Indonesia
dalam Pusaran Politik Internasional
Yuddy Chrisnandi ;
Guru Besar Universitas Nasional
Jakarta;
Tim Ahli Wakil Presiden Republik
Indonesia; Menteri PAN-RB 2014-2016
|
KOMPAS, 30 Januari 2017
Pelantikan
Donald Trump pada 20 Januari lalu membuat banyak pihak berpikir ulang tentang
demokrasi. Saya pribadi menyimpulkan bahwa demokrasi selalu menyisakan
peristiwa yang tak terduga. Trump ”si kontroversial” justru memenangi
pertandingan dan sekarang memimpin sebuah negara dengan kekuatan terbesar di
dunia, Amerika Serikat.
Bumbu
kemenangan Trump menghiasi berita utama (headline) media dalam dan luar
negeri selama lebih kurang dua bulan ke belakang. Misalnya, kemenangan Trump
yang dicurigai ada campur tangan pasukan siber (cyber army) dari Rusia,
prediksi kebijakan Trump kepada negara-negara Islam, atau pro-kontra
kebijakan dalam negeri Trump yang memicu demo warga AS akhir- akhir ini.
Seperti
sejarah-sejarah terdahulu, American effect akan menyebar ke seluruh dunia.
Saya juga menduga hal yang sama. Apa yang terjadi di AS akan memberikan
dampak pada situasi global. Linier dengan hal itu, bagi saya, dunia dalam
kendali demokrasi akan selalu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat.
Lalu, apa yang menjadi tantangan dunia ke depan?
Secara
umum, dunia saat ini dihadapkan pada berbagai ancaman global,
sepertiterorisme dan radikalisme, konflik di Timur Tengah, perubahan iklim,
persoalan imigran, perdagangan manusia, keamanan siber, serta kerusakan
lingkungan.
Periode
kepemimpinan Presiden Joko Widodo baru separuh jalan. Ada banyak hal yang
telah dilakukan Presiden Jokowi sejak Oktober 2014. Sebagai mantan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), saya
merangkai sekaligus mengikuti perkembangan itu, paling tidak, sampai dengan
kuartal pertama 2016.
Data
Bank Dunia mencatat, peringkat kemudahan berbisnis kita naik dari posisi
ke-114 pada 2014 ke posisi ke-106 pada 2015, lalu terakhir pada 2016 posisi
ke-91 dari 189 negara. Menurut saya, ini capaian yang signifikan. Saya
mencatat, terobosan kebijakan, seperti menghapus ribuan regulasi dan aturan
bermasalah yang menghambat proses investasi, menerbitkan sederet paket
kebijakan ekonomi, dan restrukturisasi kementerian/lembaga, terbukti
memperoleh hasil meski belum maksimal.
Saya
masih ingat, dalam satu rapat kabinet, Presiden mengharapkan kemudahan
berusaha di Indonesia mencapai posisi ke-40 dunia. Pertumbuhan ekonomi kita
selalu pada angka yang tidak begitu mengecewakan, di atas 5 persen dalam tiga
tahun terakhir. Tidak semua negara dapat mencapai angka tersebut. Lihat saja
Malaysia, tetangga terdekat kita, pertumbuhan ekonomi mereka terus turun
sejak kuartal pertama tahun 2015 yang sebesar 5,9 persen menjadi 4,9 persen
pada kuartal kedua 2016.
Di
sisi lain, kondisi politik dalam negeri juga relatif terkendali meski ada
riak-riak yang menyebabkan situasi politik memanas, baik itu akibat ekses
publik maupun pergumulan elite politik. Presiden Jokowi dan jajaran kabinet
mampu mengatasi dengan mulus. Kondisi ekonomi dan politik kita secara makro
masih layak menjadi dasar melesatnya kita di pergaulan internasional. Dapur
kita kuat, rumah tangga kita masih on the track.
Selepas
menjabat Menteri PAN-RB, saya diminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk
menjadi Staf Ahli Wapres. Pada September lalu, saya berkesempatan mendampingi
Wapres pada acara Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-71 di New York, AS. Dalam
salah satu sesi debat umum, Wapres Jusuf Kalla menyampaikan pidatonya yang
menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mencapai Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs).
Ada
dua hal penting yang menjadi fokus pidato itu, yaitu komitmen nasional perlu
dibarengi dengan kerja sama internasional yang kokoh serta terjaganya
perdamaian dan keamanan yang memungkinkan pembangunan dapat berjalan. Dua hal
pokok itu menjadi kunci untuk menyongsong era baru hubungan internasional
dalam wadah SDGs yang dicanangkan PBB hingga tahun 2030.
Komitmen
nasional kita tidak perlu dipertanyakan lagi. Negara kita terus berbenah dari
tahun ke tahun. Pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, peningkatan mutu
pendidikan, dan pembangunan infrastruktur adalah bentuk komitmen kita sebagai
negara yang berdikari.
Kita
juga tidak lupa, hidup pada era globalisasi, bahwa kemandirian Indonesia juga
ditopang oleh kerja sama internasional yang saling menguntungkan. Oleh karena
itu, negara kita juga aktif dalam menjaga perdamaian dunia, baik dengan cara
aktivitas langsung maupun jalan diplomatik yang sesuai dengan amanat
undang-undang.
Kita yang membuat jalan,
mereka yang mengikuti
Indonesia
perlu menunjukkan perannya sebagai negara demokratis-Muslim terbesar di
dunia. Sudah bukan saatnya kita mengekor, kita layak menjadi inisiator. Saya
menggarisbawahi ada tiga hal yang dapat menjadi fokus kita. Pertama, isu
radikalisme. Saya ambil contoh kasus Rohingya. Kejahatan kemanusiaan yang
terjadi di Myanmar itu sepertinya hanya menjadi isu kelas dua. Padahal,
mereka adalah tetangga dekat kita.
Saya
berpendapat, Indonesia perlu membuat terobosan diplomasi internasional agar
seluruh mata tertuju ke sana. Presiden Jokowi harus bicara dan menginisiasi
sebuah gerakan internasional agar ada intervensi dunia untuk menyelamatkan
ratusan ribu nyawa di Rohingya.
Kedua,
isu pekerja internasional. Data Kemenakertrans menyebutkan, jumlah TKI kita
214.620 orang di seluruh dunia. Itu data yang tercatat. Dugaan saya, ada
banyak yang tidak tercatat. Jika kita bandingkan, itu hampir 50 persen dari
total populasi negara Brunei.
Terkait
kenyataan tersebut, Indonesia perlu menjadi pelopor dari semua negara untuk
membuat terobosan baru di bidang kebijakan pekerja migran(tenaga kerja
asing). Tujuannya jelas, untuk melindungi mereka dari kejahatan kemanusiaan,
perdagangan manusia, misalnya.
Saya
membayangkan ada sebuah platform yang dapat diakses semua orang melalui
internet yang mengatur, mengawasi, menerima aduan, dan memberikan
pendampingan bagi mereka pekerja internasional yang mengalami kesulitan.
Regulatornya bisa saja bukan antarnegara, melainkan organisasi semacam
Organisasi Buruh Internasional (ILO). Ini perlu ratifikasi banyak negara,
perlu usaha yang masif, dan serius. Kita, negara Indonesia, dapat
menginisiasinya. Misalnya, dimulai dengan kerja sama antara Indonesia dan
Malaysia.
Ketiga,
isu imigran. Indonesia memang tidak termasuk dalam Konvensi 1951 yang
mengatur regulasi internasional terkait imigran, tetapi Indonesia tetap
memberikan bantuan yang bersifat kemanusiaan kepada para imigran yang
membutuhkan.
Saat
ini, jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia hampir mencapai 14.000
orang. Kita adalah negara yang mapan secara ekonomi dan politik sehingga
mampu untuk berperan aktif dalam penanganan imigran. Seperti kata pepatah,
tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Ikut aktif dan menginisiasi
perlindungan terhadap imigran adalah hal yang benar dan sesuai filosofi UU
kita, yaitu memanusiakan manusia. Demi kemanusiaan, seyogianya Indonesia
terus berkomitmen terhadap hal tersebut.
Pemikiran
di atas adalah pengejawantahan dari kepercayaan diri kita sebagai negara yang
mapan dan demokratis. Tak seharusnya kita rendah diri, sudah saatnya kita
percaya diri. Sebagai bangsa besar, bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar