendirian bangunan, penyambungan listrik, pendaftaran properti, akses perkreditan, perlindungan terhadap investor minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, penegakan kontrak, dan penyelesaian perkara kepailitan.

Aspek yang diukur dari tiap subindeks secara umum fokus pada aspek prosedur, waktu dan biaya. Untuk subindeks memulai usaha, misalnya, yang diukur ialah apakah prosedur, biaya dan waktu memulai usaha sederhana/mudah, murah, dan cepat.

Hal yang sama juga diukur untuk subindeks perizinan pendirian bangunan, penyambungan listrik, pendaftaran properti, penegakan kontrak bisnis dan perdagangan lintas negara. Sisanya, seperti akses perkreditan, mengukur antara lain kekuatan aspek legal pinjaman dan kedalaman informasi pinjaman.

Sementara itu, subindeks pembayaran pajak mengukur jumlah pembayaran pajak, jumlah jam per tahun yang diperlukan dalam pengembalian pajak, dan besarnya pajak yang harus dibayar dari keuntungan kotor perusahaan.

Setelah mendalami kesepuluh substansi subindeks itu, jelas bahwa indeks kemudahan berbisnis diperuntukkan hanya mengukur secara agregat regulasi yang berdampak secara langsung terhadap kegiatan bisnis dan bukan ditujukan mengukur kondisi ekonomi secara umum di suatu negara, seperti kondisi makroekonomi, kualitas infrastruktur, inflasi, daya saing, kemiskinan, tingkat kejahatan, dan lain-lain.

Oleh karena itu, upaya peningkatan indeks kemudahan berbisnis berada pada posisi 40 pada 2019 dengan cara memperbaiki tiap subindeks dengan segala aspek yang diukur di dalamnya perlu hati-hati.

Pasalnya indeks tersebut tidak mampu mengukur semua aspek lingkungan bisnis yang diperlukan perusahaan/investor seperti kondisi makroekonomi, tingkat pengangguran, stabilitas, atau kemiskinan dan apalagi kekuatan dan kelemahan sistem keuangan global, sistem dan kondisi keuangan negara, peraturan negara dengan segala persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan yang akan berbisnis di Indonesia.

Kehati-hatian juga sangat diperlukan menyikapi implikasi terhadap apa yang akan terjadi dengan meningkatkan posisi indeks kemudahan berbisnis di masa datang. Kehati-hatian dimaksud terutama terhadap implikasi dari empat subindeks, yakni subindeks memulai usaha, perizinan pendirian bangunan, pendaftaran properti dan perdagangan lintas negara.

Keempat subindeks ini jika peringkatnya ditingkatkan dikhawatirkan menimbulkan 'matinya' sektor informal, kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang berkualitas rendah, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan lain-lain.

Hal itu disebabkan terbukanya kemudahan memulai usaha, misalnya, akan mendorong masuknya usaha-usaha besar yang kemudian mematikan usaha di sektor informal dan usaha kecil dan menengah (UKM) dan selanjutnya menimbulkan pengangguran, kemiskinan, dan meningkatnya ketimpangan pendapatan.

Implikasi yang sama juga potensial dapat terjadi akibat naiknya peringkat utang. Selain memengaruhi kebijakan fiskal sebagai akibat beban pembayaran utang yang meningkat, itu dapat berimplikasi bagi upaya menekan inflasi dan suku bunga.

Apalagi, jika kita tidak mampu menekan capital outflow yang potensial terjadi sebagai dampak kebijakan kenaikan suku bunga di Amerika baru-baru ini dan dinamika perekonomian global yang masih belum menentu.

Singkatnya, kebanggaan kita terhadap meningkatnya posisi kemudahan berbisnis dan kenaikan rating utang Indonesia yang diperoleh saat ini tidak dapat secara sederhana untuk dimaksimalkan tanpa mengkaji dengan baik kondisi, karakteristik dan struktur mikro dan makro perekonomian negara dan masyarakat maupun siklus bisnis yang akan terjadi di masa mendatang.

Apalagi, komitmen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif telah dijadikan moto pembangun ekonomi jangka panjang nasional. Tanpa memerhatikan catatan kaki tersebut, kenaikan peringkat kemudahan berbisnis dan utang di atas diyakini akan memberikan mudarat daripada manfaat bagi Indonesia. Semoga yang didapat ialah manfaat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar