AS
vs Tiongkok, Keuntungan Indonesia
Effnu Subiyanto ; Senior Advisor CikalAFA-Umbrella;
Direktur Koridor; Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Januari 2017
BARU
saja dilantik sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat, hampir seluruh
kebijakan Donald Trump sudah membuat cemas banyak negara. Politik proteksi
ekonomi yang sangat bertolak belakang dengan kebijakan presiden sebelumnya
memunculkan pertanyaan mendasar, yakni apakah kondisi ekonomi AS saat ini
demikian gawat sehingga memerlukan proteksi ketat? Selama ini AS dikenal
sebagai negara dengan patron ekonomi liberal, kebebasan pasar, dan kapitalis,
sementara Trump menampilkan fakta yang sama sekali berbeda.
Ekonom-ekonom
AS pun selalu beraliran liberalisme seperti Irving Fisher, Joseph E Stiglitz
(MIT), Robert Eisner, Alan Greenspan, Edmund S Pelps, dan Paul Krugman.
Ekonomi proteksionis yang dikenalkan Adam Smith (1776) dan didalami David
Ricardo (1815) pada zaman klasik sudah lama ditinggalkan. Ada beberapa hal
yang menyebabkan Trump bersikap demikian protektif. Indikator ekonomi AS saat
ini memang parah jika dibandingkan dengan kekuatan PDB-nya yang berkisar
US$16,77 triliun. Defisit anggaran melesat mencapai 4,4% PDB, jumlah utang
pemerintahnya sudah 106% PDB.
Jumlah
total utang luar negeri AS saat ini mengambil porsi 40,8% dari seluruh jumlah
utang di dunia. Karena itu, Trump langsung mengambil kebijakan kontroversial
pada awal pemerintahannya. Jika Obama menginisiasi lahirnya blok perdagangan
Trans-Pacific Partnership (TPP), Trump melepas keterlibatan AS dari TPP.
Kerja sama perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA) pun juga dievaluasi. Pada
masa Obama, TPP beranggotakan 12 negara, yaitu Kanada, Meksiko, Peru, Chile,
Vietnam, Jepang, Singapura, Brunei, Malaysia, Selandia Baru, Australia, dan
AS sebagai pemimpinnya.
Tujuannya
adalah perdagangan internasional yang kompetitif karena Bea Masuk (BM) impor
di negara tujuan dipangkas sangat rendah, bahkan 0%. Tidak hanya TPP,
kebijakan Trump dengan Obama ibarat minyak dan air dan tidak akan pernah
bersatu dalam menentukan kebijakan AS. Kebijakan Obama yang tidak populer di
awal pemerintahannya, yaitu menaikkan pajak, di era Trump justru akan
diturunkan secara drastis. Kebijakan health security Obamacare pun di-breidel
pada era Trump. Trump pun mengkritisi pedas pabrikan mobil asal AS, yaitu
General Motor (GM) yang akan memproduksi Chevy Cruze di Meksiko.
Trump
mengancam akan mengenakan bea masuk yang tinggi. Harga saham GM pun jatuh
0,07% dari US$ 34,84 menjadi US$34,60 pada saat itu. Manajemen GM pun
buru-buru mengoreksi bahwa mobil tersebut dibuat di Lordstown, Ohio, dengan
tenaga kerja mayoritas dari AS. Tidak berbeda dengan GM, Trump juga marah
dengan Toyota Motor yang memiliki rencana membuat pabrik di Baja, Meksiko,
guna merakit Corolla untuk AS. Senjata BM yang tinggi juga akan diterapkan
kepada Toyota.
Manajemen
Toyota mengklarifikasi bahwa pabrik di Baja tersebut dalam rangka untuk
mendukung produksi Tundra dan Tacoma di San Antonio Texas. Akibat konflik
media sosial tersebut, saham Toyota melorot menjadi US$120,44 dari US$121,08
dan terus turun US$119,84 karena Ketua Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide
Suga membela Toyota. Kebijakan kontroversial peraih 279 electoral vote pada
Pemilu 8 November 2016 bahkan akan membangun 1.000 mil tembok mirip great
wall Tiongkok yang berbatasan dengan Meksiko dengan total panjang 1.989 mil
(3.300 km). Rencana Trump itu diperkirakan akan membutuhkan beton US$711 juta
dan semen US$240 juta.
Perkiraan
biaya US$15 miliar-US$25 miliar (Rp199,5 triliun-Rp332,5 triliun) dan akan
menjadi tembok yang sangat mahal di dunia. Kebijakan menaikkan BM impor yang
tinggi, memaksa manufaktur raksasa beroperasional di wilayah AS, menurunkan
pajak di dalam negeri, dan membangun tembok tentu saja konkret kebijakan
proteksionisme itu sendiri. Terhadap Tiongkok, Trump tampak tidak dapat
menyembunyikan kegeramannya atas kekalahan neraca dagangnya. BM impor dari
negeri panda ini akan dikerek naik menjadi 45% sehingga barang produk
Tiongkok menjadi sangat mahal. Tidak hanya itu, Trump juga berencana
menegosiasikan One China Policy yang ditolak Tiongkok. Jika melihat hal ini,
tensi perdagangan Tiongkok-AS akan diwarnai ketegangan yang tentu saja tidak
menguntungkan Tiongkok.
Keuntungan Indonesia
Melihat
hal ini, justru momentum Indonesia menjadi alternatif bagi AS. Trump sangat
ekspresif menunjukkan persoalan dengan Jerman, Jepang, Rusia, dan Tiongkok.
Ada sedikit harapan Trump tidak memiliki persoalan dengan Indonesia.
Pentingnya posisi AS dan kebijakan presidennya ini bagi Indonesia disebabkan
magnitude ekonomi AS ialah 28% dari total ekonomi dunia. Pengaruh ekonomi AS
ialah 11% di Indonesia, sebetulnya masih kalah jauh dengan pengaruh ekonomi
Tiongkok terhadap Indonesia. Postur ekonomi Tiongkok yang terpenting karena
setiap penurunan 2% pertumbuhan ekonominya akan mengoreksi 1% PDB Indonesia.
Hanya yang menjadi persoalan, revenue yang dihasilkan Tiongkok selama ini
mayoritas diperoleh dari Amerika.
Jadi,
jika Amerika menerapkan kebijakan keras kepada Tiongkok, pada akhirnya akan
memberikan imbas kepada ekonomi Indonesia. Bagi Indonesia memang berada pada
posisi simalakama. Ketatnya perdagangan Tiongkok-AS akan memunculkan
kesempatan kepada produk asal Indonesia untuk berkompetisi. Tekstil Tiongkok
yang menguasai AS bisa jadi sebagian untuk Indonesia, demikian pula produk
turunan kelapa sawit, alas kaki, dan produk lainnya. Di sisi lain, kemenangan
Trump pun membawa peluang yang baru pada rencana investasi AS. Dalam lima
tahun ke depan, bisnis-bisnis AS berpotensi akan berinvestasi di Indonesia
minimal dengan nilai US$61 miliar (Rp820 triliun). Total investasi AS ialah
di peringkat ketiga sejak 2010 sampai kuartal III tahun lalu.
Korporasi
asal AS, misalnya Coca Cola, Google, IBM Intel, HP, Merck, Nike, Philip Morris,
Visa, Procter & Gambler, Boeing, Ford, Chevron, Freeport, BP, dan Exxon
Mobil menyatakan akan memperbesar investasinya di Indonesia.
Korporasi-korporasi tersebut ialah pendukung setia Partai Republik yang
mengusung Trump dan sudah lama berinvestasi di Indonesia. Korporasi lainnya
ialah Tyco International, Halliburton, CIGNA, dan Walmart. Di Indonesia,
jaringan korporasi Republik ini sudah cukup mapan, misalnya Exxon Mobil atau
Chevron pada bidang migas. Sangat kebetulan karena Trump menjadi presiden maka
frekuensi dan volume perdagangan dengan Indonesia akan menjadi perhatian
tersendiri. Indonesia bagi AS cukup seksi secara ekonomi disebabkan memiliki
resource yang luar biasa dalam bidang jumlah penduduk.
Dengan
penduduk sampai dengan 251 juta orang, Indonesia benar-benar menjadi surga
pasar bagi para negara produsen seperti AS. Menjadi pasar utama dari
korporasi global AS yang notabene pendukung Partai Republik. Pada era Obama,
volume perdagangan Indonesia-AS sebetulnya tidak signifikan, meski dengan pertimbangan
bahwa Obama pernah menghabiskan masa kecilnya di Indonesia. Kendati
keseimbangan neraca perdagangan masih menguntungkan Indonesia tetapi surplus
itu kini mendapat ancaman serius dari produk-produk Tiongkok.
Pada
saat ini setiap tahun kinerja ekspor Indonesia tertinggi ke AS mencapai
US$16,53 miliar sementara impor tertinggi US$8,64 miliar dengan surplus dalam
kisaran US$5,64 miliar-US$8,64 miliar. Trump tentu saja menawarkan perubahan
peta ekonomi kepada Indonesia. Negeri ini seharusnya tidak terlalu risau
dengan sikap kontroversial Trump. AS pada saat ini sedang mengalami pancaroba
haluan politiknya yang tidak men-drive Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar